Column
Oleh: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag.
Guru Besar/Ketua Senat Akademik UINSA Surabaya

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap orang memikirkan apa yang telah dilakukan untuk hari esok. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Hasyr [59]: 18)

            Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah menjelaskan orang-orang yang hidupnya mudah dibelokkan setan karena tidak ada tujuan dan kemauan yang kuat untuk persiapan menuju akhirat. Sebagai kelanjutan, ayat ini mengingatkan agar kita tidak meniru cara hidup mereka. Sebaliknya, ayat ini mengingatkan agar kita selalu introspeksi, apa saja yang sudah kita lakukan untuk bekal menuju ke alam baka, lalu membuat perencanaan jangka panjang, yaitu akhirat, dan perencanaan jangka pendek yaitu kehidupan 10-30 tahun ke depan, dan seterusnya.    

            Dalam ayat ini terdapat dua keunikan. Pertama, orang yang telah beriman diperintah untuk bertakwa. Hal ini menunjukkan, bahwa orang yang beriman belum tentu bertakwa dengan menjalankan shalat dengan khusyuk, Ikhlas dan menerima dengan senang hati apa pun keputusan Allah yang enak atau tidak enak, dan sebagainya.

Dalam ayat yang lain, Allah bahkan memerintahkan orang yang beriman agar beriman kepada-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kepada Allah dan rasul-Nya” (QS. An Nisa’ [4]: 136). Ini menunjukkan bahwa iman kita masih pengakuan belaka, bukan iman sepenuh hati yang melahirkan keyakinan yang kuat. Dengan kata lain, iman kita masih keropos dan palsu. “Dan sebagian manusia mengatakan “kami telah beriman kepada Allah dan hari akhir,” tapi sejatinya mereka bukan orang beriman” (QS. Al Baqarah [2]: 8).

Orang beriman selalu ceria, bahagia, senang dengan takdir Allah yang enak dan tidak enak, dan tak pernah merasa takut atau sedih, sebab semua takdir diyakini sebagai pilihan Allah yang terbaik untuk dirinya. “Tidak demikian! Orang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah serta berbuat baik (ihsan), akan mendapat pahala di sisi Tuhannya, tidak ada rasa takut yang menimpa mereka, dan mereka pun tidak bersedih” (QS. Al Baqarah [2]: 112).  Sudahkah iman kita seperti ini?

            Orang beriman dan bertakwa selalu mencari bekal menuju akhirat dengan sedekah, seperti yang diteladankan para sahabat. Suatu hari, ketika Nabi sedang duduk santai dengan para sahabat, datanglah penduduk pedalaman yang tak punya tempat tinggal (nomaden), tanpa alas kaki dan dengan pakaiannya yang rombeng, dan pedang di tangannya. Nabi terlihat iba dan sedih, lalu memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan azan. Setelah shalat, Nabi SAW berpidato dengan mengutip dua ayat, yaitu QS. An Nisa’: 1, dan QS. 59: 18 (sebagaimana dikutip di atas). Setelah itu Nabi memerintahkan para sahabat untuk bersedekah dinar atau dirham atau pakaian, atau makanan sekalipun secuil kurma. Para sahabat penduduk asli Madinah langsung berdiri dan berduyun-duyun mengangkut makanan, sampai tangan mereka kesakitan karena beratnya karung mereka. Nabi terlihat sangat senang, dan penduduk badui itu lalu masuk Islam. 

Keunikan yang kedua dalam ayat ini adalah perintah bertakwa diulang dua kali dalam satu ayat. Perintah takwa yang pertama berupa perintah tobat dengan cara “nadhar” yaitu 3 T (tafakkur (berikir), tadabbur (merenung), tadzakkur (mengingat Allah) tentang apa saja yang telah dikerjakan, apakah sudah benar atau salah, apakah sudah cukup untuk bekal menghadap Allah atau belum, dan apa saja yang harus ditingkatkan untuk menyempurnakan iman dan akhlaknya. Sedangkan perintah takwa yang kedua adalah perintah peningkatan kualitas iman, Islam dan ihsan (akhlak) setelah melakukan “nadhar.”  

Kata “ghad” bisa berarti hari esok ketika di akhirat, atau hari esok dalam kehidupan dunia. Misalnya, apa saja yang disiapkan untuk biaya pendidikan anak-anaknya di kemudian hari, atau apa saja simpanan untuk hari tua kelak, agar tidak bergantung kepada anak dan orang lain. Dengan demikian, hidup harus dengan rencana yang matang dan disiplin dengan rencana tersebut. Jika hidup hanya mengalir saja, lalu apa bedanya dengan bangkai ikan yang hanyut ke mana pun air mengalir?

Menurut Imam Al Ghazali, “Seperempat hidup harus berisi muhasabah atau introspeksi.” Introspeksi bisa dilakukan kapan saja, dan bisa dengan meminta kritik orang lain atau melakukannya sendiri (otokritik). Otokritik inilah yang terberat. Craig D. Lounsbrough, penulis buku “The Challenge of Building Self Esteem” serta konselor di Colorado mengatakan, “To save myself, I must face myself, which maybe the hardest of all things to face” (untuk menjaga keselamatan, saya harus melihat diri sendiri (otokritik), dan itulah pekerjaan yang paling berat dari segala-segalanya)

Introspeksi bisa dilakukan di saat yang hening, bisa tengah malam, atau beberapa menit di atas kendaraan, atau di kamar mandi, atau menjelang tidur, dan sebagainya. Jujurlah pada diri sendiri. Saat demikianlah, pikiran, emosi, dan suara hati mengalir dalam otak dan hati. Pada saat itu, bertanyalah pada diri sendiri dengan kata “apa,” bukan “mengapa.”  Kata “mengapa” cenderung menilai dan menghakimi, sedangkan “apa” mengarah kepada pemahaman diri sendiri dan empati. Misalnya, “Apa perbuatan buruk begini saya lanjutkan?” “Apa sebenarnya yang saya cari dalam hidup ini?” “Jika saya didzalimi seperti itu, apakah saya tidak kecewa dan tersakiti?” “Apa saja yang membuat saya kecewa?” dan sebagainya.

Confusius atau Kongcu, filsuf abad 6 SM yang pemikirannya sampai hari ini paling memengaruhi kebudayaan Tiongkok mengatakan, “When you see a good person, think of becoming like him/her. When you see someone not so good, reflect on your own weak points” (Jika kamu melihat orang yang baik, berpikirlah untuk menjadi seperti dia. Jika kamu melihat orang yang tidak baik, fokuskan pikiranmu pada aspek-aspek kekuranganmu). Demikian kata “Nabi” terakhir dalam agama Konghucu dan hari lahirnya dijadikan awal hitungan tahun imlek.   

Selamat berintrospeksi dan membuat perencanaan yang matang untuk masa depan dunia dan akhirat kita. (Surabaya, 6 Februari 2024)

Loading