Column UINSA

Abdul Chalik

Guru Besar dan Dekan FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya

“Devide et impera is the law imperialism for thousands of years and we are are devided everyday”

Kalimat di atas merupakan kutipan pernyataan Presiden Prabowo saat pertemuan delapan negara berkembang di Cairo awal Desember 2024. Devide et impera merupakan hukum kolonial yang dipraktikkan oleh Barat di saat melakukan penjajahan ke Timur terutama  dunia Islam. Hingga saat ini hukum tersebut dalam realitasnya masih ada dan terus dikembangkan dengan mengadu satu bangsa dengan bangsa lain bahkan satu negara dengan negara lain sebagaimana yang terjadi di Timur Tengah, Asia Selatan dan sebagian Afrika. Tujuan devide et impera agar supaya masing-masing bangsa dan negara lemah dan tidak memiliki kemampuan bersatu menghadapi intervensi bangsa atau negara lain.

Istilah devide et impera berasal dari bahasa Latin yang berarti ‘pecah dan berkuasa’. Istilah tersebut lalu dipopulerkan oleh Julius Caesar dalam membangun imperium Romawi dengan memecah-belah wilayah sehingga mudah untuk dikuasai. Dalam konteks lain, devide et impera juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.

Pernyataan Presiden Prabowo mengingatkan pada pelajaran sejarah saat masih sekolah dasar yang diajarkan oleh guru tentang cara Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. Cara ini pernah dilakukan oleh perusahaan Belanda VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) untuk tujuan politik dan ekonomi sehingga muncul perang Mataram, perang Makasar dan perang Diponegoro.

Cara memecah belah untuk tujuan ekonomi dan politik itulah yang saat ini sedang terjadi di Timur Tengah. Antar negara saling menyerang dan terpecah karena perbedaan politik, bahkan di internal meraka saling menyerang dan membunuh. Beberapa negara lain juga ambil bagian dalam menciptakan kekacauan sehingga sulit untuk dipersatukan. Tanpa disadari atau sengaja tidak menyadarinya bahwa apa yang terjadi merupakan upaya asing untuk membuat kekuatan negara-negara kawasan menjadi lemah.

Pengalaman hukum hukum kolonialisme devide et impera masih cukup ampuh untuk membenturkan antar negara. Di saat upaya mengucilkan Israel dari panggung dunia, justru negara-negara Islam mengakui keberadaanya pada tahun 2020. Negera-negara tersebut adalah Uniet Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, Maroko. Panggung politik Timur Tengah sangat terguncang karena pada saat yang sama upaya dukungan kemerdekaan dan pembebasan Palestina terus digaungkan oleh dunia terlebih lagi Liga Arab dan Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Jauh sebelum kejadian tersebut, Suriah dan Yaman menjadi medan pertempuran antara negara-negara Islam. Turki dan Qatar berada di belakang oposisi untuk menggulingkan Presiden Assad berhadapan dengan Iran, Irak dan Hezbullah yang berusaha untuk mempertahankannya. Sementara di Yaman, Arab Saudi bersama UEA menjadi pendukung rezim Mansur Hadi berhadapan dengan Iran yang menjadi penyokong utama oposisi yang dipimpin Houti. Ratusan ribu nyawa muslim Suriah dan Yaman melayang dengan sia-sia akibat perebutan kekuasaan yang tidak berkesudahan.

Akibat dari dari perpecahan tersebut, kekuatan muslim yang besar menjadi lemah di mata asing. “…2 billion muslims or 25 % of the world population but we cannot unite.  We quarrel among ourselves. I’m sorry this is my opinion..”, jelas Prabowo.  Jumlah muslim mencapai 25 % dari jumlah penduduk dunia, namun hanya sibuk dengan pertengkaran antara mereka.  Beberapa resolusi PBB tidak berdampak apa-apa begitu pula upaya bantuan terhadap Palestina, Lebanon dan Suriah hanya di atas kertas karena di internal negara-negara Islam tidak bersatu.

Catatan Presiden Prabowo cukup mengejutkan beberapa pemimpin negara karena jarang terjadi pernyataan langsung disampaikan dalam acara resmi yang dihadiri oleh beberapa kepala negara. Pernyataan tersebut menjadi peringatan keras karena pemimpin negara seperti Iran, Turki dan Pakistan yang selama ini sering bertikai dengan negara tetangga hadir di acara tersebut. Bahkan Mahmud Abbas Presiden Palestina juga berada di tempat saat Prabowo berpidato.

Pernyataan tersebut disampaikan di saat negara-negara Islam menghadapi tantangan besar tentang genosida di Gaza. Begitu pula saat  rezim Assad tumbang dan dikalahkan oleh kelompok perlawanan HTS (Hayat al-Tahrir al-Syam). Demikian pula saat terjadi bentrok keras antar kelompok perlawanan yakni Fatah dengan Hamas di Tepi Barat yang keduanya seharusnya memikul tanggung jawab untuk melawan Israel, justru berperang dengan sesama. Tidak berselang lama setelah pertemuan itu, Pakistan membombardir Afghanistan karena dianggap mengganggu di area perbatasan dan dibalas dengan tindakan yang sama oleh Taliban untuk menyerang balik Pakistan.

Pesan tersebut ingin mengingatkan pada mereka  bahwa selesaikan urusan internal negara masing-masing baru memikirkan masalah di luar negaranya;jangan beretorika tentang perdamaian kawasan sementara di antara mereka tidak sedang baik-baik saja;kekalahan persaingan politik tidak harus dilawan dengan kekerasan senjata;perlu kebesaran hati menerima kekalahan dan menghormati kemenangan lawan. Sementara bagi yang sedang berkuasa ingin mengingatkan agar jangan memanfaatkan kekuasaan untuk menghegemoni kelompok lain yang berbeda;jangan merubah aturan yang sudah mapan untuk melanggengkan kekuasaan serta jangan coba-coba membangun monarki karena rakyat bisa saja mengadilinya.

Sangat masuk akal dan bisa diterima keberanian seorang Prabowo di hadapan para pemimpin D8 yang kebetulan negara dengan mayoritas Islam. Liga Arab dan OKI hanya sebatas seruan dan kecaman atas isu-isu kawasan terutama genosida di Gaza. Seruan dan kecaman tidak (pernah) didengar oleh negara lain karena ibarat dokter sakit mengobati orang sakit. Satu sisi sebagian anggota tidak mampu menyembuhkan penyakit kronisnya, di sisi lain berusaha untuk mengobati atas penderitaan orang lain. Tentu akal sehat sulit menerima.

Dunia sudah terlanjur melaju jauh namun hukum devide it impera tetap saja berlaku bagi siapa saja yang tidak menyadarinya. Hanya satu untuk mencapai tujuan mulia di Timur Tengah dan dibelahan dunia lain yakni lawan taktik adu domba dengan semangat persatuan dan persaudaraan sesama bangsa yang pernah ditindas.