Column UINSA

Oleh: Dr. Wasid, M.Fil.I
(Sekretaris Pusat Ma’had al-Jami’ah, dosen FAHUM UINSA)

Setiap tanggal 10 November, kita sebagai anak bangsa selalu merayakan peringatan hari pahlawan baik di institusi pemerintah maupun swasta. Peringatan tahunan ini telah berlangsung cukup lama sejak ditetapkannya melalui keppres No. 316 tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959. Karenanya, berdasar pada sejarah penetapan ini, maka kita memperingati hari pahlawan telah berlangsung selama 64 tahun dengan segala model pernak-pernik perayaannya yang mengiringi zamannya, seperti upacara bendera, karnafal, do’a bersama dan lain-lain.

Apapun itu model perayaannya, yang pasti tanggal 10 November adalah tanggal spesial yang memiliki catatan historis penting kaitan dengan penegasan eksistensi perjalanan bangsa Indonesia. Bahkan, dengan alasan peristiwa historis ini hari pahlawan itu ditetapkan sebagai pengingat bagi generasi terkini. Dengan begitu, maka jangan lewatkan peringatan ini hanya sekedar rutinitas tahunan, sementara spirit kesejarahannya tidak ditangkap dalam rangka menguatkan mentalitas kita kaitan dengan “hubbub al-wathan min al-Iman”.

Secara historis, eksistensi bangsa Indonesia tidak datang dari pemberian penjajah, melainkan hasil dari proses perjuangan para pendiri bangsa dengan harta dan nyawa sebagai pertaruhannya. Perang revolusi di Surabaya tahun 1945 merupakan simbol penting bagaimana semua elemen anak bangsa, baik dari kalangan santri maupun nasionalis, bersatu padu dalam tekad yang sama untuk tetap mengusir penjajah, tentara Inggris dan sekutunya. Sekali merdeka, tetap merdeka, itulah tekad mereka setelah kemerdekaan yang sejatinya telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Kematian jenderal terbaik Inggris, Brigadier Aubertin Walter Sothern Mallaby di Surabaya pada tanggal 30 Oktober 1945 menjadi alasan tersendiri pihak Inggris murka terharap rakyat Indonesia sehingga mengeluarkan ultimatum. Mayor Jenderal Robert Mansergh _sebagai pengganti Mallaby_ adalah tokoh penting yang mengeluarkan ultimatum ini dengan disebarkan melalui udara tanggal 9 November 1945 hingga jedah waktu ultimatum pukul 06.00 pagi tanggal 10 November 1945. Inti ultimatum itu adalah pihak Indonesia diminta untuk menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.

Apapun alasannya, ultimatum ini _menurut penulis_ tak layak dilakukan, mengingat bangsa Indonesia sudah merdeka tanggal 17 Agustus 1945. Karenanya, keberadaan ultimatum ini semakin membuat “nyala” semangat perlawanan arek-arek Suroboyo dan sekitarnya sehingga sampai batas waktu yang ditentukan dalam ultimatum, mereka tidak mau menyerah dan lebih memilih melawan untuk mengusir penjajah. Bahkan, spirit tidak mau menyerah ini menjadi contoh di berbagai daerah yang memiliki kondisi yang sama, yakni adanya penjajahan baru dari Inggris dan sekutunya.

Dalam konteks historis ini, penulis menilai bahwa “spirit kebersamaan untuk melawan” adalah kunci keberhasilan kaitan penegasan diri sebagai sebuah bangsa. Padahal, keragamanan rakyat Indonesia _baik suku, ras dan agama bahkan kelompok_ adalah kekuatan, sekaligus kelemahan. Tapi, isu melawan ini memang menjadi pemantik tersendiri dalam menyatukan semua elemen bangsa menuju cita-cita luhur, yakni penegasan kembali akan kemerdekaan Indonesia.

Kebersamaan Kekinian

Hari ini memang tidak ada penjajahan secara fisik, tapi penjajahan non fisik masih tetap berjalan dalam kedirian kita sebagai anak bangsa. Teringat, ketika Nabi Muhammad Saw. mengingatkan para sahabatnya setelah perang Badar yang dikenal berat dan melelahkan “bahwa kita semua akan melangkah menuju perang yang lebih besar lagi, yakni perang melawan hawa nafsu.” Jadi, hawa nafsu adalah penjajah non-fisik yang sangat mempengaruhi mentalitas anak bangsa sehingga harus tetap dilawan dalam kondisi apapun.

Ada tanggung jawab sosial kepada semua anak bangsa dalam mengisi kemerdekaan ini, sekaligus melanjutkan semangat perlawanan yang telah diteladankan oleh para pendiri bangsa. Artinya, tanggung jawab yang dimaksud adalah bagaimana konteks kekinian kita mengutamakan cara-cara terbaik dalam pikiran, harta dan tenaga untuk berusaha berkontribusi kepada perbaikan bangsa. Tanpa cara terbaik, maka sangat mustahil bangsa ini akan menjadi bangsa besar di tengah kontestasi dengan bangsa-bangsa yang lain di dunia seba diinternalnya yang dipikir adalah kesenangan sesaat sebagai kepatuhan pada hawa nafsu.

Apapun posisi kita, baik pegawai pemerintah atau swasta, harus memiliki pertanggung-jawaban yang sama akan masa depan bangsa ini. Yakinlah, bahwa investasi keburukan yang kita lakukan kepada bangsa-misalnya- sejatinya kita sedang akan mewariskan keburukan pada generasi selanjutnya, begitu pula sebaliknya. Karenanya, ketertundakan terhadap hawa nafsu yang mengarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi atau kelompok  harus bersama-bersama dilawan agar bangsa ini semakin bermartabat, demi masa depan anak cucu kita.

Sebut saja misalnya, menghalalkan segala cara dalam pencapaian ekonomi, pendidikan dan lain-lain __sebagai wujud menghamba pada nafsu_ adalah bentuk jajahan baru yang turut melumpuhkan kondisi kebangsaan kita dimasa yang akan datang. Mentalitas ini dalam konteks tertentu turut merusak sendi-sendi kehidupan yang lebih luas sehingga yang dirugikan adalah rakyat Indonesia secara umum. Bukankah kaedah fikih mengingatkan: “Dar’u al-Mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih”, menolak sesuatu yang mendatangkan kerusakan didahulukan atas sesuatu yang mendatangkan manfaat.  

Lagi-lagi, untuk melawan penjajahan gaya “hawa nafsu” tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, tapi harus bersama-sama sebagaimana dicontohkan oleh pejuang revolusi 1945 di Surabaya. Yang elite harus memberikan teladan terbaik, sementara rakyat ikut membantu mewujudkan kebaikan-kebaikan apapun menuju kondisi bangsa dan negara yang “gemah ripah loh jinawi”.

Akhirnya, “kita ini bangsa yang besar, tundukkan kompeni, kalahkan Inggris. Kita harus menjaga kehormatan bangsa. Itulah salah satu kalimat pengobar semangat juang dari Bung Tomo agar rakyat Indonesia bersatu dan bertekad kalahkan musuh. Dari semangat Bung Tomo ini, dapat dipahami bahwa apapun yang merusak _dalam konteks kekinian_ kita tidak boleh terdiam. Harus ada gerak menyingkirkannya, demi masa depan kehormatan bangsa ini. Dengan cara itu, kita akan (juga) dikenang sebagai pahlawan. Semoga kita tetap satu dalam perbedaan. Amin….