“Terima kasih Pak atas kerjasamanya.” Begitu kalimat yang diucapkan Ketua Dharma Wanita Persatuan (DWP) UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Erna Mawati. Ditujukan kepada supervisor pada PT Indofood Sukses Makmur Cabang Surabaya. Namanya, Pak Sahrul. Kalimat itu disampaikan di akhir rangkaian acara Bazar Ramadan – Bazar Sembako Murah Tahun 2024 di UINSA. Atas pernyataan Ketua DWP UINSA itu, Pak Sahrul pun menjawab begini: “Ya Bu, kami juga senang bisa bekerjasama dengan DWP UINSA.” Dia lalu menambahkan: “Oh ya, kami juga diajak kerjasama dengan lembaga lain di minggu terakhir Ramadan. Tapi kami tidak bisa berpartisipasi. Sebab, kalau masih pertengahan Ramadan, kami masih mungkin bekerjasama. Tapi kalau sudah menjelang akhir Ramadan, kami tidak bisa berpartisipasi.”
Mendengar jawaban panjang Pak Sahrul di atas, Ketua DWP UINSA itu pun melontarkan pertanyaan lanjutan: “Memang kenapa Pak? Kenapa kalau menjelang akhir Ramadan? Tidak bisa berpartisipasi dalam kerjasama ya?” “Ya Bu, kami harus bilang mohon maaf. Itu karena kami punya pertimbangan konkret,” lanjut Pak Sahrul. “Kalau uang THR atau Tunjangan Hari Raya sudah cair, para pegawai sudah tidak lagi memikirkan soal makanan dan minuman. Yang mereka pikirkan adalah baju baru,” demikian alasan yang dikemukakan secara lebih detil kepada Ketua DWP UINSA Surabaya.
Mendengar cerita di atas, akupun segera berbisik dalam hati: “Ahaa! Ini kisah menarik! Penting diulas.” Karena bagaimanapun, ternyata, pelaku bisnis-ekonomi pun begitu kuatnya menghitung cermat setiap momen sosial. Termasuk sosial keagamaan. Dan tentu saja pertimbangan ekonomi di balik itu semua. Karena itu, setiap perubahan waktu dihitung. Setiap perkembangan dipertimbangkan. Setiap gejala sosial dianalisa. Hingga sampailah mereka pada satu kecakapan: pemetaan pasar. Kecakapan ini diperkuat sebagian bagian dari ruh dan semangat penunaian tanggung jawab kerja profesional.
Kita mungkin bisa berdebat begini: “Wajar saja institusi seperti PT Indofood Sukses Makmur yang besar itu sangat mengerti pasarnya karena memang ia pelaku usaha bisnis-ekonomi. Lha terus kita, seperti lembaga pendidikan, bagaimana? Kan nggak sama?” Mungkin saja pemikiran seperti ini muncul dalam benak sejumlah orang. Mungkin saja pertanyaan semacam ini juga mengemuka di sejumlah pihak. Sebagai bentuk denial diri. Penolakan. Tapi yakinlah, bahwa apapun situasi dan kondisinya, lembaga pendidikan sama dengan institusi bisnis-ekonomi. Lho kok? Iya, sama. Minimal dari sisi manajemen pemasaran (marketing management).
Dalam perspektif manajemen pemasaran, sebagai pelaku penyelenggara layanan, pimpinan lembaga seperti perguruan tinggi memiliki kewajiban serupa sebagaimana halnya pelaku usaha ekonomi-bisnis. Meminjam perspektif Philip Kotler (Marketing Management Millenium Edition, 2002:4), kewajiban tersebut meliputi dua hal utama. Yakni, memilih pasar sasaran (target market) pada satu sisi, serta mendapatkan, mempertahankan, dan mengembangkan pelanggan/penerima manfaat di sisi lain. Lalu, apa yang harus dilakukan oleh pimpinan penyelenggara layanan? Philip Kotler (2002:4) memberikan arahan begini: through creating, delivering, and communicating superior customer value. Yakni, melalui penciptaan, penunaian, dan pengkomunikasian nilai keunggulan bagi pelanggan/penerima manfaat.
Merujuk perspektif Philip Kotler di atas, maka pimpinan perguruan tinggi sebagaimana layaknya pimpinan pelaku usaha bisnis-ekonomi pada umumnya penting untuk melakukan tiga hal utama: menciptakan (creating), menunaikan (delivering), dan mengkomunikasikan (communicating) nilai keunggulan bagi pelanggan/penerima manfaat. Pimpinan perguruan tinggi penting menciptakan nilai keunggulan dalam layanan pendidikan tingginya untuk penerima manfaat. Juga, mereka penting menunaikan kerja layanan keunggulan itu dengan baik agar tercipta kepuasan pada diri penerima manfaat. Dan tak kalah pentingnya, mereka juga penting mengkomunikasikan semua itu agar menjadi bagian dari basis kognitif para penerima manfaat.
Maka, uraian kisah berbasis pernyataan Pak Sahrul, supervisor pada PT Indofood Sukses Makmur Cabang Surabaya, dalam dialognya dengan Ketua DWP UINSA yang diuriakan sebelumnya penting untuk dibaca dari perspektif Philip Kotler di atas. Kerja-kerja penciptaan, penunaian, dan pengkomunikasian nilai keunggulan bagi pelanggan/penerima manfaat penting untuk diperkuat. Kerja-kerja itu harus dilakukan secara serius dalam kesinambungan yang kuat. Lebih dari itu, kesinambungan kerja penciptaan, penunaian, dan pengkomunikasian nilai keunggulan harus diterjemahkan lebih lanjut dalam operasional organisasi.
Lalu, apa yang bisa dipetik dari dialog antara Pak Sahrul dari PT Indofood Sukses Makmur Cabang Surabaya dan Ketua DWP UINSA di atas? Sejumlah pelajaran bisa dipetik dari cerita di atas. Namun, ada dua di antara sejumlah pelajaran penting itu yang bisa diuraikan, sebagaimana detilnya bisa dijumpai dalam uraian di bawah ini.
Pertama, perkuat kecakapan pemetaan pasar (market mapping skill). Kecakapan ini memungkinkan seseorang untuk melakukan pencermatan yang memadai atas pergerakan tren pasar potensial. Bagian sentral dari kerja pencermatan ini adalah pemetaan atas berbagai pelaku layanan yang menjadi kompetitor dalam kegiatan usaha layanan yang dijalankan. Termasuk juga pemahaman yang baik atas posisi institusi layanan yang dijalankan pada satu sisi, dan saat yang sama juga identifikasi tren pasar potensial. Juga lebih dari itu, kemampuan pemetaan pasar meningkatkan keterampilan dalam mencerna potensi, peluang dan tantangan pasar itu sendiri.
Kecakapan pemetaan pasar di atas akan secara otomatis meningkatkan level sensitivitas diri terhadap pasar (sensitivity to market). Ada dua istilah yang penting dijelaskan, yakni sensitivitas diri terhadap pasar, dan sensitivitas pasar (market sensitivity). Perdefinisi, sensitivitas diri terhadap pasar merupakan kemampuan untuk membaca, memahami dan mencermati secara baik pasar beserta seluruh potensi, peluang dan tantangannya. Hasil pembacaan, pemahaman dan pencermatan yang baik ini menjadi bancik material dasar untuk lahirnya kebijakan tindak lanjut dalam merespon pergeseran pasar itu sendiri.
Dalam konteks perguruan tinggi, sebagai misal, pimpinan penting untuk mempersenjatai diri dengan kemampuan untuk membaca, memahami dan mencermati secara baik pasar layanan pendidikan tinggi yang dijalankannya beserta seluruh potensi, peluang dan tantangannya. Itulah yang disebut dengan sentivitas diri pimpinan perguruan tinggi terhadap pasar pendidikan tinggi yang diselenggarakan. Lemahnya sensitivitas diri terhadap pasar akan menyebabkan lemahnya kemampuan institusi perguruan tinggi yang dipimpin dalam merespon pergerakan pasar pendidikan tinggi. Sebaliknya, kuatnya sensitivitas diri terhadap pasar akan meningkatkan pula kemampuan institusi perguruan tinggi yang dikelolanya dalam mencermati pergerakan pasar pendidikan tinggi.
Di ujung sisi lainnya, pimpinan perguruan tinggi juga penting untuk mencerna setiap pergerakan yang terjadi pada pasar. Termasuk juga perubahan yang ada padanya. Karena semua itu kerap membuat pasar sangat sensitif. Nah, sensitivitas pasar itu biasanya ditandai oleh pergeseran dan perubahan yang ada pada dirinya dimaksud. Karena itu, apa yang sensitif di pasar harus dicermati betul. Sebab, ujungnya pasti akan berdampak terhadap layanan pendidikan tinggi yang diselenggarakan. Pimpinan perguruan tinggi, setuju atau tidak, sudah selayaknya memiliki kecakapan untuk membaca dan memahami secara baik apa yang menjadi sensitivitas pasar pendidikan tingginya. Lalu, pembacaan dan pemahaman yang baik ditindaklanjuti dalam kebijakan praktis pelaksanaan.
Jangan pernah lupa, sensitivitas pasar akan berpengaruh secara kuat terhadap kesehatan institusi. Termasuk kesehatan pendapatan. Hasil riset Brown Walter Ateke dan JUD Didia (2017:9-17) mengkonfirmasi tesis dimaksud. Bahkan, keduanya, menemukan hubungan yang signifikan dan positif secara statistik (positive and statistically significant relationship) antara sensitivitas pasar dan kesehatan bisnis (business wellness). Memang, kajian kedua ilmuwan ahli pemasaran dari Rivers State University, Nigeria, itu berfokus pada bidang bisnis-ekonomi. Tapi, semangat akademiknya bisa diperluas ke dunia pendidikan tinggi sebagai sebuah penyedia layanan jasa. Sama dengan pelaku usaha bisnis-ekonomi pada umumnya.
Karena itu, pimpinan perguruan tinggi tidak boleh jauh-jauh dari analisis pasar. Karena, setiap pergerakan pasar menuntut pencermatan yang memadai. Hal itu karena, pergerakan pasar akan menentukan potensi, peluang dan tantangan pasar itu sendiri. Penyelenggara layanan pendidikan tinggi pun harus melakukan pencermatan secara kuat terhadap pergerakan pasar pendidikannya. Sebagai contoh, saat segmen pasar pendidikan tinggi sudah mulai bergeser ke kalangan milenial, dan bahkan generasi Z, maka desain layanan pendidikan tinggi pun juga harus bergeser. Transformasi digital, sebagai contoh kecil, adalah bagian dari perubahan yang harus dilakukan.
Kedua, siapkan langkah strategis untuk merespon pergerakan pasar. Kecakapan pemetaan pasar, seperti dijelaskan pada poin pertama di atas, selayaknya tak berhenti hanya sekadar sebagai kerja pemetaan. Pemetaan yang baik atas pasar memang menjadi separuh modal sukses. Tapi, kerja pemetaan itu harus disempurnakan lagi. Agar separuh sisanya bisa dicapai untuk kesempurnaan kerja. Untuk itulah, yang dibutuhkan oleh institusi adalah kelanjutan dari hasil pemetaan itu sendiri. Bentuknya adalah langkah konkret untuk merespon secara konkret terukur setiap perubahan yang terjadi pada pasar.
Kecakapan pemetaan pasar memiliki hubungan yang sangat erat dengan kemampuan mengambil langkah strategis sebagai tindak lanjutnya. Maka, sejatinya, pimpinan perguruan tinggi harus cakap dalam menentukan langkah strategis dalam merespon pergerakan pasar pendidikan tingginya. Tentu semua itu diawali dengan pengembangan kapasitas diri dalam bentuk kecakapan yang memadai dalam memetakan pasar. Mulai dari sensitif terhadap pasar hingga cakap dalam merespon sensitifitas pasar itu sendiri.
Apapun situasi dan alasannya, pimpinan institusi seperti perguruan tinggi wajib memiliki kecakapan pemetaan pasar. Lalu kecakapan pemetaan pasar itu disempurnakan dengan keterampilan teknis dalam operasional pelaksanaan. Kisah berbasis pernyataan Pak Sahrul dari PT Indofood Sukses Makmur Cabang Surabaya dalam dialognya dengan Ketua DWP UINSA yang diuraikan sebelumnya dalam tulisan ini memberikan pelajaran penting soal kecakapan pemetaan pasar dan kerja operasionalnya. Maka, pimpinan perguruan tinggi juga harus cakap dalam membaca, sebagai misal, pergerakan peta ketertarikan calon mahasiswa terhadap program studi pilihan. Termasuk juga cakap dalam melakukan program aksi sebagai reaksi atas peta itu. Baik melalui kerja edukasi maupun dan usaha intervensi.
Pasar memang selalu dinamis. Hampir tak pernah statis. Karena itulah, pasar memiliki sensitivitasnya sendiri. Dan sensitivitas pasar ini tak boleh diabaikan sesuka hati. Karena pasti akan berdampak. Bisa positif, bisa pula negatif. Bergantung kecakapan kita dalam melakukan pemetaan dan sekaligus melahirkan program aksi. Tren pasar memang selalu muncul bersama dinamika sosial-ekonomi dan bahkan politik. Dan, pimpinan perguruan tinggi pun juga harus merespon secara cermat tren pasar itu. Dengan begitu, kinerja kampus yang dipimpinnya akan selalu terjaga, dan bahkan menunjukkan tren meningkat pula. Dan, kinerja pimpinan kampus bisa diawali dan diukur dari kecakapan dalam merespon secara cermat tren pasar pendidikan tingginya.
Bukankah Nabi Muhammad SAW sudah mengingatkan kita bersama: idza wusida al-amru ila ghairi ahlihi fa intadzir al-sa’ah. Jika amanah diserahkan kepada orang yang tidak kompeten, maka tunggu saja saat kehancurannya. Bagian dari kompetensi pemegang amanah publik adalah kecakapan pemetaan dan respon jitu terhadap pasar. Tentu di bidang urusan utama institusi itu. Termasuk di dalamnya pendidikan tinggi. Jangan acuhkan setiap perkembangan zaman. Jangan remehkan setiap perubahan. Jangan kesampingkan setiap gejala sosial. Karena semua itu adalah isyarat pergerakan pasar. Penyelenggara pendidikan tinggi pun harus serius melakukannya. Harus cakap dalam memetakan dan merespon pergerakan pasar pendidikannya.