Column

Prof. Dr. Hj. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara/Sekretaris Komisi Etik Senat UINSA Surabaya

Kasus kecil-kecil jadi temanten atau pernikahan dini kembali menjadi viral. Bermula dari unggahan pernikahan antara seorang anak laki-laki beurisia 17 tahun dengan seorang anak perempuan berusia 14 tahun suku Sasak di Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Unggahan tersebut mengundang berbagai polemik, dan diskusi di media massa, karena usia perkawinan di antara mereka yang masih tergolong sangat muda. Bahkan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram, telah melaporkan kasus tersebut di pihak berwajib – karena dianggap telah melanggar ketentuan hukum dan juga melanggar hak anak untuk tumbuh dan berkembang. Sementara dari pihak keluarga, menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh LPA Mataram tersebut termasuk kriminalisasi kasus, kerena menurut keluarga kedua belah pihak apa yang dilakukan tersebut (pernikahan antara anak) tidak melanggar hukum agama maupun hukum adat setempat.

Senyatanyan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat, perkawinan anak masih marak terjadi hingga sekarang. Sepanjang tahun 2023, ada 59.709 kasus pernikahan dini yang diberikan dispensasi oleh pengadilan. Walaupun ada sedikit penurunan dibanding tahun 2022, yakni 64.211 kasus, namun angka ini masih sangat tinggi dibandingkan tahun 2021 yang berjumlah 23.126 pernikahan anak.

Sedangkan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa kasus pernikahan dini di Indonesia menunjukkan tren penurunan. Data BPS mencatat 52 ribu kasus pada 2022 dan 31 ribu kasus pada 2023. Persentase pernikahan dini di Indonesia juga turun dari 8,06% pada 2022 menjadi 6,92% pada 2023.

Kita tentu masih ingat kasus pada tahun 2008, terhadap Pujiono Cahyo Widiyanto alias Syekh Puji yang menarik perhatian publik setelah menikahi anak berusia 12 tahun bernama Lutfiana Ulfa saat ia berusia 43 tahun. Akibatnya, Pujiono harus mendekam di penjara setelah divonis hakim empat tahun penjara. Banding dan kasasi yang ia ajukan pun ditolak. Berikutnya adalah, kasus sepasang remaja asal Bantaeng, Sulawesi Selatan, FA dan SY menikah di hadapan penghulu KUA pada April 2018. Saat menikah, FA yang berusia 14 tahun dan SY, 15 tahun, masih berstatus pelajar SMP. Pada November 2017, sepasang remaja, APA (waktu itu berusia 17 tahun) dan APR (saat itu 15 tahun) menikah di Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Pihak KUA menyebutkan pernikahan ini sah secara hukum, agama dan adat karena telah memenuhi ketentuan dan tata cara pernikahan yang berlaku. Pada kasus ini, orang tua pasangan tersebut menjelaskan, pernikahan digelar karena kedua anak mereka tersebut saling suka dan sering pulang bersama setiap subuh. Untuk mencegah anggapan negatif, maka keluarga sepakat untuk menikahkan keduanya.


Benturan Sistem Hukum

Memang terkait dengan pernikahan dini yang sedang viral tersebut sesuatu yang dilematis. Mengapa? Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan 2019), bahwa Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Dan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur berbagai aspek perlindungan anak, mulai dari hak-hak anak hingga kewajiban negara, pemerintah, masyarakat, dan orang tua dalam melindungi anak. Dan dalam UU tersebut ditentukan bahwa, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, bagi LPA apa yang terjadi dengan kasus pernikahan dini tersebut telah melanggar dua ketentuan UU yaitu UU perkawinan dan UU Perlindungan Anak.

Berbeda dengan anggapan LPA, pihak keluarga kedua belah pihak berpandangan pernikahan yang terjadi tidak melanggar hukum terutama hukum agama maupun hukum adat setenpat. Bahkan pihak keluarga menganggap, laporan LPA Lombok ke pihak yang berwajib merupakan kriminalisasi.

Inilah sebenarnya benturan Sistem Hukum yang terjadi. Di satu pihak berpedoman pada hukum negara dalam hal ini UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak, sementara di pihak lain (keluarga) berpedoman pada Hukum Islam. Menurut Hukum Islam perkawinan anak-anak ini dimungkinkan. Seringkali, jika suatu perkawinan tersebut diingini, perkawinan menurut hukum Islam dilangsungkan dahulu (kawin gantung); kemudian disusul oleh perkawinan adat setelah hidup bersama-sama sudah mungkin. Maksud perkawinan tersebut adalah supaya keluarga laki-laki terikat oleh keluarga perempuan atau sebaliknya.

Kedua, menurut Hukum Adat suku Sasak di Lombok dianut Perkawinan Lari Bersama (wegloophuwelijk), pada bentuk ini biasanya tidak ada lamaran dan peminangan; laki-laki dan perempuan sepakat untuk melarikan diri bersama-sama (wegloophuwelijk), atau Perkawinan Bawa Lari (schaakhuwelijk) yaitu pemuda melarikan gadis yang sudah ditunangkan, atau dikait orang lain, sedangkan perempuan sebenarnya tidak mau (schaakhuwelijk). Kedua alasan ini yang dipegang oleh keluarga kedua belah pihak.

Lalu bagaimana jika dilihat dari kacamata hukum yang berlaku di Indonesia? Sebagaimana diketahui bersama, bahwa di Indonesia berlaku Hukum Perkawinan yang pluralistis. Setidaknya ada 3 (tiga) sistem hukum yang berlaku yang mengatur tentang perkawinan: Pertama, Hukum Perkawinan menurut Hukum Perdata (BW). Ketentuan ini diberlakukan bagi WNI keturunan asing atau yang beragama Kristen. Kedua, Hukum Perkawinan menurut Hukum Islam atau Hukum Islam yang Direseptio. Ketentuan ini diperuntukkan bagi WNI keturunan atau pribumi yanmg beragama Islam. Ketiga, Hukum Perkawinan menurut Hukum Adat. Ketentuan ini diperuntukkan bagi masyarakat pribumi yang masih memegang teguh hukum adat.

Meski UU Perkawinan 2019 telah menentukan batas usia perkawinan yang dizinkan baik bagi pria maupun wanita, tetapi UU ini maish membuka celah untuk dilakukan ‘penyimpangan’, yaitu adanya dispensasi menikah.

Dispensasi menikah adalah keringanan yang diberikan pengadilan agama kepada calon mempelai yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan.

Menurut UU Perkawinan 2029, orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Terdapat sejumlah faktor, menurut Komnas Perempuan, yang menjadi penyebab mudahnya pengadilan mengabulkan permohonan dispensasi kawin, yaitu: Pertama, alasan situasi mendesak, seperti anak perempuan telah hamil, anak berisiko atau sudah berhubungan seksual, anak dan pasangannya sudah saling mencintai, serta anggapan orang tua bahwa anak berisiko melanggar norma agama dan sosial, atau untuk menghindari zina; Kedua, ada kemungkinan anak sedemikian terpapar oleh gawai sehingga anak lebih cepat merespon berbagai informasi yang mungkin belum dipahami efek samping dari aktivitas seksual yang menyebabkan terjadinya ‘kehamilan tidak diinginkan’ sehingga harus mengajukan dispensasi kawin; Ketiga, belum meratanya program terkait pemahaman tentang hak seksual dan kesehatan reproduksi komprehensif yang seharusnya dapat menjadi acuan bagi remaja di Indonesia.

Asas Kepastian Hukum

Berdasarkan apa yang telah didiskusikan tersebut, nampaknya memang terjadi benturan sistem hukum yang mengakibatkan ketidakadanya kepastian hukum. Padahal sesuai dengan asas kepastiuan hukum, bahwa hukum diterapkan secara adil, konsisten, dan dapat diprediksi. Ini berarti hukum harus jelas, mudah dipahami, dan diterapkan secara tidak sewenang-wenang. Kepastian hukum merupakan salah satu tujuan utama hukum dan dasar bagi terwujudnya negara hukum.

Terkait dengan hal tersebut, kembali kita pada asas keberlakuan hukum yaitu prinsip-prinsip dasar yang mengatur bagaimana hukum diterapkan dalam praktik. Beberapa asas penting meliputi: Pertama, asas tidak berlaku surut (non-retroaktif), bahwa Undang-undang hanya berlaku untuk peristiwa yang terjadi setelah undang-undang tersebut dinyatakan berlaku; Kedua, asas hierarki norma hukum, bahwa  Hukum yang lebih tinggi akan mengesampingkan hukum yang lebih rendah; Ketiga,  asas Lex Superior Derogat Lex Inferiori, bahwa hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah; Keempat, Lex Specialis Derogat Legi Generali, bahwa hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum; dan Kelima, Lex Posterior Derogat Lex Priori, bahwa hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama. Asas keberlakuan hukum membantu menyelesaikan konflik norma dan memastikan kepastian hukum.

Lalu bagaimana dengan benturan hukum pada kasus perkwainan dini tersebut? Secara konstitusional, hukum negara dan hukum adat memiliki kedudukan yang sama di Indonesia. Namun, hukum negara lebih bersifat umum dan berlaku bagi seluruh masyarakat, sementara hukum adat lebih spesifik dan berlaku bagi masyarakat adat tertentu. 

Hukum negara memiliki dasar hukum yang kuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan, hukum adat diakui juga dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat (2), tetapi penerapannya tergantung pada kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya. 

Dalam hal terjadi benturan antara hukum negara dan hukum adat, hukum negara biasanya lebih didahulukan. Namun, hukum adat juga memiliki peran penting dalam menjaga keberagaman dan kekhasan budaya lokal. Sedangkan terkait dengan Hukum Islam, dalam konteks Indonesia berlaku Hukum Islam yang Direceptio dan telah dimanifestasikan dalam UU Perkawinan dan menjadi hukum Negara. Artinya ketentuan perkawinan bagi WNI keturunan atau pribumi yanmg beragama Islam merujuk pada UU Perkawinan. Insyaallah.