Column UINSA

FASILITASI RAMAH PEMBELAJAR

(Kampus Sebagai Rumah Kedua – Seri 7)

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D

Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Pernahkah menyadari bedanya hotel lama dan hotel baru? Lebih spesifik lagi, pernahkan merasakan fasilitas yang beda antara kamar hotel lama dan baru? Jika iya, colokan listrik pemantiknya. Colokan listrik jawabannya. Fasilitas itu yang dengan cepat bisa dijumpai sebagai titik pembeda. Hotel lama tak memfasilitasi kamar dengan banyak colokan listrik. Itu pun, yang ada biasanya di titik-titik yang berimpitan dengan lampu tidur. Tidak seperti hotel-hotel baru. Banyak colokan. Ditempatkan di sejumlah titik dalam kamar. Tidak hanya di dekat lampu tidur. Bahkan juga di dinding pada sejumlah titik di kamar sekalipun. Tentu pemandangan itu bisa berlaku berbeda di sejumlah hotel. Tapi kecenderungan pada dua jenis hotel seperti itu mudah ditemukan.

Sama dengan hotel, pelaku bisnis kuliner pun juga mengikuti dan memberlakukan kecenderungan serupa. Colokan listrik seakan sudah menjadi kebutuhan layanan yang harus disediakan. Untuk kebutuhan konsumen yang datang untuk menikmati makanan dan minuman. Sambil menghabiskan waktu untuk bersantai seperti yang diinginkan. Seperti siang itu, Hari Minggu (24/12/2003). Kudatang bersama keluarga intiku ke sebuah kedai penjual soto kudus. Di Gayungan Surabaya. Kala itu kami sedang mengajak tiga ponakan yang sedang berlibur ke Surabaya. Menikmati indahnya Surabaya. Plus kulinernya.

Persis di belakang lokasi meja makanku, kulihat seorang perempuan muda. Sedang sendiri di hadapan perangkat tablet yang sedang dimainkan. Dia cukup serius menatap layar tabletnya. Sesekali diseruput minuman yang ada di depannya. Tampak dia baru saja menyelesaikan konsumsi makanan yang dipesannya. Dia sambungkan perangkat tabletnya ke colokan listrik yang menempel di tiang sebelah kanannya. Makin lama, makin tampak dia melakukan praktik yang konstan dan tak berubah. Matanya menatap ke layar tabletnya. Tangan kanannya memencet keypad pada perangkat tabletnya. Tangan kirinya bersiap-siap digeserkan ke arah gelas minuman. Untuk segera menyantap minuman yang ada di hadapannya.

Foto Pelanggan Soto Kudus Sedang Memainkan Perangkat Tablet

Tak hanya fasilitasi colokan listrik. Kedai itu juga semakin maju saja. Memfasilitasi pelayannya dengan perangkat tablet. Order makanan dan minuman tak perlu lagi manual. Pelayan tinggal memencet aplikasi menu yang ada di perangkat tablet yang dibawanya. Konsumen pesan apa, pelayan mencatatnya. Di perangkat tablet yang di bawanya. “Mbak, saya pesan soto kudus ayam dua porsi. Yang daging kebo juga dua.” Begitu kalimat yang kusampaikan saat memesan makanan ke pelayan yang berdiri di sebelahku. Dan pelayan itu lalu memencet bagian dari layar pada tablet yang dia pegang. Satu-persatu pesanan dimasukkan. Tak perlu lagi ada catatan pada kertas manual. Semua dilakukan sebagai respon terhadap perkembangan dan kemajuan IT.

Di awal perubahan layanan beberapa tahun sebelumnya, masih dibutuhkan waktu agak lama untuk kepentingan processing pesanan. Apalagi, saat konsumen bayar di kasir. Masih butuh adaptasi dan penyesuaian sana-sini. Butuh waktu cukup lama. Kala itu. Tidak seperti lazimnya. Bahkan, semua pengunjung saat itu pasti dibuat kesal. Oleh layanan kasir yang lambat. Akibat perangkat komputer kasir yang tampak kurang support. Sehingga prosesnya lemot. Tapi kini, tampak semuanya cepat dan akurat. Pelanggan pun semakin dimuliakan. Dengan layanan yang tangkas dan memuaskan. Memesannya cepat. Datangnya makanan dan minuman yang dipesan juga dalam waktu yang singkat. Pokoknya, nggak pakai lama! Nyenengin!

Foto Pelayan Soto Kudus Malayani Pelanggan Dengan Perangkat Tablet

Jika layanan umum saja sudah berubah, pendidikan pun harus serupa. Nilai memang tidak berubah. Tapi bagaimana menerjemahkan nilai, itu yang harus berbenah. Moral memang tidak berubah. Tapi bagaimana melabuhkan moral dalam proses pendidikan, itu yang harus bergerak efektif. Apalagi, pendidikan pasti butuh kenyamanan. Saat kenyamanan ada, pendidikan ada di sana. Saat kenyamanan hadir, pembelajaran terukir. Apalagi, untuk konteks perguruan tinggi, Kampus Sebagai Rumah Kedua (baca tulisan sebelumnya “Kampus Sebagai Rumah Kedua (Seri 1)” pada https://uinsa.ac.id/id/blog/kampus-sebagai-rumah-kedua-seri-1) mempersyaratkan adanya kenyamanan bersama dengan keamanan itu di dalamnya.

Maka, untuk menyempurnakan pewujudan Kampus Sebagai Rumah Kedua, penyelenggara layanan pendidikan tinggi tak ayal harus mengikuti perubahan zaman. Gerak preferensi mahasiswa penting untuk diikuti. Kebutuhan mereka terkini salah satunya. Hidup mereka yang tak pernah bisa lepas dari gadget penting menjadi pertimbangan. Tentu hidup tak bisa main sulap. Tapi perubahan dan penyesuaian yang tanggap adalah yang utama. Kampus patut menjadikan prinsip ini sebagai bagian dari ruh layanan untuk mahasiswa yang ada di dalamnya.

Kita semua diingatkan oleh berbagai teori belajar. Terlepas apapun basis asumtifnya, semua teori belajar pasti berujung pada satu komponen penting berikut ini: menjelaskan bagaimana pembelajar mencari, mengolah dan mempertahankan pengetahuan selama belajar. Ada tiga kata kunci penting dalam pembelajaran di sini: mencari, mengolah, dan mempertahankan. Lalu, apa target aktivitasnya? Pengetahuan. Orang Barat menyebutnya knowledge. Maka, pengetahuan itu harus dicari. Ini penting untuk pembekalan diri. Kemudian, pengetahuan itu harus diolah. Ini penting untuk pendadaran diri. Setelah diri dibekali dan didadar melalui proses pencarian dan pengolahan atas seluruh informasi sistematis yang ada, maka selanjutnya pengetahuan itu harus dipertahankan. Agar bisa lama bersemayam dalam diri. Untuk menyambut hari ini. Juga, masa depan nanti.

Penting dipahami, hasil belajar bergantung di antaranya pada bagaimana prosesnya dijalani. Saat semua termudahkan, semakin cepat pula proses itu bisa dikuti. Makin lama makin bisa dimengerti jika semua pembelajar butuh fasilitasi. Atas proses untuk mencari, mengolah dan mempertahankan informasi yang diingini. Termasuk pengetahuan sebagai bagian dari informasi yang sudah tersistematisasi dengan rapi. Mencari, mengolah, dan mempertahankan sebagai tiga kata kunci penting bagi pemerolehan pengetahuan (knowledge acquisition), seperti dijelaskan di atas, tidak akan begitu saja mencapai titik hasil yang diingini. Butuh fasilitasi. Semua itu dibutuhkan untuk mengantarkan pembelajar kelak menjadi ahli (expert) di bidangnya. Tentu yang diikuti dan dikuasainya.

Prinsip fasilitasi di atas tak perlu diperhadapkan dengan nilai asumtif lain. Al-ajr ‘ala qadr al-masyaqqah sebagai salah satu misalnya. Bahwa reward itu bergantung level of destruction. Bahwa hasil bergantung tingkat kesulitan. Atau tingkat tantangannya. Atau tingkat kepayahannya. Penting sepakat atas nilai ini: semakin tinggi tingkat kesulitan, tantangan, dan kepayahan yang dicurahkan dalam proses mencari, mengolah, dan mempertahankan pengetahuan, akan semakin tinggi tingkat penghormatan pada hasil. Pembelajar akan semakin berhati-hati dalam mengisi dan memanfaatkan hasil yang didapat. Semakin rendah tingkat kesulitan, tantangan, dna kepayahan yang dihadapi pembelajar dalam proses mencari, mengolah, dan mempertahankan pengetahuan, akan semakin rendah pula tingkat apresiasinya pada sukses yang dihasilkan.

Al-ajr ‘ala qadr al-masyaqqah di atas memang penting diperkuat ke kalangan pembelajar. Agar mental siapapun mereka tidak jatuh. Hanya karena beda tingkat kesulitan, tantangan dan kepayahan. Kalau mental pembelajar sudah runtuh di awal, mereka tidak akan bisa memiliki the need for achievement. Kebutuhan untuk berprestasi. Saat the need for achievement ini tidak hadir pada, apalagi enyah dari, diri pembelajar, sukses belajar hanya menjadi cerita langka. Rumit diurai. Dan sulit diraih. Persis ibarat mencabut bambu dari ujung. Hampir tidak mungkin dilakukan. Apalagi dengan cara manual-konvensional. Kita butuh mental petarung pembelajar. Sebagai modal untuk menjemput masa depan yang cetar.

Tapi, karakter informasi dan pengetahuan hari ini selalu cepat dan berlimpah. Apalagi, kerap tidak dicari. Malah datang sendiri. Melalui perangkat teknologi. Yang makin lama makin mengalami privatisasi. Pembelajar bisa melakukan kustomisasi atas yang diingini. Bisa beda antara satu pembelajar dengan lainnya. Sesuai selera dan gaya kognitif masing-masingnya. Orang bisa mencari sendiri. Sesuai mood yang sedang mengitari. Bahkan mengolah dan mempertahankannya pun pasti mengikuti selera diri. Yang tak sama antara satu dengan lainnya. Karena itu, tetap saja, fasilitasi penting dilakukan. Oleh penyelenggara semua jenis dan jenjang pendidikan. Untuk mengantarkan semua pembelajar bisa mengisi hari ini dan sekaligus menjemput masa depan.

Maka, fasilitasi adalah kebutuhan. Bukan pilihan. Apalagi kemajuan digital telah menjadi temuan. Yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Hidup sudah mengalami kemajuan. Oleh inovasi pemikiran dan tindakan. Sebagai bagian dari tanda kemajuan peradaban. Minimal peradaban material yang tak bisa pula diabaikan. Oleh semua jenis dan jenjang pendidikan. Karena fasilitasi sudah menjadi kebutuhan, tak ada cara lain yang dapat dilakukan kecuali ambil dan tunaikan. Ambillah kebijakan fasilitasi ini untuk kebutuhan yang sudah mendesak bagi efektivitas pembelajaran. Menawar hanya menunda penunaian. Mengesampingkan justeru membuat pembelajaran tertawan.

Hilirisasi digital, karena itu, merupakan konsep penting yang telah menjadi kebutuhan seluruh institusi. Tak mengenal kata kecuali. Karena hilirisasi digital itu tidak saja mewujud pada proses operasional saja. Tapi juga termasuk pada mekanisme layanan. Untuk lahirnya sebuah pemenuhan beragam kebutuhan. Tak ada langkah lain kecuali mengikuti. Sambil mengukur kekuatan diri untuk memenuhi. Agar semua layanan yang diproduksi bisa dikonsumsi oleh siapa saja yang sedang mengingini. Untuk kebutuhan yang berlainan sana-sini. Dan konsep hilirisasi digital ini tak perlu dikaitkan-kaitkan dengan urusan politik saat dulu atau saat ini. Juga konsep itu bukanlah dominasi tersendiri. Oleh satu pihak atas pihak lainnya yang sedang berinteraksi. Untuk tidak mengatakan berkontestasi.

Atas kebutuhan hilirisasi digital itu, beda generasi beda pula preferensi. Bahkan beda keterampilan teknis pun hanya menjadi konsekuensi. Pendidiknya tumbuh sebelumnya dalam kecenderungan dan fasilitasi manual. Pembelajarnya tumbuh dan berkembang dalam kecenderungan digital. Akhirnya kecakapan teknis pun bisa dipastikan berbeda antara keduanya. Hanya, para pendidik tak perlu gelisah. Atas perkembangan yang ada. Apalagi harus membuat diri merasa seakan tak kuasa lagi menyelengarakan pembelajaran efektif saat tak terfasilitasi. Khususnya dalam mengasup kecakapan digital yang semakin lama semakin menjadi tuntutan yang tinggi.

Beda kecakapan teknis tak harus membuat gagap dan gugup pendidikan. Yang ditandai oleh tercerabutnya diri dari prinsip dan nilai pembelajaran yang diidamkan. Oleh pendidikan yang mencerahkan. Bagi semua pembelajar tanpa terkecualikan. Akibat pendidik yang kehilangan jati diri dan fungsi teladan. Karena dirinya tertawan oleh inovasi dan teknologi yang selalu berkelindan. Apalagi, zaman selalu dan terus berjalan. Membuat jarak dirinya dan produk kemajuan teknologi informasi dan komunikasi tak bisa dipisahkan. Hingga lalu ada praktik gelisah diri saat piranti teknologi tak dapat difungsikan. Seakan pembelajaran pun tak bisa diselenggarakan. Akibat silau oleh kemajuan teknologi dan peradaban.

Lalu muncullah satire seperti berikut ini: al-`ilmu la fi al-shudur, wa la fi al-suthur, bal fi PPT. Ilmu kini bukan lagi yang bersemayam dalam dada, juga bukan dalam kertas, melainkan dalam slide PPT. Ilmu kini tak lagi dalam hafalan pemahaman, juga bukan dalam catatan tulisan, melainkan yang ada pada slide presentasi PPT. Satire ini muncul karena orang sekarang lebih mengandalkan pesan yang tercantum pada slide presentasi yang telah disiapkan. Maka, jika tak ada LCD untuk penayangan slide presentasi PPT, serasa tiadalah ilmu bisa disampaikan. Seakan ilmu bergantung pada slide PPT. Saat PPT tak bisa ditampilkan, seakan tak ada ilmu yang bisa dibagikan.

Pendidikan, akhirnya, harus ramah pembelajar. Bukan saja dari sisi cara bagaimana pendidik berinteraksi dengan pembelajar. Melainkan juga termasuk dari sisi sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk jalannya pembelajaran. Colokan listrik dan perangkat tablet dalam kisah di awal tulisan ini hanyalah contoh kecil saja. Betapa anggitan “ramah pembelajar” menjadi kebutuhan hari ini. Tentu, “ramah” di sini mengandung arti bahwa fasilitasi harus mengikuti kecenderungan terkini. Agar pembelajaran bisa efektif penuh arti. Berbasis pada kebutuhan yang disukai. Oleh pembelajar masa kini. Sebagai modal untuk menjemput masa nanti. Dengan penuh optimis dan ketetapan hati. Dan, seluruh penyelenggara pendidikan pun sepatutnya memprioritaskan prinsip pembelajaran ini.