Articles

Epistemologi merupakan cabang filsafat pengetahuan yang membicarakan tentang asal usul pengetahuan, limit pengetahuan, struktur pengetahuan dan validitas pengetahuan (teori kebenaran). Persoalan asal usul pengetahuan melahirkan aliran filsafat rasionalisme dan empirisisme. Rasionalisme menganggap bahwa pengetahuan itu berasal dari rasio. Rasiolah yang menentukan suatu kebenaran pengetahuan. Rasiolah yang mengkonstruksi kebenaran pengetahuan. Pengetahuan bersifat subyektif karena ditentukan oleh Rasio. Disinilah persoalan subjek mulai muncul dalam epistemology. Subjek dalam epistemology disini yang sering disebut sebagai AKU.

Sementara itu Empirisisme menganggap bahwa Pengalaman lah yang menjadi sumber dan asal pengetahuan. Pengalaman sajalah yang menentukan kebenaran pengetahuan. Pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman inilah yang disebut objektif. Pengetahuan itu didasarkan pada objek objek. Menurut Aliran ini, rasio manusia itu ibaratkan sebuah film yang kosong atau kertas yang putih sebaaimana ungkapan Locke. Pengalaman lah yang menjadikan rasio yang kosong itu berisi pengetahuan yang objektif karena adanya pengalaman.

Peradaban modern lahir semenjak Rene Descartes hadir dengan prinsip skeptisisme epistemologis yang terkenal dengan ucapan Cogito Ergosum, Aku berpikir maka aku Ada dan konsep clear and distinct. Dengan ucapan Descartes ini, maka perkembangan ilmu secara epistemologis berkembang pesat. Sejak itu, pemakaian konsep rasionalisme menjadi pioneer masa itu yang kemudian melahirkan peradaban modern. Descartes selanjutnya disebut sebagai Bapak Filsafat Modern.

Pemikiran Descartes ini membawa pengaruh pada perkembangan ilmu pengetahuan dengan melahirkan teknologi yang ditandai dengan munculnya revolusi ilmiah dan revolusi industri sebagai awal bangkitnya peradaban modern. Filsafat modern sebagai suatu gerakan baru filsafat muncul diawali dengan gerakan Renaissans yang mencoba memisahkan filsafat dari agama. Dengan filsafat modern yang dipelopori Rasionalisme dan Empirisisme ini, maka terjadilah revolusi ilmiah yang dampaknya antara lain terjadinya konflik antara hipotesa ilmiah dengan dogma agama.

Tulisan ini akan mengeksplorasi tentang dimensi ontologis dan epistemologis dari subjek yang menjadi  inti pembahasan rasionalisme Rene Descartes. Subjek disini yang sering dianggap sebagai AKU yang dipisahkan menjadi mind (mental) dan body (tubuh) atau res cogito dan res extensa. Res cogito dan res extensa merupakan wilayah kajian epistemologi.  Sedangkan relasi res cogito dan res extensa dalam keberadaannya menjadi wilayah kajian ontologis. Descartes menganggap bahwa tubuh merupakan extensa dari mind. Pandangan Descartes inilah yang mengilhami McLuhan dalam media sebagai extention of man dan mengilhami pemikiran tentang the Ghost in the machine, kesadaran AI atau Spiritualitas Mesin sebagaimana tulisan Haqqul Yaqin di Blog ini.

Dalam filsafat Modern yang pertama kali mengangkat tema AKU adalah Rene Descartes. Bagi Descartes aku dipandang secara “ontologis” dan “epistemologis”. Menurut Descartes dalam bukunya, Discourse on Methode, Meditations and Principle, Aku dipandang secara ontologis, karena AKU memang dipandang sebagai hakikat sesuatu yang ada pada manusia, termasuk “jati diri” atau hakikat manusia dan mengandung suatu relevansi dengan kepastian tentang adanya AKU Mutlak. Sementara secara epistemologis, AKU itu langsung berhubungan dengan “cogito” atau “aku pikir”, sehingga aku jelas merupakan sarana untuk prosesi berpikir, sebagai ciri khas aku. Karena itu, proses berpikir menyebabkan AKU ada, cogito ergo sum. (1960: 26-27 dan 85-95; Andre Gombay, 2007:6-7)

Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, puncak revolusi ilmiah terjadi sejak Rene Descartes (1591-1650 M) mengungkapkan cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Pernyataan ini merupakan kesimpulan dari filsafatnya. Menurutnya, esensi manusia terletak pada pikirannya, dan hanya benda-benda yang ditangkap dengan jelaslah yang dapat dikatakan benar. Konsepsi yang demikian disebutnya sebagai “intuisi”. Dia menegaskan bahwa tidak ada jalan menuju pengetahuan yang benar kecuali dengan intuisi yang jelas dan deduksilah yang diperlukan. Dengan pendapatnya mengenai cogito ergo sum, Descartes tidak lain menegaskan bahwa mind dan body merupakan dua hal yang jelas (clear) dan terpisah (distinct) secara mendasar.

Ada dua alam yang terpisah yaitu alam pikiran res cogitans dan res extensa atau alam luas. Pada abad-abad berikutnya, para ilmuwan mengembangkan teori-teori mereka sesuai dengan pemisahan Descartes ini. Ilmu-ilmu kemanusiaan memusatkan pada res cogitans dan ilmu-ilmu alam memusatkan pada res extensa. Bernarad William dalam bukunya, Descartes: The Project of Pure Enquiry mencatat bahwa bagi Descartes, alam semesta adalah sebuah mesin dan tidak lebih dari sebuah mesin. Alam semesta bekerja sesuai dengan hukum-hukum mekanik, dan segala sesuatu dalam alam materi dapat diterangkan dalam tatanan dan gerakan-gerakan dari bagian-bagiannya. Gambaran alam mekanik ini telah menjadi paradigma ilmu pada masa setelah Descartes. Paradigma ilmu ini menuntun semua pengamatan ilmiah dan perumusan semua teori tentang alam. (William , 2005:58-85)

Secara epistemologis, Konsep Cogito Ergosum Descartes berangkat dari metode skeptisisme atau metode keragu raguannnya. Skeptisisme Descartes berangkat dari adanya sikap meragukan segala sesuatu yang ada, yang bisa diamati, dilihat atau secara empiris itu ada, termasuk dirinya sendiri. Descartes meragukan dirinya sendiri, apa dirinya sadar atau bermimpi melihat realitas. Karena semua diragukan, tinggal satu yang Descartes tidak ragukan, yaitu aktivitas berpikir. Berpikir inilah satu satunya realitas yang ada. Karena itu lah, muncul ucapan Descartes Cogito Ergosum (Aku berpikir, maka Aku ada).

Inilah suatu pengetahuan langsung yang disebut kebenaran filsafat yang pertama (primum philosophicum). Cogito atau aku berfikir adalah pasti, sebab Cogito adalah jelas dan terpilah-pilah. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana aku tahu akan keyakinan ini (Cogito ergo sum). Melalui pemahaman sebagai bukti diri bahwa berfikir (ragu atau menyangkal atau berkemauan), maka aku harus ada dan bahwa pemikiranku tanpa adanya aku merupakan hal yang mustahil. Cogito ergo sum selalu benar setiap kali aku memikirkannya, selalu benar tiap kali aku menyangkalnya. Tetapi apalah artinya, aku yang berfikir dan karenanya ada?

Cogito hanya membuktikan bahwa aku ada sebagai benda yang berfikir, dan hanya bila aku sadar berfikir. Cogito hanya membuktikan bahwa aku adalah hanya benda pemikir, substansi yang ada, dan merupakan sifat alamiku untuk memiliki pemikiran, ide dan keyakinan. Namun tidak ada yang dapat dibuktikan oleh Cogito mengenai tubuhku atau gerakannya, caraku makan atau caraku berjalan. Aku tidak dapat menyatakan kebenaran bukti diri atas: aku bergerak maka aku ada. Gerakanku hanya dapat keketahui melalui persepsi indra, dengan mengamati diriku yang bergerak.

Cogito hanya membuktikan bahwa ketika aku sadar berfikir, aku ada sebagai benda pemikir. Tetapi apakah Cogito memenuhi tiga persyaratan yang dikemukakan Descartes untuk prinsip pertama landasan filsafatnya? Menurutnya, Cogito dapat terbukti dengan pemikiran yang pasti, dan tiap kali aku meragukannya maka aku membenarkannya. Cogito juga terikat dengan kebenaran akhir lainnya, namun ia tidak disimpulkan dari kebenaran yang lebih akhir, artinya semua yang berfikir ada, aku berfikir maka aku ada. Sebaliknya, aku sendiri merasa sebagai kebenaran bukti diri di mana aku berada saat aku berfikir. Ia juga merujuk pada dunia yang ada, yang ada sebagai benda berfikir.

Skeptisisme merupakan suatu sikap mempertanyakan segala sesuatu karena adanya keyakinan bahwa segala sesuatu itu bersifat tidak pasti. Tipe skeptisme Descartes dinamakan skeptisme metodis, yang artinya menggunakan keraguan secara metodologis untuk mencapai pengetahuan sejati. Metode ini dilakukan untuk melempar jauh-jauh segala keyakinannya, yang artinya menggunakan keraguan secara metodologis untuk mencapai pengetahuan sejati. Metode ini dilakukan untuk melempar jauh-jauh segala keyakinannya.

Seluruh teori pada abad ke 17, 18 dan 19 teori fisika Newton yang termasyhur tidak lain adalah perkembangan dari pemikiran Descartes. Namun menurut Heidegger, bapak filsafat modern ini lalai, karena Ia tidak lebih dulu memikirkan makna Sum (ada) dalam Cogito ergo Sum. Descartes tidak memeriksa cara berada res cogitans atau makna ada dari Sum. Pikiran atau res cogitan yang ditemukannya itu diambil alih dari konsep metafisis abad pertengahan, yaitu ens Creatum, ada tercipta. (Heidegger, 1962:46-47)

Bila ditinjau dari sudut teori pengetahuan maka Descartes memiliki suatu kebenaran yang tidak tergoyahkan, aman dan terlindung dari keraguan, yakni kebenaran dari keberadaan diriku sebagai subyek yang sadar. Dengan demikian Cogito Cartesian memperkenalkan subyektivisme kepada filsafat modern. Seperti yang yang disinggung pada awal penulisan ini bahwa corak filsafat modern menunjukkan ciri-ciri yang khas yaitu antroposentrisme, yang lazim juga disebut subyektivisme, di mana manusia sebagai pusat dari semua bentuk pemikiran.

Pada jaman modern manusia dianggap sebagai substansi yang berdiri sendiri, keberadaannya sangat mutlak dibandingkan dengan peng-ada lainnya. Pada jaman ini yang dipandang sebagai sumber pengetahuan hanya apa yang secara alamiah dapat dipakai manusia, yaitu rasio dan empiri (pengalaman), padahal ada kecenderungan orang memakai salah satu dari keduanya, maka dari itu di abad modern timbul pertentangan diantara kedua aliran ini. Kedua aliran ini dipertemukan oleh Immanuel Kant dengan teori kritiknya. (Tulisan akan menyusul).

Subyektivisme Descartes mempunyai implikasi psikologis, adanya ego sentrisme pada diri seseorang, sehingga manusia modern cenderung arogan, egois, individualistis. Ini bisa dilihat pada adanya eksplorasi besar-besaran terhadap alam dengan membiarkan ekologi dan ekosistem rusak. Para pengusaha cenderung menempatkan kaum buruh sebagai sapi perahan dan dieksploitasi. Para penguasa cenderung menjadikan dirinya personifikasi kekuasaannya dan orang lain adalah ancaman, orang lain adalah neraka (the other people is Hell—sartre). Kepemimpinan cenderung status quo, sewenang-wenang, arogan, aji mumpung dan berpusat pada satu sosok. Ini semua karena adanya subyektivisme. Subyektivisme inilah yang menjadikan manusia modern teralienasi dan mengalami krisis. Subyektivisme yang berpusat pada ego sentrisme inilah yang kemudian dikritik oleh Husserl melalui fenomenologinya dengan dunia alter ego.

Referensi

Descartes, Discourse on Methods, Meditations and principle, terjemahan Inggris John Veicth (London: JM. Dent & Sons Ltd, 1960),

Great Books of Western Philosophy, Vol. IV (1980),

Andre Gombay, Descartes (Oxford: Blackwell Publishing Ltd, 2007)

Williams, Bernard, Descartes: The Project of Pure Enquiry (New York: Routledge, 2005)

Suhermanto Ja’far, Filsafat Ilmu, Metodologi dan Epistemoligi; Sebuah Pengantar AFKARINA; Jurnal Pendidikan Agama Islam Pascasarjana UNUJA, 2014

Martin Heidegger, Being and Time, Terj. John Macquarrie dan Edward Robinson (Oxford: Blackwell, 1962), 46.

P. Leenhouwers, Manusia dalam Lingkungannya, Alih bahasa K.J. Veeger (Jakarta: Gramedia, 1988)

Suhermanto Ja‘far, ―Freedom dan Fatalisme dalam perpsektif Teologi dan Filsafat‖, Jurnal an-Nufus Fak.   Dakwah IAI Nurul Jadid (edisi, IV), 2005

PA. Van der Weij, Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia (Jakarta: Gramedia, 1985)

Martin Buber, I and Thou, Trans by Ronald Gregor Smith (Edinburgh: T. & T.Clark 1937)

Macann, Christopher, Four Phenomenological Philosophers Husserl, Heidegger, Sartre, Merleau-Ponty (New York: Routledge, 1993)

Theodore de Boer, The Development of Husserl’s Thought (London: Mortinus Nijhoff, 1978)

[Suhermanto Ja’far; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]