Column

HEADPHONE KESALEHAN PUBLIK

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Pagi itu, kukenakan headphone. Ngetik di laptop sambil ndengerin lagu. Kukenakan headphone itu sekaligus karena kupingin memastikan informasi awal sebelumnya dari anak lelakiku. Bahwa perangkat dengar yang dihadiahi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu betul-betul keren. Enak digunakan. Tak sakit di telinga. Dan suara yang keluar juga bikin nyaman. Lalu, begitu ku berhasil memastikan betul apa yang diinformasikannya, kubilang ke anak remajaku itu: “Betul adek ya, headphone hadiah KPK ini bikin nyaman.” “Emang,” sahut kontan anak lelaki itu.

Mendengar dialog pendekku dengan anak remajaku itu, isteriku menyahut: “Mungkin KPK menghadiahi headphone itu biar Ayah semakin peka mendengar. Semakin tajam pendengarannya terhadap apa yang terjadi di lingkungan kerja. Biar Ayah bisa semakin bisa terus berkarya dengan mulia.” Mendengar komentar isteriku itu, hatiku senang. Ternyata, aku semakin disadarkan olehnya tentang pentingnya menjadi pribadi yang berkinerja dalam kemuliaan itu. Hadiah perangkat headphone itu kutangkap dimaksudkan untuk terus mengingatkanku bahwa berkinerja dalam kemuliaan itu harapan bersama.

Aku pun bahagia dengan pernyataan isteriku. Memang inilah seharusnya yang terjadi antara suami dan isteri. Saling mengingatkan. Saling melengkapi. Untuk kemuliaan yang dicita-citakan. Dalam hidup bersama. Di ruang kecil bernama keluarga maupun ruang publik yang lebih besar. Ya, bukan hanya kemuliaan untuk kehidupan kecil pribadi dan keluarga. Melainkan lebuh-lebih untuk kemuliaan bersama di ruang publik di sebuah bangsa. Termasuk di tempat kerja. Dan dialog di Minggu pagi (24 Maret 2024) itu pun bikin suasana libur mingguan jadi makin nikmat bagi keluarga kecilku. Santai tapi penuh makna. Bercanda bersama tapi penuh kemuliaan yang didamba.

Perihal headphone, perangkat itu memang bagian dari souvenir yang dihadiahkan oleh KPK kepadaku. Sebagai hadiah atas ditetapkannya aku sebagai Duta Prestasi Kemenag oleh KPK. Penghargaan itu kuterima seusai berhasil menyelesaikan serangkaian proses dengan kinerja tertentu dalam pelatihan antikorupsi. Namanya Prestasi. Sebuah Singkatan. Kepanjangannya adalah “Pelatihan Refleksi dan Aktualisasi Integritas”. Tambahan kata “Kemenag” di akhir gelar “Duta Prestasi” itu untuk menunjuk ke substansi bahwa semua duta tersebut berasal dari dan untuk kepentingan Kementerian Agama RI. Itu semua karena basis dan latar belakang seluruh peserta pelatihan itu dari pejabat eselon dua dan juga eselon satu yang disetarakan Kemenag.

 

Foto:  Sertifikat Pelatihan Antikorupsi Untuk Duta Prestasi Kemenag

Di pelatihan yang keren itu, kurikulumnya mentereng. Peserta diberi serangkaian ilmu, kecakapan, dan keterampilan yang bernilai tinggi untuk menciptakan kepribadian sebagai pejabat yang berintegritas. Bagaimana tidak? Peserta dikondisikan untuk bisa menginternalisasikan integritas ke dalam diri dan jabatannya. Ada tiga pilar penting yang menjadi bangunan akademik pelatihan itu. Pertama, membangun keyakinan integritas. Kedua, membangun daya nalar integritas. Ketiga, membangun keberanian moral integritas. Tampak dari ketiga pilar tersebut tiga domain dasar integritas yang dibangunkan ke dalam diri seluruh peserta: kesadaran (yang digambarkan dengan keyakinan), pengetahuan (yang diilustrasikan dengan daya nalar), dan keberanian moral.

Sadar saja tidak cukup. Pinter saja juga tak memadai. Tapi, kesadaran yang baik dan ilmu yang memadai atas integritas harus disempurnakan dengan keberanian moral untuk menegakkannya. Keberanian moral tersebut adalah penyempurna kemuliaan. Sebab, buruknya ruang publik bukan karena makin hebatnya orang-orang jahat. Melainkan akibat diamnya orang-orang baik. Betapa banyak orang baik secara individu perindividu. Tapi lacurnya, masih banyaknya orang baik tak membantu apa-apa untuk penciptaan ruang publik yang baik. Kontribusi orang baik tidak terlalu kuat untuk perbaikan ruang publik. Kebaikan diri tersebut cenderung bergerak hanya ke dalam diri pemiliknya. Belum bergerak aktif dan meluas ke kehidupan ruang publik.

Pertanyaannya kemudian, mengapa ruang publik tetap bopeng meski orang baik masih banyak? Itu semua karena orang-orang baik itu cenderung diam atas kebobrokan moral publik. Minimal tak melakukan praktik speak-up terhadap praktik penistaan integritas di ruang publik. Korupsi salah satunya. Kenapa semua itu bisa begitu? Karena banyak orang yang berhenti pada titik keyakinan atau kesadaran saja atas integritas. Mereka minim ilmu atasnya. Kalaulah ada yang memiliki keyakinan dan atau kesadaran yang baik serta ilmu yang cukup atas intergitas, mereka tak dilengkapi dengan keberanian moral yang memadai untuk menegakkan ajaran dan nilai integritas dalam kehidupan nyata di ruang publik.

Foto:  Headphone Souvenir dari KPK Pasca Pelatihan Prestasi

Karena itu, jargon Pelatihan Prestasi itu dibangun di atas kebutuhan riil dengan meliputi tiga kata kunci: jujur, berani, dan konsisten. Jujur tak hanya ditandai oleh satunya kata dan perbuatan semata. Tapi satunya kata dan perbuatan itu harus diikat ke dalam domain dan kebajikan. Satunya kata dan perbuatan tak akan bernilai apapun jika tak berada dalam ruang kebajikan. Maka, orientasi satunya kata dan perbuatan tersebut harus disebut sebagai sebuah kebajikan. Orientasi kebajikan ini akan meluas jika seseorang diberkahi dengan keberanian. Berani jujur. Berani memperjuangkan kebajikan.

Keberanian yang semacam ini tak boleh angin-anginan. Tak boleh gampang masuk angin. Sebab, penolakan dan penentangan pasti akan selalu menghadang. Tidak bisa tidak. Karena itu, dibutuhkan konsistensi dalam bertindak dan memperjuangkan kejujuran. Konsistensi inilah yang akan menjaga kemuliaan integritas di hidup yang nyata. Mengapa demikian? Itu semua tak lepas dari fakta kemanusiaan. Bahwa dalam diri seseorang terdapat tiga ranah penting. Kognitif, afektif dan psikomotorik. Begitu taksonomi Bloom mengajarkan. Kognitif itu urusan pengetahuan. Afektif berkaitan dengan sikap dan emosi. Priskomotorik itu urusan perilaku.

Pengalaman menjadi pembangun rumus hidup berikut: Tak selalu pengetahuan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan atas dasar pengetahuan yang dimilikinya. Dan sebaliknya, tak semua perilaku didasarkan pada pengetahuan. Mengapa itu semua terjadi? Karena antara pengetahuan dan tindakan itu masih ada domain lain. Yakni afektif. Urusannya emosi dan sikap. Dalam realitas kehidupan, domain afektif ini kerap menjadi faktor penentu dalam diri seseorang. Saat terjaga mulia, domain ini akan mengantarkan seorang anak manusia bisa bermental malaikat. Tapi saat busuk, maka domain tersebut akan bisa mengantarkan seorang anak manusia bisa lebih jahat daripada binatang liar sekalipun.

Karena itulah, karakter agar bisa tumbuh baik butuh lahan subur. Lahan subur ini adalah lingkungan sosial yang luhur. Di sinilah, kalimat wong kang sholeh kumpulane dalam ajaran Mbah Sunan Bonang bisa dibaca oleh orang modern dengan istilah ekosistem sosial. Karakter itu butuh ekosistem sosial yang baik. Ajaran wong kang sholeh kumpulane disampaikan agar tercipta ekosistem sosial yang baik untuk tumbuhnya karakter luhur. Ini semua dibutuhkan agar kognitif yang baik menemukan lahan suburnya dalam wilayah afektif yang suportif agar bisa menumbuhkan perilaku yang mulia.

Eksosistem sosial yang baik itu menjadi penguat berkembangnya nilai konsistensi dalam hidup. Sebab, meminjam semangat dari ungkapan al-iman yazid wa yanqush (iman itu bisa bertambah dan bisa pula berkurang), konsistensi pun sebagai bagian dari karakter juga bisa bertanbah dan bisa pula berkurang. Iman saja bisa naik-turun, apalagi konsistensi dalam perilaku. Itu di antaranya karena ada domain afektif seperti yang diuraikan di atas. Nah, mendengar dan melihat langsung akan mengikat komitmen hidup dalam konsistensi yang tinggi untuk tujuan kemuliaan hidup.

Melalui headphone yang dihadiahkan di atas, kita (atau minimal aku) diajak oleh KPK untuk selalu mendengar suara langit betapa jujur menjadi barang mahal. Dan karena itu, nilai jujur itu harus dirawat. Harus diperjuangkan. Agar bisa tumbuh. Dan lebih-lebih bisa mewarnai sekitar. Nah, memperjuangkan kejujuran di ruang publik itu membutuhkan keberanian. Sebab, tanpa keberanian moral, kejujuran hanya menjadi milik ruang privat dalam hidup seseorang semata. Dan itu tak memberi arti apa-apa kepada kepentingan penciptaan kebajikan bersama. Dan perjuangan untuk menegakkan kejujuran di ruang publik itu butuh istiqamah. Butuh konsistensi. Maka, berada dalam ekosistem yang baik akan merawat konsistensi itu.

Mengapa istiqamah atau konsistensi begitu pentingnya? Mari kita baca khazanah keagamaan yang sangat kuat dalam tradisi Islam. Sebut saja di kalangan santri. Tradisi santri mengajarkan, al-istiqamah khairun min alfi karamah. Konsistensi itu lebih baik daripada seribu kemuliaan. Kata alfi yang berarti “seribu” di sini disebut untuk menyatakan bahwa karamah atau kemuliaan hidup itu penting, namun seribu kemuliaan hidup masih kalah nilainya oleh istiqamah atau konsistensi. Apa artinya? Betapa agama memuliakan istiqamah atau konsistensi dalam hidup itu. Saking tingginya penghormatan agama, disebutnya bahwa nilai kebajikan konsistensi bukan saja setara, melainkan melebihi seribu kemuliaan.

Semua kita meyakini bahwa karamah atau kemuliaan hidup adalah harapan semua. Sebut saja begitu. Kalau tidak semua kita, ya hampir setiap kita tentu meyakini prinsip hidup itu. Tapi, betapa harapan atas kemuliaan hidup tersebut sering hanya berhenti untuk internal diri sendiri. Bahkan, kemuliaan internal diri sendiri tersebut juga masih ditawar oleh banyaknya keinginan, tantangan dan rintangan hidup dalam babakan panjang kehidupan diri seseorang ini. Kadang hidup pribadi terseret menjadi buruk karena kuatnya keinginan, tantangan dan rintangan yang menantang langsung integritas. Itu terjadi jika tak hati-hati dalam hidup. Maka, istiqamah atau konsistensi sangat dimuliakan dalam agama, seperti dalil Sufisme di atas.

Duh, agama begitu mendukungnya pada jaminan integritas diri manusia dalam hidupnya! Karamah saja sudah menempati posisi yang sangat tinggi dalam prinsip agama dan hidup keagamaan. Tapi toh begitu, tetap saja masih ada yang lebih tinggi dari sekadar karamah atau kemuliaan. Itulah istiqamah atau konsistensi dalam kemuliaan. Konsistensi dalam integritas hidup. Ini semua mengajarkan bahwa agama sejatinya tak hanya ngurusi kehidupan privat seseorang. Tak hanya berkaitan dengan ibadah personal seorang hamba kepada Tuhannya semata. Agama lebih-lebih memberi perhatian tinggi pada ibadah ruang publik.

Ibadah ruang publik itulah yang disebut oleh sejumlah ahli dengan istilah public piety atau kesalehan publik. Lihatlah karya Max Stille (Islamic Sermons and Public Piety in Bangladesh, 2020), Lara Deeb (An Enchanted Modern: Gender and Public Piety in Shi`i Lebanon, 2006), dan Benjamin F. Soares (Islam and Public Piety in Mali, 2004). Konsep kesalehan publik mirip dengan konsep kesalehan sosial (Mohammad Sobary, Kesalehan Sosial, 2007). Namun yang disebut pertama lebih ditekankan pada dampaknya terhadap perbaikan tatanan ruang publik, bukan sekadar ekspresi kesalehan diri, termasuk dengan orientasi kepada sesama, dalam kehidupan bersama semata. Artinya, kesalehan publik memiliki orientasi yang lebih meluas hingga menyentuh perbaikan tata kelola ruang publik oleh nilai kesalehan.

Foto:  Sampul Depan Buku
Islamic Sermons and Public Piety in Bangladesh

Itulah rahasianya kenapa Pelatihan Prestasi oleh KPK di atas mengambil jargon dengan tiga pilar nilai: jujur, berani, konsisten, seperti diuraikan di atas. Hanya, pertanyaannya lalu, apa yang harus dilakukan oleh lembaga publik dalam menjamin integritas dengan tiga pilar tersebut? Frase lembaga publik berarti juga meliputi perguruan tinggi. Negeri khususnya. Seiring dan sekaligus seraya memaknai pemberian hadiah headphone oleh KPK di atas, kucatat dua langkah penting yang harus dilakukan oleh semua lembaga publik. Agar integritas mewarnai setiap tahapan penunaian amanah publik yang diemban.

Pertama, pentingnya menciptakan sistem pelaporan pelanggaran integritas. Nama lainnya, whistleblowing system. Dibutuhkan sistem yang memungkinkan seseorang, khususnya internal, untuk mengungkap dan melaporkan  informasi yang berkaitan dengan pelanggaran integritas oleh siapa saja yang berada dalam organisasi atau instansi. Semakin impersonal sebuah whistleblowing system dibangun, semakin baik proses dan hasilnya. Sebab, di sana tak akan ada perasaan ewuh-pakewuh. Tak akan ada perasaan enak-tidak enak. Karena yang terlibat dalam proses pelaporan pelanggaran integritas lebih bersifat impersonal, tak memperhadapkan diri secara langsung.

Hadiah perangkat headphone oleh KPK di atas sejatinya simbol semata agar pimpinan lembaga publik lebih peka terhadap setiap potensi yang bisa melahirkan pelanggaran integritas. Kegiatan mendengar yang melekat pada perangkat headphone itu adalah awal saja untuk menjamin sensitivitas pimpinan lembaga publik terhadap setiap potensi pelanggaran integritas dimaksud. Bahkan lebih jauh, hadiah perangkat headphone di atas harus ditangkap oleh pimpinan lembaga manapun sebagai simbol semata agar pimpinan lembaga bergerak aktif untuk menciptakan whistleblowing system sebagaimana diulas sebelumnya.

Kedua, pentingnya menciptakan sistem penghargaan dan hukuman yang baik. Bahasa manajemen modernnya, reward and punishment system. Sistem ini dibutuhkan untuk menyempurnakan whistleblowing system seperti diuraikan di poin sebelumnya. Dalam proses kerjanya, sistem ini memungkinkan prestasi disambut langsung dengan rekognisi. Kinerja dibayar lunas dengan penghormatan yang berharga. Dikonversi dengan pemberian nilai jasa. Itulah substansi dasar dari mekanisme penghargaan. Sebaliknya, setiap pelanggaran integritas akan berujung pula pada pengurangan nilai trust. Kepercayaan atasnya terkoreksi dengan sendirinya. Dan itu akan menjadi rekam jejak yang tak bisa terhapuskan. Itulah semangat dasar dari hukuman.

Pada level yang lebih tinggi, mekanisme penghargaan dan hukuman ini dibutuhkan untuk memastikan integritas terjaga dengan baik secara berkelanjutan. Itu karena integritas bukan barang jadi. Ia juga tidak datang tiba-tiba. Alih-alih, integritas itu harus diperjuangkan. Harus terus diikhtiarkan. Dengan kuat. Melalui proses yang terukur. Lalu, saat integritas sudah diperjuangkan dengan kuat serta terjaga dengan baik secara berkesinambungan, prestasi dan kinerja akan lahir dalam kemuliaan yang mapan. Tak hanya untuk keutamaan personal tapi juga kebajikan lembaga. Prestasi dan kinerja, karena itu, bisa menyasar dan menyumbang pada kemuliaan diri dan lembaga. Inilah prestasi dan kinerja yang didamba hari ini. Berdampak baik untuk diri sendiri dan lembaga.

Muslim yang baik sangat memuliakan pendengaran. Bersama penglihatan, pendengaran akan menyempurnakan keislaman. Tentu syaratnya, pendengaran –bersama penglihatan dimaksud– tak hanya berorientasi ke dalam diri sendiri semata. Melainkan lebih-lebih untuk menjamin kemuliaan ruang publik. Sebab, kata Islam itu memiliki orientasi transitif. Bahasa Arabya, muta’addi. Punya maf’ul. Ada obyek eksternal yang dituju. Bukan sekadar untuk internal diri sendiri. Itu bedanya dengan kata salam atau silm, yang keduanya tak memiliki nilai transitif tersebut. Tak memiliki kapasitas yang kuat untuk melahirkan dampak baik ke luar.

Maka Muslim yang baik adalah yang punya perhatian kuat pada kebajikan ruang publik. Tak berhenti hanya pada perbaikan diri menuju kesalehan personal. Itulah substansi kesalehan publik. Kesalehan diri yang memiliki dampak positif bagi penciptaan dan penguatan tata kelola ruang publik. Dengan begitu, ukuran keislaman seseorang sangat ditakar oleh baiknya diri beserta dampaknya untuk perbaikan ruang publik. Maka, perangkat headphone yang dihadiahkan KPK kepadaku, sejatinya, adalah headphone kesalehan publik. Ya, panggilan untuk bersama-sama memperbaiki tata kelola ruang publik yang menentukan kualitas hidup bersama secara baik.