Hantu Serangan Fajar
Abdul Chalik
Guru Besar dan Dekan FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya
Akhir September 2023 lalu saya mengisi diskusi tentang marketing politik di sebuah acara partai X di Surabaya. Dalam sesi tanya jawab salah seorang Caleg menyampaikan bantahan terhadap beberapa teori yang saya sampaikan. Percuma teori-teori yang Bapak jelaskan, katanya. Berdasarkan pengalaman saya dua kali gagal sebagai Caleg dan 2019 baru sukses, hanya hanya tiga cara agar lolos sebagai anggota legislatif yakni ‘kenal, jaringan dan uang’. Di luar itu bakal gagal, jelasnya.
Berdasarkan pengalamannya, dua kali gagal di saat menit terakhir (last minute). Dalam hitungan matematis ia yakin terpilih karena bermodalkan saudara, kenalan, teman, jaringan yang sudah tertata dengan baik. Ia meyakini bahwa saudara dan teman-temannya akan memilihnya. Namun jeketek (tanpa disangka, istilah bahasa Suroboyoan), suara mereka dibabat habis oleh sekelompok orang yang ia sebut sebagai ‘serangan fajar’ di menit-menit terakhir.
Serangan fajar. Istilah yang sangat populer terutama saat menjelang Pemilu, Pilpres, Pilkada hingga Pilkades. Serangan fajar merujuk pada upaya mempengaruhi pemilih di saat fajar, atau menjelang matahari terbit. Melihat dari berbagai sumber, istilah fajar diidentikasi jedah waktu ketika cahaya aram mulai muncul hingga sesaat sebelum matahari mulai naik dari cakrawala. Ada pula yang menyatakan di saat matahari berada pada 6 derajat di bawah horizon pagi hari. Namun ada pula yang menyatakan berada di bawah 12 dan bahkan 18 derajat di bawah horizon berdasarkan perspektif atronomi dan nautikal.
Istilah serangan fajar bukan murni dari istilah mobilisasi suara saat Pemilu. Istilah ini sangat populer di kalangan tentara, yakni melakukan serangan di saat fajar. Tentara terutama pasukan di garis depan seperti marinir melakukan serangan dan penyerbuan di saat musuh tertidur lelap. Karena pada jam tersebut badan dalam kelelahan sehinga mata memungkinkan untuk tertidur lelap. Banyak cerita kesuksesan serangan ‘maut’ justru terjadi saat fajar. Baru-baru ini Palestina (Hamas) menyerbu kota-kota selatan Israel pada saat fajar. Hasil cukup mengagetkan. Israel kewalahan menghadapi serbuan Hamas.
Saat hari coblosan tiba, di saat saat cahaya aram itulah seseorang atau sekelompok orang akan datang ke rumah untuk membagi kertas, sembako bahkan amplop kepada masyarakat agar mengikuti ajakannya. Yang datang ada kalanya orang yang sudah dikenal alias tetangga dan ada pula saudara. Mereka terorganisir melalui jejaring resmi yang tidak terdeksi oleh kawan maupun lawan. Muncul hanya beberapa jam menjelang coblosan. Mereka memasuki gang, memasuki rumah, atau meletakkan ‘sesuatu’ di pintu rumah depan. Entah itu tanda gambar, amplop yang berisi uang atau dalam bentuk sembako. Mereka baru muncul di saat peluang ‘kelompok lain’ sudah lagi tidak memungkinkan untuk merebut suara. Muncul di saat fikiran dan konsentrasi secara penuh untuk datang dan memberikan suara di TPS.
Di beberapa tempat berdasarkan pengalaman teman, bukan hanya datang dan memberikan sesuatu tetapi juga menyediakan kendaraan menuju lokasi TPS. Di desa-desa terpencil yang cukup luas, saat perhelatan coblosan terutama Pilkades, kendaraan pengangkut seperti truk dan pick up sudah parkir di simpang jalan dan sisi rumah warga. Saat fajar kendaraan tersebut mulai hilir mudik datang dan pergi untuk menjemput warga. Di dalam kendaraan masyarakat disediakan makan pagi hingga amplop yang berisi nama calon dan beberapa lembar rupiah.
Apakah dengan serangan fajar berdampak pada perubahan pilihan masyarakat, wallahu a’lam. Tetapi beberapa survey terakhir menyebutkan bahwa bantuan sembako dan pemberian uang masih berada di posisi tertinggi yang menarik perhatian warga saat kampanye. Model Pemilu rasional dan transaksional tetap menjadi tantangan dalam praktik demokrasi di negara kita. Para peneliti yang concern pada demokrasi elektoral yang menyatakan seperti itu seperti Aspinall (2021), Muhtadi (2019). Praktik politik patron-client tetap menjadi momok dalam demokrasi elektoral pada masa Reformasi. Bahkan ada kecenderungan untuk melegalisasi atas praktik money politic atau dengan sengaja dibiarkan tanpa adanya penindakan (Mietzner, 2013).
Serangan fajar bagaikan hantu. Praktiknya begitu soft dan sulit dideteksi. Badan pengawas seperti Bawaslu dan pengawas independen tidak sepenuhnya mampu menjangkau apalagi di pedesaan yang cukup luas dimana jarak antar rumah berjauhan. Pola operasinya begitu senyap, apalagi melibatkan orang-orang berpengaruh di perkampungan. Pergerakan meraka sulit dideteksi oleh radar pangawas yang jumlahnya sangat terbatas.
Bagi kontestan yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan atau membendung, serangan fajar adalah momok yang menyakitkan. Bahkan kemungkinan mengalami frustasi sebagaimana cerita kawan di Surabaya itu. Mereka membantah dan menolak semua argumentasi akademis tentang marketing politik karena dianggapnya tidak memiliki makna apa-apa saat serangan fajar tiba. Argumentasi ilmiah tentang politik elektoral tidak menyisakan bekas karena dilibas kontestan yang memiliki kantong tebal apalagi didukung oleh jaringan hingga tingkat bawah.
Serangan fajar atau apapun bentuknya yang dapat mengarah praktik mendegradasi demokrasi harus diimbangi dengan sikap masyarakat yang tidak permisif. Masyarakat harus menjadi benteng melalui cara-cara yang lebih humanis yakni menolak segala bentuk pemberian atau melawan agitasi politik untuk kepentingan sesaat.
Profil :
Prof. Abdul Chalik
Guru Besar Ilmu Politik dan Dekan FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya
Email :achalik_el@yahoo.co.id atau a.chalik@uinsby.ac.id
Telp : +6285331721463