Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Monday, 24 October 2022
“Diction motivates people to taking a stand because diction can create an inspirational atmosphere, which influences people to make a difference. Words are singularly the most powerful force available to humanity.”
Kutipan kalimat tersebut diambil dari artikel Mark Said (2021) tentang The Power of Diction, yang mengingatkan betapa pentingnya pemilihan kata karena ia mengembangkan kemampuan untuk mentransmisikan emosi dan pikiran ke tindakan. Selain pemilihan kata (diksi), dunia memiliki infografis, emotikon, gambar, dan bagan, tetapi tidak ada komunikasi sejelas dan seakurat kata-kata. Kata-kata memiliki energi dan kekuatan dengan kemampuan untuk membantu, menyembuhkan, menghalangi, menyakiti, mempermalukan, maupun merendahkan. Mengingat ‘kekuatan dahsyat’ dari kata-kata diucapkan, sangat penting untuk mendisiplinkan diri untuk berbicara dengan diksi yang baik
Tulisan saya tentang diksi ini terinspirasi ketika tanggal 18 – 19 Oktober lalu saya ditugaskan untuk hadir di The Uinsa Inclusive Leadership Camp, yang sebenarnya adalah forum Wakil Rektor 3, Wakil Dekan 3, bagian kemahasiswaan, dan tentu saja subjek dari acara ini sendiri, yaitu mahasiswa yang diwakili pelbagai unsur organisasi mahasiswa di Uinsa. Saya tidak hendak menceritakan tentang keseluruhan acara tersebut yang sungguh saya sepakat untuk menjadi annual program di Uinsa, namun sedikit – lebih tepatnya pengantar – dari materi narasumber pertama yaitu Hasanudin Ali, menarik bagi saya untuk lebih memahami dan mengeksplorasi tentang penggunaan diksi, terutama yang dekat dengan kehidupan kita.
Dalam pengantar materi yang bertema “Mengambil Kepemimpinan Anak Muda Melalui Media, founder Alvara Research Center tersebut mengemukakan pentingnya kita memahami karakteristik Gen Z, yang lahir 1997-2012, yang saat ini mayoritas (jika tidak seluruhnya) merupakan mahasiswa Strata 1 di Uinsa. Tipikal Gen Z yang disebut sebagai cheerfull generation, dibedakan dengan Gen Y (generasi milenial) yang lahir 1981-1996 dan saat ini menjadi generasi yang sedang berjuang untuk kehidupannya. Adapun Gen X, yang lahir 1965-1980 (termasuk saya di dalamnya), dikarakteristikkan sebagai established generation dan generasi analog karena mengalami era industri manual sampai digital.
Penyampaian tentang periodisasi dan karakteristik diksi Gen X, Y dan Z dengan contoh-contoh dan tantangan yang harus dilalui saat ini dan di masa mendatang bagi perguruan tinggi, membawa saya kemudian melihat pada diri sendiri. Betapa tidak, ternyata di keluarga kecil saya lengkap Gen X, Y, Z, karena dua anak saya terlahir dengan gen yang berbeda, gen Y dan Z. Tiba-tiba saya menyadari mengapa kadang “berseteru” dengan anak kedua, dan pada saat itu terjadi, anak pertama saya yang generasi Y sering menjadi penengah diantara kami.
Sayapun menjadi geli ketika narasumber mencontohkan para gen X dalam menikmati lagu, mereka menyukai lirik dengan diksi yang puitis, sementara para gen Z lebih menyukai lirik dengan diksi apa adanya. Saya jadi teringat anak bungsu saya, yang pernah “mengolok-olok” lagu yang didengar ibunya dengan diksi jadul, galau dan bucin. Sementara saya menuduh lagu-lagu yang disukainya dengan diksi asal bunyi dan tidak estetis.
Hari itu, mendengarkan beragam karakteristik dan contoh tentang gen Z dalam beragam aspek kehidupan anak muda termasuk mahasiswa yang saat ini duduk di bangku kuliah, memberikan pemahaman bagaimana kita bisa beradaptasi dengan dunia mereka. Menjadi akademisi dari gen X, yang memiliki interaksi dengan mahasiswa gen Z tentu saja lebih menantang karena lompatan generasi, daripada beberapa tahun lalu yang masih berinteraksin dengan mahasiswa milenial (gen Y)
Diksi dan Akademisi
Selain dituntut tepat dalam penggunaan diksi dalam berinteraksi dengan mahasiswa, akademisi juga disibukkan untuk mampu menggunakan diksi, yang ada dalam keilmuan dan riset yang digelutinya. Setidaknya saya merasa perlu menceritakan tentang pengalaman saya yang tahun ini mendapat hibah dari LP2M untuk penulisan buku berbasis riset dengan tema “Perempuan dan Radikalisme”. Riset tersebut membawa saya berkelana ke Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat dan Jakarta untuk bertemu dengan para perempuan eks napiter (narapidanan teroris), simpatisan ISIS, maupun istri napiter dari anggota Jamaah Islamiyah (JI).
Salah seorang kolega yang membaca sekilas draft buku yang saya tulis, menanyakan bahwa alih-alih menggunakan diksi terrorism, mengapa tidak menggunakan diksi violent extremism. Di draft yang saya tulis, diksi terorisme digunakan silih berganti dengan radikalisme. Dengan masukan tentang violent extremism, saya kemudian berkelana menyusuri bacaan, dalam konteks apa diksi tersebut digunakan. Dan alih-alih mengganti diksi terrorism, voiolent extremism kemudian menjadi diksi tambahan yang saya gunakan bergantian dengan terorisme dan radikalisme untuk menjelaskan beberapa bagian tindakan dari narasumber penelitian.
Ini tentang diksi dari sebuah tema saja, dan ternyata masih juga harus belajar banyak dan nyaris tertinggal menjadi bagian yang harus hadir dalam buku yang saya tulis. Pendalaman terhadap ilmu pengetahuan, selalu mengantarkan pada diksi baru. Teringat pada saat pertama kali saya bersentuhan dengan filsafat, kita dihadapkan pada diksi esensi dan substansi, yang selama ini terlihat anonim, ternyata memiliki perbedaan yang substansial (atau esensial?). Dalam banyak aspek, filsafat menyajikan rasa frustasi dan keasyikan di saat yang sama, karena sebuah diksi bisa dijelaskan dengan sangat beragam karena banyaknya aliran yang ada di dalamnya.
Beralih ke Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, perdebatan tentang diksi yang tepat juga tidak kalah seru, masing-masing paradigma memiliki theoretical framework dengan diksi yang mengikuti, yang kemudian berimplikasi secara metodologis. Tentu saja saya tidak bermaksud membahas bagian ini, karena perdebatan panjang yang ada di dalamnya, namun lebih pada memotivasi pembaca dan tentu saja termasuk diri saya, untuk terus memupuk rasa ingin tahu terhadap diksi pada keilmuan yang kita geluti, yang terus berseliweran tiada henti.