Jam menunjuk ke angka 18:45 WIB. Persis satu jam usai adzan maghrib. Kutinggalkan ruang dalam menuju ke pelataran rumah. Untuk segera kembali pulang. Rumah itu adalah rumah dinas pejabat kantor perwakilan asing di Surabaya. Tentu aku keluar rumah itu usai meminta izin ke tuan rumah untuk pulang. Petang itu, Rabu, 20 Maret 2024. Dan saat sudah berada di pelataran, kucari sahabatku. Mas Ribut namanya. Tak kutemukan di situ. Bahkan di sekitar mobil yang dia parkir, juga tak ada. Keberadaan mobil memang sudah bisa kuketahui. Tapi tak kutemukan juga Mas Ribut. Dan, juga rekan lainnya yang bernama Mas Aan. Keduanya tak kelihatan di sekitar mobil yang diparkir. HP pun kubuka. Kukontak untuk tanya di mana sedang berada.
Seseorang lalu mendekatiku. “Sepertinya mereka lagi berbuka di belakang,” bisik dia ke diriku. Dia adalah pegawai kantor perwakilan asing di Surabaya itu. Belakang yang dia maksud adalah area belakang rumah dinas itu. Lewatnya dari pintu garasi samping rumah. Mendengar teman-teman asisten itu baru berbuka, aku pun terkaget. Karena kami-kami para tamu undangan resmi sudah selesai berbuka. Ya, di ruang dalam rumah pejabat pimpinan kantor perwakilan itu. Begitu adzan, kami langsung menyantap takjil berupa kurma, tempe menjes, dan teh hangat. Bahkan juga ada minuman yang lain. Es buah atau air mineral.
Usai menyantap takjil itu, kami bergegas shalat maghrib berjamaah. Kami dipersilakan untuk naik ke lantai dua. Di situ sudah disiapkan satu kamar untuk keperluan shalat maghrib berjamaah. Makan besar pun segera dilakukan. Begitu usai shalat berjamaah. Di lantai satu. Sebelah ruang penyambutan tamu. Dan dalam waktu sekitar 30 menit, kami pun menikmati seluruh makanan dan minuman yang ada. Semuanya disajikan untuk kepentingan buka puasa. Artinya, cukup lama kami sudah menikmati santapan takjil dan buka. Sekitar 45 menit totalnya. Dengan waktu yang cukup lama itu, asumsinya, teman-teman yang bertugas sebagai asisten kami sudah usai pula berbukanya.
Makanya, begitu keluar dan mendapati para sahabat karib yang bertugas sebagai asisten kami untuk mobilitas kendaraan tak ada di sekitar kendaraan yang terparkir, kami pun sungguh kaget. “Lho kok lagi berbuka? Kok bisa begitu? Berarti baru buka dong ya?” tanyaku kepada seorang pegawai yang sebelumnya berbisik kepadaku di pelataran rumah pimpinan kantor perwakilan asing itu. “Ya, Pak. Barusan!” sahutnya atas pertanyaanku itu. Tak lama kemudian, Mas Ribut dan Mas Aan sudah menggeserkan mobil masing-masing. Menuju ke arah kami. Begitu mobil berada di depan rumah pimpinan kantor perwakilan asing itu, kami pun satu-persatu memasuki mobil. Aku menuju ke mobil Mas Ribut. Pak Wakil Rektor 1 dan 3 menuju mobil satunya yang dikemudikan Mas Aan.
Begitu berada di dalam mobil, aku pun lalu bertanya kepada Mas Ribut: “Mas, njenengan belum berbuka ya?” Pertanyaan ini kuutarakan untuk memastikan bahwa beliau betul-betul sudah berbuka puasa. Ku tak ingin sahabatku kelaparan. Sementara aku kekenyangan. Mas Ribut pu menjawab kontan: “Sampun, Pak.” Cepat sekali Mas Ribut mengutarakan jawaban itu. “Memangnya, makan apa?” tanyaku lebih dalam untuk memastikan lebih jauh. “Tadi minum es buah dan gorengan sosis,” jawabnya. “Ha?” responku keheranan. “Kok hanya es buah dan sosis, Mas?” tanyaku lebih detil. “Tapi sampun cekap, kok Pak,” komentarnya lebih lanjut.
Tampak sekali Mas Ribut sedang mempraktikkan ilmu hikmah. Orang umum menyebutnya ilmu orang tua. Tawadlu’. Tak mau berkomentar negatif. Selalu berorientasi positif. Selalu menunjukkan respon baik. Tentu kepentingannya untuk menjaga harmoni. Untuk menjaga perasaan baik-baik saja. Di antara para pihak yang terlibat dalam undangan penjamuan buka bersama di rumah pimpinan kantor perwakilan asing itu. Walaupun aku sendiri sangat ragu bahwa Mas Ribut itu betul-betul sudah berbuka puasa sebagaimana mestinya. Sebagaimana yang juga secara memadai sudah kulakukan bersama para tamu undangan lainnya.
Ungkapan “baru saja” di atas bikin aku sedikit gelisah. Karena, kata “baru saja” seperti yang disampaikan pegawai pimpinan kantor perwakilan asing itu menandakan bahwa para asisten penanggung jawab mobilitas kendaraan kami itu betul-betul baru dalam hitungan menit pendek menikmati takjil. Belum berbuka dalam makna pada umumnya. Artinya, dia dan teman-teman asisten lainnya betul-betul belum berbuka sebagaimana normalnya orang puasa. Hanya, Mas Ribut tidak mau menyampaikan yang sebenarnya. Saya yakin, itu untuk kepentingan menjaga hubungan baik dengan semuanya. Mulia sekali beliau-beliau asisten seperti itu. Baik hati sekali sahabat-sahabatku itu.
Dalam perjalanan pulang malam itu, kubilang ke Mas Ribut. “Mas, itulah bedanya penjamuan oleh orang asing dan oleh kalangan pesantren! Di pesantren, sopir selalu didulukan. Dilayani terlebih dulu. Agar bisa segera menyantap makanan dan minuman lebih dulu. Agar ada waktu bagi mereka untuk mempersiapkan layanan penyopiran kendaraan saat kyainya sudah siap untuk melanjutkan perjalanan. “Inggih leres!” kata Mas Ribut. “Bahkan,” lanjutnya, “kita para sopir saling mendukung dan memberikan pelayanan satu sama lain.” “Siapa yang sedang menjadi tuan rumah, dia yang melayani teman-teman sopir lainnya yang datang sebagai pengantar tamu,” jelas Mas Ribut lebih jauh.
Sedangkan di acara buka bersama di rumah pimpinan kantor perwakilan asing di Surabaya itu, semua sopir dilayani paling akhir. Mungkin menunggu tamu undangan selesai makan terlebih dulu. Atau mungkin karena alasan lainnya. Tentu kami tak tahu yang menjadi pertimbangan sebetulnya. Hanya, faktanya, teman-teman para asisten penyopiran kendaraan itu baru saja menyantap minuman dan kue saja. Itu pun baru dalam hitungan menit yang sebentar. Akhirnya mereka pun terpontal-pontal mengatur kegiatan berbukanya. Makan dan minumnya tak memadai. Karena saat para asisten penyopiran kendaraan itu masih sedang menyantap minuman es dan makanan ringan, kami-kami yang menumpang kendaraan yang mereka sopiri sudah berada di depan pelataran pimpinan kantor perwakilan asing itu untuk segera pulang. Mereka pun belum menyantap makanan sebagaimana umumnya orang puasa.
Sobat,
Ini soal hospitality. “Keramahan” memang terjemahannya. Tapi sesungguhnya itu soal penghormatan. Substansinya soal mengorangkan sesama dalam pemberian layanan. Semua kisah di atas berkaitan erat dengan penunaian pelayanan terbaik kepada tamu atau pengunjung. Bukan berarti bahwa mengisahkan jamuan buka bersama di rumah pimpinan kantor perwakilan asing dan juga tradisi pelayanan tamu di pesantren di atas adalah untuk membandingkan. Apalagi untuk mencari mana yang lebih baik. Tentu tidak. Tak ada maksud itu semua. Penurunan dua cerita di atas hanya untuk menjelaskan perbedaan dua tradisi yang ada. Kebetulan saja case-nya adalah jamuan makan. Lalu, atas dasar perbedaan itu, kita penting mengambil pelajaran.
Dalam kaitan ini, ada dua pelajaran yang layak untuk dipetik. Pertama, jangan sepelekan hospitality dalam layanan publik. Sebab, hospitality akan menentukan kepuasan. Saat layanan dianggap buruk, maka kepuasaan tak pernah akan dirasakan. Dan sebaliknya juga terjadi. Saat kepuasan sudah di tangan, semua layanan jadi idaman. Kalau saja ada yang kurang, selalu akhirnya dimaafkan. Para penerima manfaat pun lalu akan selalu bilang “ya nggak papa, itu biasa jika ada yang kurang-kurang” dan semacamnya. Akan ada pemakluman atas kekurangan jika memang ada.
Artinya, toleransi akan selalu diberikan. Oleh setiap tamu, pengunjung, atau penerima manfaat layanan. Pada potensi kekurangan yang mungkin muncul atas layanan yang diberikan. Jika saja itu memang tak terhindarkan. Tapi, itu semua hanya bisa terjadi saat di sana sudah ada bentuk layanan keramahan. Hospitality untuk istilah umum kenamaan. Dengan begitu, kepuasan awal sudah dirasakan. Dari penyambutan yang dilayangkan. Dari bentuk penghormatan yang diberikan. Meskipun dalam tahapan berikutnya muncul kekurangan. Akan selalu dimaafkan. Karena kepuasan awal tak bisa dilupakan.
Maka jangan remehkan setiap bentuk layanan penyambutan. Bisa saja kita menganggap kecil. Tapi pengaruhnya bisa mengkhawatirkan. Mungkin saja kecil bentuknya. Tapi besar dampak ikutan. Bisa saja contohnya mengucapkan salam dan menundukkan badan. Tapi besar kesan positif yang ditimbulkan. Karena semua itu langsung bisa dirasakan. Sejak awal kedatangan. Karena awal yang baik akan selalu menimbulkan perasaan yang mengesankan. Berikutnya tinggal dirawat untuk kelanjutan. Atas kesan positif yang bikin nyaman perasaan. Bahkan, kesan baik itu pun bisa berlangsung berketerusan.
Sebagai pelajaran kedua, untuk sukses dalam memberi pelayanan, bacalah latar belakang tamu yang terundang. Atau pengunjung yang datang. Agar tidak salah baca atas preferensi hidup orang lain yang sedang hadir. Manfaatkan semua sumber informasi. Untuk mendapatkan isyarat terbaik tentang apa saja menyangkut siapa yang datang. Kepentingannya untuk mendekatkan basis pengetahuan atas satu sama lain. Kalau ini sudah berhail diraih, proses komunikasi akan segera terwujud dengan baik. Bahkan bisa langsung nyambung satu sama lain. Tentu, proses yang dekat dan nyambung inilah yang menjadi kebutuhan komunikasi. Apalagi antara dua pihak yang mewakili lembaga yang berbeda. Tentu, kebutuhan kepada komunikasi yang tersambung seperti ini menjadi idaman.
Sebaliknya, gagalnya pembacaan awal tentang siapa yang datang akan pasti berdampak pada munculnya masalah komunikasi dan relasi. Itulah sebabnya, dikenalkan istilah cultural barriers (rintangan budaya). Yakni, tantangan dalam komunikasi yang muncul akibat perbedaan latar belakang budaya pada pihak-pihak yang terlibat. Tantangan ini bisa lahir karena perbedaan-perbedaan bahasa, stereotip, dan bahkan prasangka antar kelompok sosial yang berbeda. Beda tak selalu bermakna. Jika tidak dilengkapi dengan kebutuhan untuk saling mengenal. Karena itulah, cultural barriers biasanya diiringi dengan culture gap (celah budaya). Dan semua proses komunikasi harus bisa menutup culture gap ini.
Culture gap memang menjadi kata kunci. Ia bisa menghambat berkembangnya pemahaman saling (mutual understanding) atas dua budaya yang berbeda. Bahkan bisa merugikan jalinan hubungan keduanya. Lebih-lebih saat celah budaya ini terjadi pada tradisi dan budaya dua negara yang berbeda. Atau bahkan dua peradaban yang berbeda. Karena itu, Penny Carté & Chris Fox (Bridging the Culture Gap: A Practical Guide to International Business Communication, 2008) mengingatkan pentingnya dilakukan upaya menjembatani dua celah budaya dimaksud.
Komunikasi adalah salah satu langkah konkretnya. Bentuknya, menurut Penny Carté & Chris Fox (Bridging the Culture Gap, 2008:138), meliputi dua hal: mutual empathy (empati saling menguntungkan) dan effort as overcoming cultural differences (langkah untuk mengatasi perbedaan budaya). Dan untuk menumbuhkan empati serta mengatasi perbedaan budaya ini, hal-hal kecil bisa membantu. Seperti dengan mengutip istilah yang berlaku di komunitas lawan bicara. Atau mungkin juga dengan menggunakan kostum yang galib ditemukan di masyarakat lawan bicara. Dan, masih ada contoh lainnya yang mengusung semangat serupa.
Maka, sebelum melaksanakan tugas dan pekerjaan hospitality, penting dilakukan telaah secermat mungkin atas budaya mereka yang datang sebagai tamu. Mulai dari penggunaan bahasa, cara menyantap sajian makanan-minuman, hingga cara bertindak-tanduk di hadapan lawan bicara. Bahkan gestur tubuh pun bisa juga ditelaah secara cermat untuk menjadi modal pemberian penghormatan dan hospitality terbaik. Lalu, berdasar hasil telaah atas berbagai aspek perbedaan itu, layanan hospitality selanjutnya bisa diselenggarakan dengan mempertimbangkan secermat mungkin perbedaan-perbedaan budaya yang sangat mungkin terjadi. Respon positif atas perbedaan adalah bentuk penghormatan yang akan memperbesar kualitas layanan hospitality itu.
Maka, jadilah tuan rumah yang baik. Kepada siapapun yang datang, berikanlah penghormatan terapik. Suguhkan pelayanan yang terbaik. Agar mereka bisa merasakan layanan dengan kualitas yang terlaik. Apalagi, mereka datang sebagai tamu undangan. Pada acara yang kita sendiri selenggarakan. Itu artinya, kedatangan mereka sungguh kita harapkan. Karena itu, mengharapkan mereka hadir harus dibayar lunas dengan pemberian layanan yang diidamkan. Maka tentu, hospitality adalahkata kunci layanan. Tak boleh diabaikan. Apalagi dikesampingkan. Oleh karena ketidakcakapan.
Sebab, bagaimanapun, kepuasan adalah awal dari penerimaan. Dan, sekaligus ujung dari pengalaman manis yang diharapkan. Tentu selanjutnya akan dibagikan kepada rekan yang membutuhkan. Dan saat pengalaman manis itu tak terlupakan, kekuatan promosi dan getok tular kebajikan pun akan begitu saja bermunculan. Bahkan dengan cara yang sebelumnya tak terkirakan. Min haitsu la yahtasib,dalam bahasa santri yang terakrabkan. Lalu, banyak pihak pun akan memberikan perhatian. Untuk dibagikan sebagai wujud kemuliaan yang berkesinambungan. Dan, bukankah kebajikan seperti ini yang oleh banyak pelaku layanan diharapkan, bukan?