Perkembangan teknologi informasi yang pesat telah memberikan pengaruh signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam bidang keislaman. Kajian keislaman yang sebelumnya dilakukan secara konvensional di ruang kampus, perpustakaan, masjid, majelis, dan tempat-tempat atau forum-forum konvensional lainnya, kini beralih ke platform virtual, seperti Zoom, YouTube, dan media sosial. Transformasi ini membawa kemudahan dan aksesibilitas yang lebih luas dan memungkinkan umat Islam dari berbagai belahan dunia untuk mengikuti kajian tanpa batasan geografis. Namun, perubahan ini juga menimbulkan sejumlah dilema moral terkait otentisitas, validitas, dan kualitas kajian keislaman yang disampaikan.
Salah satu dilema utama yang muncul adalah mengenai otoritas keilmuan dalam kajian virtual. Dalam kajian keislaman tradisional, ulama dan tokoh agama yang menjadi pembicara memiliki hubungan langsung dengan audien (jamaah), sehingga verifikasi otoritas mereka lebih mudah dilakukan. Dalam konteks kajian virtual, keterbukaan akses bagi siapapun untuk menjadi pemateri atau narasumber dapat menimbulkan kebingungan di kalangan audien terkait kualifikasi dan kompetensi pemateri. Hal ini dapat mempengaruhi pemahaman umat terhadap ajaran Islam, yang berpotensi menciptakan penyebaran informasi yang tidak akurat atau menyimpang. Beberapa penelitian yang hasilnya sudah dipublikasikan menunjukkan bahwa peran otoritas keilmuan sangat penting dalam menjaga integritas pengajaran keagamaan, terlebih di era digital dimana batas otoritas menjadi semakin kabur.
Selain itu, implementasi kajian berbasis virtual juga memunculkan dilema terkait interaksi antara peserta dan pemateri. Dalam pengajian tradisional, interaksi langsung memungkinkan dialog dua arah yang intensif dan mendalam, sementara dalam kajian virtual, keterbatasan teknologi seringkali membatasi kualitas interaksi tersebut. Hal ini dapat berimbas pada kualitas pemahaman peserta, dimana penjelasan yang disampaikan secara virtual mungkin tidak dapat diserap dengan baik atau diklarifikasi secara memadai. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran tentang kemampuan kajian virtual dalam mempertahankan kedalaman pemahaman keagamaan yang biasa dicapai dalam forum tatap muka.
Di sisi lain, kemudahan akses kajian keislaman secara virtual juga menimbulkan tantangan dalam menjaga adab dan etika bermajelis. Peserta kajian yang mengikuti secara virtual tidak selalu terikat oleh norma-norma yang berlaku dalam majelis fisik, seperti menjaga sikap hormat terhadap pemateri dan sesama jamaah. Kebebasan ini berpotensi mengurangi kesakralan kajian, yang merupakan aspek penting dalam tradisi keislaman. Meskipun kajian keislaman virtual menawarkan fleksibilitas, hal ini menimbulkan pertanyaan apakah nilai-nilai sakralitas dapat tetap dipertahankan dalam lingkungan digital yang lebih santai dan seringkali informal?
Uraian di atas sudah cukup bagi kita untuk menyadari sekaligus berupaya secara signifikan untuk mengkaji berbagai dilema moral yang muncul dalam implementasi kajian keislaman berbasis virtual, serta menawarkan solusi yang dapat diadopsi untuk menjaga kualitas dan integritas kajian keislaman di era digital. Kajian-kajian seputar dilema moral ini dan pencarian solusinya diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan kajian keislaman yang adaptif terhadap teknologi, namun tetap berpegang pada prinsip-prinsip moral dan etika Islam. Dalam kerangka ini, penting bagi kita untuk melihat dan memahami secara sekilas beberapa realita aktual (yang akan dijelaskan selanjutnya) terkait dengan fenomena kajian keislaman bermodel virtual serta mengupayakan pemikiran-pemikiran yang dapat menjembatani kontruksi solusi dan implikasinya dalam menyikapi dan menyelesaikan persoalan moralitas dalam kajian-kajian keislaman berbasis digital.
Otoritas Keilmuan dalam Kajian Virtual
Salah satu persoalan utama dalam kajian keislaman berbasis virtual adalah otoritas keilmuan dari para pengajar atau penceramah. Pada kajian tradisional, proses pemilihan ulama atau penceramah dilakukan melalui verifikasi yang ketat, memastikan bahwa mereka memiliki otoritas akademis dan moral yang kuat dalam menyampaikan materi keislaman. Namun, dalam dunia virtual, siapapun bisa mengklaim sebagai pemateri keislaman tanpa adanya kontrol yang ketat. Hal ini menciptakan kekhawatiran akan munculnya penyebaran informasi yang tidak akurat dan penafsiran yang menyimpang dari ajaran Islam. Sebagaimana diungkapkan oleh Ahmad Ali (Ali, 2021: 49), platform virtual sering kali sulit membedakan antara penceramah yang memiliki otoritas keilmuan dengan mereka yang hanya memiliki popularitas tetapi tidak mendalam dalam ilmunya.
Lebih dari itu, munculnya platform media sosial sebagai medium kajian keislaman menciptakan fenomena yang disebut “pendakwah selebriti”, yakni individu yang lebih banyak menarik perhatian karena popularitasnya di media sosial daripada kedalaman ilmunya. Hal ini membawa potensi komodifikasi ajaran Islam, dimana agama dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan popularitas atau keuntungan finansial. Dalam jangka panjang, ini dapat merusak otoritas moral dan intelektual dari kajian keislaman. Dengan berkurangnya verifikasi terhadap otoritas ulama, kajian keislaman yang seharusnya memperkuat pemahaman umat malah bisa menjadi sumber kekacauan dan kebingungan dalam beragama.
Adab dan Etika dalam Majelis Virtual
Selain tantangan otoritas, masalah lain yang muncul adalah penurunan standar adab dan etika dalam kajian virtual. Tradisi keislaman menempatkan adab sebagai elemen fundamental dalam proses pembelajaran, termasuk sikap hormat terhadap guru, suasana majelis yang sakral, serta tata cara berinteraksi di dalamnya. Pada majelis fisik, para audien biasanya terikat oleh norma-norma tradisional yang jelas. Namun, kajian virtual membuka kemungkinan bagi audien untuk bertindak lebih bebas, tanpa terikat oleh adab-adab tradisional tersebut. Misalnya, audien dapat dengan mudah mengabaikan tata krama berpakaian atau menunjukkan sikap tidak hormat, baik melalui komentar ataupun cara mereka mengikuti kajian dari lingkungan yang tidak mendukung (Yusuf, 2021, 28).
Lebih lanjut, minimnya interaksi dua arah antara pengajar dan audien juga mengurangi nilai sakralitas dan intensitas majelis ilmu. Majelis tradisional memungkinkan audien bertanya langsung dan memperoleh jawaban yang lebih kontekstual, sementara dalam kajian virtual, komunikasi lebih sering terjadi satu arah, terbatas pada komentar yang seringkali tidak bisa ditanggapi secara langsung oleh pengajar. Fenomena ini menurunkan kualitas dialog yang seharusnya menjadi esensi dalam proses belajar Islam, dimana pemahaman yang benar muncul melalui diskusi yang mendalam. Tantangan ini semakin diperparah dengan sikap santai audien yang sering kali mengikuti kajian dari tempat-tempat yang tidak layak, seperti sambil bersantai di rumah atau bahkan melakukan aktivitas lain.
Keterbatasan Teknologi dan Dampaknya terhadap Kualitas Kajian
Keterbatasan teknologi juga menjadi salah satu penghambat dalam implementasi kajian keislaman berbasis virtual. Meskipun teknologi telah membuka akses yang lebih luas untuk kajian, masalah teknis seperti koneksi internet yang tidak stabil, gangguan audio-visual, serta keterbatasan platform dalam memfasilitasi diskusi mendalam sering kali mengurangi efektivitas pengajaran. Kajian keislaman yang idealnya disampaikan dengan penuh keseriusan dan perhatian terhadap detail kajian, menjadi terputus-putus dan kehilangan substansi ketika faktor teknis tersebut tidak diantisipasi dengan baik.
Selain itu, keterbatasan teknologi juga berdampak pada kemampuan audien untuk sepenuhnya memahami materi yang disampaikan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryani (Suryani, 2022: 22), menunjukkan bahwa tingkat pemahaman dalam kelas online seringkali lebih rendah dibandingkan dengan kelas tatap muka, terutama dalam konteks pengajaran keagamaan yang memerlukan penjelasan yang lebih mendalam dan penuh nuansa. Dalam situasi ini, kajian keislaman virtual menghadapi tantangan serius untuk menjaga kualitas pengajaran, dimana kehadiran fisik dan kedekatan personal antara guru dan murid sangat penting dalam memastikan pemahaman yang mendalam.
Dilema Moral dalam Fleksibilitas Akses
Kajian keislaman berbasis virtual menawarkan fleksibilitas yang belum pernah ada sebelumnya, baik dari segi waktu maupun lokasi. Audien kajian keislaman dapat mengikuti pengajian dari mana saja dan kapan saja, selama mereka memiliki akses internet. Namun, fleksibilitas ini juga menimbulkan dilema moral terkait dengan niat dan komitmen audien dalam mengikuti kajian. Dengan semakin mudahnya akses, ada kecenderungan bahwa audien mengikuti kajian hanya sebagai bentuk pemenuhan kewajiban formal atau bahkan sebagai hiburan, tanpa ada kesungguhan dalam memahami materi yang. Hal ini berpotensi menurunkan kualitas keterlibatan spiritual audien, dimana kajian keislaman seharusnya menjadi sarana untuk memperdalam iman dan meningkatkan pemahaman agama secara serius.
Dalam perspektif etika Islam, pentingnya niat yang ikhlas dan komitmen penuh dalam menuntut ilmu selalu ditekankan dalam berbagai ajaran. Namun, ketika kajian dilakukan secara virtual, kecenderungan untuk multitasking atau mengikuti kajian secara pasif menjadi lebih tinggi. Tanpa kontrol dan disiplin diri yang kuat, fleksibilitas ini bisa berakibat pada lemahnya keterlibatan audien, sehingga mengurangi nilai-nilai keilmuan yang seharusnya diperoleh dari kajian tersebut.
Solusi untuk Kajian Keislaman yang Beretika Islami
Salah satu langkah penting yang dapat diambil untuk mengatasi dilema otoritas keilmuan dalam kajian keislaman berbasis virtual adalah dengan memperkuat sistem verifikasi bagi para pemateri (pengajar atau penceramah). Platform yang digunakan untuk menyelenggarakan kajian keislaman sebaiknya memiliki mekanisme untuk memverifikasi latar belakang akademik dan keagamaan dari pemateri. Organisasi keagamaan terkemuka bisa berperan aktif dalam memberikan akreditasi kepada para ulama yang berkualitas dan kompeten dalam menyampaikan kajian. Sistem ini bisa mencakup sertifikasi digital yang dapat diverifikasi oleh audien kajian, dan memastikan bahwa pemateri memiliki otoritas keilmuan yang sah dan diakui.
Platform kajian virtual juga perlu bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam, seperti universitas Islam atau pesantren, untuk memastikan bahwa materi yang disampaikan sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang benar. Dengan cara ini, potensi penyebaran informasi yang tidak akurat atau menyimpang dapat diminimalisasi. Pengawasan ini juga penting untuk menjaga kualitas diskursus keislaman di ruang digital dan memastikan bahwa teknologi digunakan untuk memperkaya pemahaman umat, bukan untuk menyesatkan mereka.
Untuk mengatasi tantangan terkait etika dan adab dalam majelis ilmu virtual, perlu ada upaya pendidikan yang terstruktur tentang pentingnya menjaga adab, bahkan ketika kajian dilakukan di ruang digital. Sebagai bagian dari solusi, setiap platform atau penyelenggara kajian dapat memberikan panduan etika partisipasi di awal sesi, misalnya melalui video pengantar atau petunjuk tertulis. Panduan ini bisa mencakup hal-hal seperti pentingnya menjaga sikap hormat terhadap pemateri, mengikuti kajian dalam suasana yang kondusif, serta menghindari multitasking selama sesi berlangsung.
Selain itu, audien juga perlu diajak untuk memahami bahwa meskipun secara fisik mereka tidak berada dalam satu ruang dengan pemateri, esensi dari forum ilmu tetap harus dihormati. Nilai-nilai sakralitas forum, seperti niat yang lurus dan fokus dalam mengikuti kajian keislaman, tetap relevan dalam konteks virtual. Dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga adab, kajian keislaman virtual dapat menjadi wadah yang lebih produktif dan berkualitas.
Solusi lain yang dapat diterapkan untuk mengatasi kendala teknologi adalah dengan meningkatkan kualitas platform kajian keislaman. Platform yang digunakan harus memiliki fitur interaktif yang memadai, seperti ruang untuk tanya jawab secara langsung atau forum diskusi yang memungkinkan audien berinteraksi dengan pemateri secara lebih mendalam. Fitur seperti ini akan memungkinkan kajian virtual lebih menyerupai forum fisik, dimana diskusi dapat berlangsung dua arah dan dialog yang intensif dapat terjadi.
Selain itu, pemateri juga perlu dilatih untuk menggunakan teknologi secara lebih efektif. Pelatihan ini bisa mencakup penggunaan alat bantu visual, seperti presentasi atau grafik, untuk memperjelas materi yang disampaikan, serta cara mengelola diskusi dalam kelompok besar secara virtual. Dengan memanfaatkan teknologi secara optimal, kualitas kajian keislaman virtual dapat ditingkatkan sehingga tetap memberikan pemahaman yang mendalam kepada audien, meskipun dilakukan secara virtual.
Salah satu solusi untuk mengatasi masalah fleksibilitas akses yang dapat menurunkan komitmen audien adalah dengan memperkuat kembali pemahaman tentang pentingnya niat dalam menuntut ilmu. Audien kajian keislaman virtual harus diingatkan bahwa niat yang ikhlas dan fokus adalah kunci utama dalam meraih manfaat dari kajian. Untuk itu, platform kajian bisa memperkenalkan pengingat atau mekanisme yang mendorong audien untuk memulai sesi dengan niat yang benar, seperti doa sebelum memulai kajian atau pengingat tentang pentingnya adab.
Selain itu, pemateri juga dapat berperan aktif dalam memotivasi audien untuk lebih serius dalam mengikuti kajian, seperti dengan memberikan tugas atau pertanyaan yang memerlukan partisipasi aktif dari audien. Dengan demikian, meskipun kajian dilakukan secara virtual, interaksi yang lebih terlibat dan intensif dapat menjaga kualitas pembelajaran, serta memastikan pembelajar benar-benar mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan terarah.
Implikasi dalam Menghadapi Tantangan Moral
Penerapan solusi-solusi di atas akan membawa beberapa implikasi penting bagi perkembangan kajian keislaman berbasis virtual. Pertama, verifikasi otoritas ulama akan memperkuat kredibilitas kajian keislaman virtual dan meningkatkan kepercayaan audien terhadap materi yang disampaikan. Kedua, penegakan adab dalam kajian virtual akan menjaga sakralitas dan martabat forum ilmu, meskipun dilakukan di ruang digital. Ketiga, optimalisasi teknologi akan memungkinkan pengajaran yang lebih interaktif dan efektif, sehingga kajian keislaman virtual dapat menyaingi kualitas kajian tatap muka. Terakhir, memperkuat niat dan komitmen audien akan memastikan bahwa kajian keislaman tetap menjadi sarana pembelajaran yang bermakna, bukan sekadar rutinitas atau hiburan semata.
Solusi-solusi (sebagaimana dijelaskan sebelumnya), jika diterapkan dengan baik, akan menjadikan kajian keislaman berbasis virtual sebagai alat yang efektif dalam penyebaran ilmu agama, sekaligus menjawab berbagai tantangan moral dan etika yang dihadapi di era digital. Teknologi, jika digunakan secara bijak, dapat menjadi sarana untuk memperkuat pemahaman keislaman umat Islam di seluruh dunia, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai fundamental yang selama ini menjadi bagian dari tradisi Islam.
Referensi
Ali, Ahmad. Kajian Keislaman di Era Digital. Jakarta: Pustaka Al-Hikmah, 2021.
Nasarudin, A. “Dampak Teknologi Terhadap Kajian Keislaman: Sebuah Analisis Kritis.” Jurnal Islam dan Teknologi 5, no. 1 (2021): 10-20.
Rahman, Fadhil. “Pengajaran Islam Secara Virtual: Peluang dan Tantangan.” Jurnal Pendidikan Islam 8, no. 1 (2020): 30-42.
Suryani, E. “Perbandingan Pemahaman Peserta Dalam Pengajaran Keislaman Online dan Tatap Muka.” Jurnal Pendidikan Islam 12, no. 2 (2022): 21-29. Yusuf, M. “Etika dalam Majelis Ilmu: Perspektif Tradisional dan Virtual.” Al-Hidayah 9, no. 2 (2021): 25-30.
[Anas Amin Alamsyah; Dosen Fakultas Ushluddin dan Filsafat]