Dr. Slamet Muliono Redjosari
Terbebasnya Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh dari hukum bunuh menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai firman Allah memiliki kedudukan yang agung dan mulia, sehingga harus membunuh bagi pihak-pihak yang merendahkannya. Abdullah bin Sa‘ad bin Abi Sarh merupakan salah seorang yang pernah mengkhianati nabi. Pengkhianatan itu tidak main-main sehingga melukai hati Nabi Muhammad. Dia dipercaya menulis wahyu namun berkhianat. Salah satu pernyataannya bahwa salah satu redaksi Al-Qur’an berasal dari idenya. Saat pembebasan kota Makkah Nabi memutuskan membunuhnya namun dia akhirnya terbebas karena berkat lapang dada nabi.
Penulis Wahyu
Abdullah bin Sa‘ad bin Abi Sarh merupakan salah satu tokoh dari kalangan Quraisy yang memiliki peran kompleks dalam sejarah awal Islam. Ia berasal dari kabilah Bani ‘Āmir bin Lu’ayy dan merupakan saudara sesusuan dari Utsman bin ‘Affan. Kedekatan hubungan ini memberikan pengaruh signifikan terhadap perjalanan hidup dan dinamika spiritual Abdullah bin Sa‘ad.
Pada masa awal dakwah Islam, Abdullah termasuk di antara tokoh Quraisy yang memeluk Islam dan menunjukkan komitmen awal yang tinggi. Ia dipercaya oleh Nabi Muhammad untuk menjadi kātib al-waḥy (penulis wahyu), yakni mereka yang mencatat secara langsung ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana diturunkan kepada Nabi. Posisi ini menunjukkan kepercayaan besar yang diberikan kepadanya serta kedekatan hubungan personal dengan Rasulullah.
Namun, kepercayaan tersebut tidak bertahan lama. Dalam catatan sejarah, Abdullah mengalami keguncangan iman ketika menyaksikan proses pewahyuan. Ia mulai meragukan orisinalitas wahyu yang disampaikan Nabi, bahkan sampai pada titik di mana ia mengklaim mampu “menyamai” redaksi Al-Qur’an. Dalam satu peristiwa, ketika Nabi Muhammad membaca ayat tentang penciptaan manusia dan menyebut “فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ” (QS. al-Mu’minun [23]: 14), Abdullah mengaku sebagai orang yang mencetuskan kalimat tersebut terlebih dahulu. Klaim ini membuatnya berkesimpulan bahwa Nabi Muhammad hanya mengutip perkataannya, sehingga ia menganggap wahyu sebagai buatan manusia semata.
Akibat dari keyakinan tersebut, Abdullah murtad dan kembali ke agama nenek moyangnya. Ia meninggalkan Madinah dan kembali ke Makkah, lalu bergabung dengan kaum musyrik Quraisy. Perilaku pengkhianatan ini dianggap sebagai bentuk kemurtadan yang sangat berat, mengingat posisinya sebelumnya sebagai penulis wahyu. Oleh karena itu, saat peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Makkah) terjadi, Nabi Muhammad SAW memerintahkan agar membunuh 10 orang. Orang-orang ini telah berbuat kesalahan fatal terhadap Islam. Abdullah termasuk di antara individu yang diperintahkan untuk dibunuh, meskipun berlindung di bawah Ka‘bah.
Sepuluh orang itu di antaranya, ‘Abdullah bin Sa‘ad bin Abī Sarḥ, ‘Ikrimah bin Abī Jahl, Hind binti ‘Utbah, ‘Abdullāh bin Khatal, Miqyas bin Ṣubābah, Huwayrith bin Nuqaydh, Sarah (budak perempuan dari Bani ‘Abd al-Muttalib), Fartana, Habbar bin al-Aswad, Wahshi bin Harb.
Terbebas dari Hukum Bunuh
Namun demikian, sejarah mencatat bahwa Abdullah kemudian memohon perlindungan kepada Utsman bin ‘Affan, yang kemudian membawanya menghadap Rasulullah untuk memohon ampun dan menyatakan tobat. Menurut riwayat, Nabi tidak segera memberikan jawaban, dan hanya diam sejenak. Utsman bin Affan mengajukan permohonan hingga 4 kali agar Abdullah bin Sa’ad bin Sarh dibebaskan dari hukuman bunuh.
Beberapa ulama menafsirkan diamnya Nabi sebagai isyarat tidak langsung agar seseorang bertindak atas hukuman tersebut. Akan tetapi, tidak ada sahabat yang mengambil tindakan karena mereka tidak memahami isyarat tersebut sebagai perintah eksplisit. Akhirnya, Nabi menerima tobat Abdullah dan membiarkannya kembali ke dalam barisan kaum Muslimin.
Pasca peristiwa tersebut, Abdullah berupaya memperbaiki kesalahan masa lalunya. Pada masa kekhalifahan Utsman bin ‘Affan, ia diangkat sebagai Gubernur Mesir, menggantikan ‘Amr bin al-‘Āsh. Dalam kapasitas ini, Abdullah memimpin ekspedisi militer penting ke wilayah Afrika Utara, seperti Libya dan Tunisia. Ia juga dikenal sebagai pemimpin dalam Perang Dhat al-Sawārī, yakni pertempuran laut antara kaum Muslimin dan pasukan Bizantium. Kemenangan pasukan Islam dalam pertempuran ini menjadi tonggak penting dalam sejarah angkatan laut Islam awal.
Namun, kiprah politik dan militernya tidak berlanjut lama. Setelah terbunuhnya Utsman bin ‘Affan dalam peristiwa yang menjadi awal fitnah kubra (konflik besar umat Islam), Abdullah memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Ia tidak memihak dalam konflik antara Ali bin Abi Thalib dan pihak-pihak yang menentangnya. Keputusannya untuk tidak terlibat dalam konflik internal menunjukkan sikap kehati-hatian dan keinginannya menjaga stabilitas komunitas Muslim.
Abdullah bin Sa‘ad bin Abi Sarh wafat sekitar tahun 36–37 H (656–657 M). Ia meninggal dalam keadaan Islam setelah sempat mengalami kemurtadan dan kembali kepada kebenaran. Riwayat hidupnya menjadi refleksi penting dalam studi tentang dinamika keimanan, politik, dan pengampunan dalam Islam.
Kelapangan dada nabi benar-benar menunjukkan besarnya kelapangan beliau dan tidak ada balas dendam terhadap pihak-pihak yang meminta maaf secara sungguh-sungguh serta menyesali perbuatan buruknya. Betapa tidak, Abdullah bin Sa‘ad bin Abi Sarh merupakan salah seorang yang pernah dipercaya sebagai penulis wahyu tetapi berkhianat.
Surabaya, 12 Mei 2025