Column
Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag.
Guru Besar/Ketua Senat Akademik UINSA Surabaya

قُلْ اِنِّيْٓ اُمِرْتُ اَنْ اَعْبُدَ اللّٰهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَ

“Katakanlah (wahai Muhammad), “Sungguh aku diperintah untuk menyembah Allah dengan menaati dan menjalankan perintah agama dengan ikhlas (semata-mata) karena-Nya” (QS. Az-Zumar [39]: 11)

            Ayat 11 Surat Az-Zumar ini merupakan penegasan kembali perintah ikhlas pada ayat kedua dalam surat yang sama yaitu, “fa’budillaha mukhlishan lahud-din (maka sembahlah Allah dengan ikhlas atau ketaatan yang murni kepada-Nya).”  Melalui ayat ini, Nabi SAW diperintah Allah untuk mengatakan dengan tegas, khususnya kepada orang-orang kafir, bahwa ajakan Nabi untuk menyembah Allah, murni didasari kataatannya kepada Allah, bukan karena keinginan kotor, semisal pujian, penghargaan, pengakuan, dan imbalan materi. Ikhlas adalah ruh agama sedangkan ibadah adalah jasadnya. Maka, ibadah yang tidak ikhlas bagaikan jasad tanpa ruh.

            Ada tiga tingkatan ikhlas, yaitu (1) ikhlas terendah, yaitu mengerjakan kebaikan semata-mata karena Allah, tapi disertai harapan imbalan duniawi. Misalnya, shalat duha dengan harapan mendapat imbalan kemudahan rizki; atau membaca Al Qur’an dengan harapan kesembuhan, atau juga sedekah dengan harapan imbalan rizki yang berlipat; (2) ikhlas menengah, yaitu mengerjakan kebaikan semata-semata karena Allah dengan harapan imbalan akhirat berupa surga dan selamat dari neraka, (3) ikhlas tertinggi, yaitu menjalankan kebaikan semata-semata karena cinta dan ketaatannya kepada Allah. Tak ada harapan imbalan dunia dan akhirat. Ikhlas dalam tingkatan ini, semua kebaikan dipandang sebagai ekspresi cinta dan terima kasih kepada Allah yang telah memberi segala kebutuhan hidupnya.

            Lawan ikhlas adalah riya’ yaitu menjalankan kebaikan dengan harapan pengakuan, pujian, penghargaan dan imbalan dari manusia. Ciri-ciri orang ikhlas antara lain, (1) menyikapi pujian dan cacian secara sama. Tidak berbangga ketika mendapat pujian dan penghargaan, dan tidak pula bersedih ketika dicaci, apalagi mengurangi semangatnya dalam melakukan kebaikan, (2) tidak menyebut-nyebut kebaikannya kepada siapa pun. Dalam bersedekah misalnya, ia tidak mengingat-ingat apa yang disedekahkan, seperti orang yang lupa sama sekali kotoran yang dibuangnya di toilet, (3) senang menerima kritik atau masukan dari siapa pun.  Orang-orang yang demikianlah yang digambarkan dalam Al Qur’an,  

وَيُطْعِمُوْنَ الطَّعَامَ عَلٰى حُبِّهٖ مِسْكِيْنًا وَّيَتِيْمًا وَّاَسِيْرًا اِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللّٰهِ لَا نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَاۤءً وَّلَا شُكُوْرًا

“Mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan, (seraya berkata), “Sungguh kami memberi makanan kepada kamu semua hanya mengharap rida Allah. Kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu semua” (QS. Al Insan [76]: 8-9)

            Ikhlas juga disebut sebagai sikap yang terpuji (kalimah thayyibah), bagaikan akar pohon yang kokoh dan menghasilkan buah yang segar dan menyenagkan,

اَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ اَصْلُهَا ثَابِتٌ وَّفَرْعُهَا فِى السَّمَاۤءِۙ تُؤْتِيْٓ اُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ ۢبِاِذْنِ رَبِّهَاۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ

“Tidakkah engkau memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimah ṭhayyibah seperti pohon yang baik, akarnya kuat, dan cabangnya (menjulang) ke langit, yang menghasilkan buah pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan untuk manusia agar mereka mengambil pelajaran” (QS. Ibrahim [14]: 24-25)

            Berikut ilustrasi sebuah keikhlasan. Dalam sebuah kebun buah, rombongan wisatawan berkali-kali memuji dan mengelu-elukan buah jeruk yang besar dan manis. Tak satu pun dari mereka memuji akar pohonnya. Padahal akar telah bekerja siang malam mencari air dan nutrisi dalam tanah untuk makanan batang, cabang, ranting, dan daunnya, sehingga pohonnya subur dan menghasilkan bunga dan buah lezat. Semua itu dikerjakan bertahun-tahun dalam sunyi, tanpa diketahui siapapun. Meskipun tak disebut dan tidak dihargai sama sekali, akar tidak sakit hati, apalagi protes. Sebab, ia melakukan semuanya dengan ikhlas. Ia juga tetap tawaduk dan tidak berbangga diri, sebab ia tahu, ia bukan satu-satunya penentu kesuburan pohon. Matahari dan hujan ikut berperan besar terhadap kesuburan pohon.

Anda bisa meniru keikhlasan orang yang menyelamatkan nyawa Al Hajjaj bin Yusuf As- Tsaqafi, panglima perang pada khalifah kelima dinasti Umawiyah. Ia terkenal perkasa dan orator ulung. Tapi, ia juga terkenal kekejamannya dengan julukan as saffah (pembunuh sadis). Tidak banyak orang tahu, ia tidak bisa berenang. Ketika ia berlibur di pantai teluk Persia, ia hanyut terseret ombak besar. Untung, ia diselamatkan seorang nelayan. Sebagai ungkapan terima kasih, pemimpin bengis itu menawarkan, “Saya akan memberimu hadiah apa saja yang kau minta.” “Memangnya kamu siapa, dan kamu punya apa?,” tanya nelayan itu polos. “Akulah Hajjaj, panglima perang di negeri ini,” jawabnya singkat dengan sombongnya. Jawaban nelayan itu mengejutkannya, “Baiklah, saya hanya meminta satu saja. Jangan sekali-kali bercerita kepada siapa pun tentang apa yang telah saya lakukan kepadamu.”

            Ikhlas penentu diterimanya kebaikan manusia di sisi Allah. Juga penentu pembebasan manusia dari siksa Allah. Tak kalah pentingnya, ikhlas juga penentu kebahagiaan hidup, terbebas dari kecewa, marah dan stres. Jadilah muslim ikhlas seperti keikhlasan akar pepohonan.  

Sumber: (1) Hamka, Tafsir Al Azhar, juz 24, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 20 (2). Qureish Shihab, M, Tafsir Al Misbah, Vol. 11, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2012, p. 461, (3) Quraish Shihab, M, Yang Jenaka, Lentera Hati, Tengerang, 2004, p. 27