Oleh: Wasid Mansyur
(Sekretaris Pusat Ma’had al-Jami’ah dan Dosen FAHUM UINSA)
Dalam satu waktu, kira-kira 5 tahun sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, Makkah dan sekitarnya pernah mengalami banjir bandang yang mengenai wilayah Masjidil Haram. Akibat banjir ini, banyak kerusakan terjadi, termasuk Ka’bah mengalami kerusakan yang cukup besar padahal ia merupakan tempat yang sangat disakralkan dari generasi ke generasi para Nabi, bahkan kelak menjadi kiblat umat Islam dari seluruh dunia. Kerusakan Ka’bah menjadi sebab masyarakat Quraisy sepakat untuk memperbaikinya dan membangun Kembali. Pastinya, proses ini dilakukan dengan melibatkan para suku dan membagikan obyek yang dibangun sesuai dengan pembagiannya dengan dibantu oleh Baqum, arsitek dari Romawi.
Setiap klan suku sangat bangga dan membanggakan dirinya untuk ikut andil membangun Ka’bah dengan harapan ada keberkahannya yang mengalir bagi kehidupan mereka sebab tidak ada interaksi dengan sesuatu yang sakral (baca: Ka’bah) kecuali berharap kebaikan. Namun, ada kejadian yang tidak mengenakkan, bahkan memantik konflik berhari-hari antar suku kaitan siapakah yang berhak meletakkan hajar aswad diposisinya semula dengan pertimbangan bahwa ia merupakan batu yang disakralkan, apalagi sampai sekarang hajar aswad ini menjadi obyek dalam setiap pelaksanaan ibadah haji atau umroh untuk dicium atau dipegang sesuai dengan teladan Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Perdebatan antar pimpinan suku tidak bisa dihindarkan sebab antar mereka saling mengedepankan ego masing-masing sehingga berimplikasi pada kemungkinan perpecahan.
Singkat cerita, akhirnya mereka sepakat bahwa yang meletakkan hajar aswad adalah Nabi Muhammad dengan pertimbangan bahwa Ia adalah orang yang pertama masuk melalui pintu Bani Syaibah sehingga dikenal dengan sebutan al-Amin. Kepercayaan ini diterimanya dengan baik, tapi menariknya Nabi Muhammad tidak berbangga diri _apalagi sombong_ sehingga ia tidak langsung mengambil hajar aswad dan meletakkan pada posisinya semula, melainkan mengajak para pimpinan suku untuk memegang pojok kain yang telah disedikan sambil diangkat bersama-sama sementara hajar aswad diletakkan di tengah kain. Setelah mendekat, baru Nabi Muhammad mengambil hajar aswad dan meletakkannya pada tempat yang telah disediakan dan sudah direnovasi. Cara bijak ini menjadi sebab orang-orang Quraisy bahagia bersama sehingga antar mereka bisa bersatu kembali dalam harmoni.
Kisah ini cukup bermakna, sekaligus menunjukkan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia sejarah yang kehidupannya menyejarah bersama perkembangan sosio-kultural masyarakat Arab yang sangat kental fanatisme mereka pada kesukuan sebagai sarana membanggakan asal usul leluhurnya. Kebijaksanaan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad di tengah masyarakat Arab penting untuk direnungkan, sekaligus dipraktikkan dalam konteks kehidupan nyata sebab kebhinekaan sebagai identitas bangsa ini selama ini bukanlah “taken for granted” sehingga perlu diupayakan terus menerus agar tetap Bersatu harmoni dalam keragaman.
Kebijaksanaan Nabi
Ada dua hal penting yang dapat diambil dari kisah di atas. Pertama, pentingnya membangun trust dalam kehidupan. Trust tidak datang begitu saja, melainkan melalui proses manusiawi yang berkelindan dalam ruang dan waktu sebagaimana diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW; sosok penuh hikmah dan teladan sepanjang masa bahkan akhlaknya adalah al-Quran itu sendiri sebagaimana riwayat Sayyidah ‘Aisyah. Walaupun ia sebagai Nabi, Muhammad tetap seperti kita semua yang berkelindan dalam ruang dan waktu kesejarahan hidup sebagai manusia, walau berbeda kualitasnya dengan manusia yang lain.
Secara nasab, keluarga Nabi Muhammad sudah dikenal terhormat dibandingkan klan suku yang lain, baik dari leluhur sang Ayah, Sayyid Abdullah maupun dari Sang Ibu, Sayyidah Siti Aminah. Namun, ia tidak memperdulikan nasabnya dari mana, apalagi sejak sebelum dan sesudah kelahirannya, kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Belajar dari Nabi Muhammad, menurut tafsiran penulis, nasab bukanlah segala-galanya, bukan untuk bangga-banggaan, apalagi sarana kapitalisasi untuk kepentingan pribadi yang bersifat duniawi. Kesungguhan menjaga integritas dan kemauan untuk berubah menjadi lebih baik setiap saat adalah kunci terbaik seseorang mencapai kesuksesan sebagaimana telah diteladankan Nabi Muhammad sepanjang hidupnya.
Oleh karenanya, penerimaan pembesar Quraisy kepada Nabi Muhammad sebagai sosok yang dipercaya mengangkat hajar aswad bukan semata-mata karena ia cucu Abdul Muthalib atau ponaan Abu Thalib, ayahanda Sayyidina Ali. Integritas dan moralitas luhur yang terpancar dalam kehidupannya sehari-hari bersama masyarakat Makkah itulah yang menjadi sebab keterpilihannya sebagai pembawa hajar aswad, padahal sebelumnya mereka larut dalam perdebatan sengit demi mempertahankan ego klan kesukuan, bahkan debat ini berpotensi pada terjadinya konflik fisik sebagaimana lazimnya pelaku fanatisme kesukuan sepanjang sejarah masyarakat Arab.
Kedua, kolaborasi dalam harmoni. Dengan terpilihnya Nabi Muhammad sebagai pembawa hajar aswad, ternyata menjadi momentum penting untuk menyatukan kembali mereka yang terlibat konflik. Jika mau mengedepankan ego, sebenarnya Nabi Muhammad sangat bisa melakukannya sendiri, tanpa melibatkan para pembesar Quraisy untuk mengangkatnya. Tapi karena sebelumnya memang terjadi debat sengit, maka Nabi Muhammad lebih memilih untuk melakukan pola kolaborasi bersama mereka dalam mengangkat hajar aswad sehingga dapat ditempatkan pada posisinya semula bersama-sama.
Kolaborasi ala Nabi Muhammad sangat penting untuk direnungkan dalam konteks kekinian. Apapun kemampuan yang kita miliki dalam ruang sosial dan dalam jabatan apapun, tanpa adanya kolaborasi dengan yang lain dapat dipastikan manfaatnya kurang besar, alih-alih cepat menyelesaikan masalah. Bukankah kolaborasi ala Nabi Muhammad, tidak saja menyelesaikan pokok persoalan kaitannya siapa yang berhak meletakkan hajar aswad, tapi juga menjadi sebab antar pembesar Quraisy akhirnya hidup kembali dalam harmoni. Intinya, manfaat kolaborasi adalah memudahkan yang sulit, sekaligus meringankan yang berat. Tidak ada yang sulit, bila dilakukan dengan bersama-sama dengan semangat persaudaraan sesama manusia.
Dari catatan ini, momentum Maulid Nabi Muhammad 1446 H layak kita jadikan sebagai refleksi kehidupan, setidaknya mempertanyakan kembali kualitas mahabbah kita kepada Nabi. Pasalnya, tidak cukup kualitas mahabbah itu hanya memperbanyak mengucapkannya dengan sholawat dan salam, harus ada pembuktian nyata dengan meneladani apa yang dicontohkannya dalam kehidupan, khusunya tentang pentingnya menjaga integritas dan nilai luhur di satu sisi dan meneguhkan kolaborasi kebaikan di sisi yang berbeda. Hal ini penting agar setiap peringatan Maulid Nabi selalu menjadi momentum peningkatan kualitas nilai diri dan kedirian kita di tengah masyarakat dalam konteks habl min Allah wa habl min al-Nas.
Akhirnya, Syekh Mutawalli al-Sya’rawi dalam bukunya min akhlak al-Qur’an al-al-Karim (hal, 332) pernah berkata yang artinya: “Mencintai Nabi tidak lain mengikuti jejaknya. Maka mereka yang mencintai Nabi tapi tidak mengikuti jejaknya, sama artinya Ia terperangkap dalam cinta palsu (‘adamu shiddin fi al-hub). Karenanya, pastikan kesuksesan kita tidak didasari pada semangat menghamba pada ego, tapi didasari pada semangat kolaborasi dengan yang lain agar eksistensi kehidupan yang kita jalani akan lebih bermakna secara luas. Semoga Kita Selalu Meneladani Sang Nabi.