Articles

Sistem pemikiran Fenomenologi Husserl merupakan kritikan terhadap pandangan Descartes yang menempatkan subyek sebagai penentu segalanya. Kebenaran tergantung dari kesadaran subyek. Ini nampak dalam ungkapan Descartes yang terkenal Cogito Ergo Sum (Aku berpikir maka aku ada). Manusia atau Aku dalam pandangan Descartes masih tertutup, dimana subyek masih terpisah dengan obyek. Obyek masih dipandang statis, sehingga subyek lebih dominan ketimbang peran obyek. Pendekatan fenomenologis, suatu sistem filosofis yang  menempatkan subyek dan obyek berjalan secara dialogis dan sama mempunyai peran yang signifikan keduanya. Subyek memandang obyek secara sama, karena keduanya sama-sama mempunyai kesadaran. Inilah yang dimaksud dengan dunia alter ego. Sebagaimana pada tulisan saya sebelumnya pada https://uinsa.ac.id/blog/webometrics tanggal 13 Mei 2024

Sistem pemikiran fenomenologis lebih bersifat terbuka, yang tercermin dalam ungkapan Husserl, yaitu Cogito Cogitata  (Aku ada karena Ada yang lain) karena Subyek memandang  obyek juga mempunyai kesadaran seperti subyek, sehingga Subyek atau Aku selalu dalam relasional dengan subyek lain (obyek). Disinilah relasi subyek dan obyek bersifat intersubyektif.  Gagasan ini menurut De Boer dalam bukungnya, The Development of Husserl’s Thought dapat dibuktikan dengan konsep intensionalitas yang dikandung oleh obyek dengan kesadarannya dan bersifat immanen, sehingga dapat mengarah langsung pada obyek. Intensionalitas ini mengungkapkan adanya relasi antar subyek. (Theodore de Boer, 978: 102)

Kritik Husserl melalui Fenomenologi ini kemudian membuka jalan bagi filsafat eksistensialisme untuk mengungkap otentisitas maupun historisitas manusia melalui jati dirinya sebagai manusia modern. Pengalaman terpenting bagi seseorang dalam hidupnya adalah ketika seorang manusia benar-benar menjadi kongkret. Manusia kongkret, yaitu Aku merupakan pembahasan yang menonjol dalam filsafat modern. Ini karena manusia merupakan inti dari keseluruhan sistem pemikiran, baik menyangkut, kesadaran, pengetahuan maupun perilakunya. Manusia atau Aku ini merenung tentang dirinya (aku) untuk mengungkap tentang ciri khas pribadinya. Aku dapat dimengerti sebagai sebuah kesadaran diri, karena manusia dengan aku-nya hadir untuk dirinya sendiri. Manusia atau aku sadar  (tahu) bahwa dirinya ada dan mengalami apa apa yang terjadi, baik di luar maupun di dalam kehidupan pribadinya. Manusia atau AKU merupakan subyek sekaligus obyek dari filsafat.

Kesadaran manusia pada dirinya sendiri menunjukkan bahwa manusia terbuka untuk dirinya sendiri melalui realitas kehidupan yang dialaminya, baik menyangkut pengalaman dari dalam maupun dari luar. Kehidupan manusia merupakan sebuah totalitas masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Semua ini merupakan sebuah peristiwa yang dialami oleh manusia, sehingga manusia benar-benar terbuka untuk diri sendiri. Karena itu, tak satupun  bidang  kehidupan yang tak terjamah oleh aku ini, sehingga tiap-tiap aku dapat menerobos atau menjamah secara esensial sudut-sudut yang paling dalam  dari hidupnya. Akhirnya, kita dapat menemukan bahwa seluruh hidup yang kita alami merupakan sebuah kesatuan dari diri kita.

Jean Paul Sartre membedakan manusia dan benda-benda dengan istilah etre-en soi (ada pada dirinya) serta etre-pour-soi (ada bagi dirinya). Menurut Sarte,  ada-pada-dirinya (etre en soi) hanya ada pada benda-benda, karena benda-benda tidak terbuka dan mempunyai kesadaran bagi dirinya. Sementara ada-bagi-dirinya (etre-pour-soi) merupakan suatu ciri khas dari manusia yang sadar dan terbuka bagi dirinya, karena ada bagi dirinya merupakan bentuk keterbukaan manusia bagi dirinya sebagai bentuk eksistensi dan cara berada manusia. (Sartre, 1992: 73).

Sartre mengatakan bahwa tiap-tiap bentuk keterarahan kepada yang lain akan menyeret manusia untuk keluar dari dirinya. Sehingga keadaan bagi dirinya tidak lagi dapat dihayati, dipahami. Manusia akhirnya tidak lagi ada bagi dan untuk dirinya secar menyeluruh. Inilah keunikan, keotentikan dan tak tersentuhkan dari aku. Karena manusia selalu dalam proses menjadi manusia, maka manusia merupakan pengarang hidupnya dan pencipta sejarah hidupnya, sehingga manusia akan selalu berdialog dengan ruang dan waktu hidupnya. Inilah ciri historisitas manusia sebagai ciri yang paling hakiki dari aku.

Dengan adanya dimensi historisitas ini, maka tiap-tiap aku merupakan makhluk yang menyejarah dan membuat sejarahnya sendiri. Dimensi historisitas ini menjadikan manusia mempunyai kebebasan dalam hidupnya  dan bertanggung jawab secara penuh terhadap dirinya. Kebebasan aku tercermin dalam perilaku, aktivitas dan perbuatannya yang ditentukan oleh manusia sendiri atau tindakan otonom manusia ditentukan oleh kesadarannya. Artinya, tindakan otonom dari sang aku selalu dapat dikembalikan kepada sang aku dan tindakan tersebut telah disadari secara utuh oleh aku. Karena itu, kebebasan sang aku merupakan konsekuensi logis harus dapat dipertanggung jawabkan kepada aku pribadinya.

Inilah keunikan dan kemisteriusan manusia, baik aspek dalam maupun aspek luar. Disatu sisi manusia dipuja, pada sisi yang lain dicaci. Disamping itu, manusia atau aku tidak hanya memiliki keunikan pada aspek luarnya saja, tetapi juga pada aspek dalamnya. Bahkan manusia itu sendiri merupakan misteri, makhluk yang tidak dikenal, sebagaimana dijelaskan Alexis Carel bahwa manusia merupakan misteri dari keseluruhan kompleksitasnya baik menyangkut aspek fisik, kepandaiannya maupun aspek dalamnya (rohani). (Alexis Carrel, 1987: 9-52). Akhirnya manusia atau aku merupakan makhluk yang tak tersentuhkan, masih ada sesuatu dalam aku yang tak bisa diselami, sehingga masih menyimpan rahasia yang unik dan kabur.

Manusia sebagai subyek, yaitu aku dalam perspektif fenomenologi mempunyai keterarahan (intensionalitas) sebagai bentuk keterbukan terhadap dunia, sesama dan Tuhan. Adanya keterbukaan ini menunjukkan bahwa secara essensial, manusia merupakan makhluk social. Karena dunia merupakan lingkungan alamiah bertemunya semua aktualitas subyek (aku) yang berpikir dan sadar. (Theodore de Boer, 1978: 102). Disinilah makna Aku sebagai subyek yang berada pada lingkungan sosialnya. Karena itu, eksistensi manusia, yaitu sang aku akan menjadi sadar, otentik dan hadir untuk dirinya (ada bagi dirinya dalam isitlah Sartre), jika berelasi dengan suatu yang lain (The Others) atau kesadaran yang timbul bersama aku lain. (Sartre, 1992: 73).

Disinilah, manusia dan lingkungan sosialnya selalu berada dalam dinamika dan menyejarah, sehingga manusia dengan dunianya hadir secara given pada eksistensi manusia. Keterarahan manusia pada yang lain merupakan wujud eksistensi aku yang ada bersama yang lain. Keterarahan manusia (aku) kepada sesama (aku lain) semakin nampak peristiwa rasa malu dari Sartre dan Cinta kasih dari Gabriel Marcel. Kedua peristiwa tersebut merupakan bukti bahwa manusia hidup dibagi bersama dengan yang lain. Keterarahan manusia atau aku akan terasa nyata dan langsung akan kehadiran engkau melalui kesadaran cinta. Bagi Gabriel Marcel, kesadaran cinta akan membentuk suatu Communion (kebersamaan) yang berlangsung dalam persahabatan yang perennis (abadi) antara Aku yang ada bersama. (Gabriel Marcel, 1949: 9-14 dan 26-30) Disinilah manusia mencapai puncak eksistensinya sebagai aku secara nyata yang ada bersama yang lain. (PA. Van der Weij, 1985: 180-182)

Disamping hidup manusia atau aku mempunyai keterarahan kepada dunia dan sesama manusia, juga ada keterarahan lain yang tak kalah pentingnya, yaitu keterarahan kepada Allah. Keterarahan hidup manusia yang bersifat terbuka ini semakin menampakan eksistensi kemanusiaan Aku, baik terhadap dunia, sesama maupun kepada Allah. Dengan demikian menunjukkan bahwa hidup manusia merupakan suatu kesatuan, dimana tidak ada keterarahan yang terpisah satu sama lain. Keterarahan hidup manusia kepada Allah juga akan melibatkan secara dialogis-dialektis keterarahan kepada dunia maupun sesama, begitu sebaliknya, sehingga semua bidang kehidupan saling meneguhkan satu sama lain.

Disamping hidup manusia atau aku mempunyai keterarahan kepada dunia dan sesama manusia, juga ada keterarahan lain yang tak kalah pentingnya, yaitu keterarahan kepada Allah. Keterarahan hidup manusia yang bersifat terbuka ini semakin menampakan eksistensi kemanusiaan Aku, baik terhadap dunia, sesama maupun kepada Allah. Dengan demikian menunjukkan bahwa hidup manusia merupakan suatu kesatuan, dimana tidak ada keterarahan yang terpisah satu sama lain. Keterarahan hidup manusia kepada Allah juga akan melibatkan secara dialogis-dialektis keterarahan kepada dunia maupun sesama, begitu sebaliknya, sehingga semua bidang kehidupan salig meneguhkan satu sama lain

Sedangkan keterarahan manusia atau aku kepada Allah merupakan bentuk yang tertinggi. Menurut Martin Buber relasi  aku- itu dan Aku-engkau merupakan cara untuk mewujudkan kesadaran Aku. Artinya, bahwa kesadaran Aku bukan tunggal yang hanya ditentukan oleh subyek dirinya, tetapi ditentukan oleh subyek lain (Aku lain) yang dinamakan engkau. Jadi Engkau merupakan suatu dimensi baru meng-ada-kan Aku dalam hubungannya dengan aku lain. Karenanya, hanya dengan pertemuan personal Aku-Engkau, aku mengalami kesadaran dan kehadiran yang nyata. Kehadiran Aku dan Engkau merupakan sisi dari proses menjadi ADA. Berangkat dari hal ini, Martin Buber memandang manusia, yaitu Aku selalu dalam relasi dialogis dengan benda-benda (I-it) maupun dengan sesama dan Tuhan (I-Thou). Relasi dialogis ini merupakan suatu keharusan dalam perjumpaan dengan Engkau. Perjumpaan ini menyebabkan Aku menjadi Ada karena Engkau, sebagaimana ucapannya, “Aku membutuhkan Engkau untuk menjadi Ada, Aku Ada, karena Aku berkata Engkau. (Buber, 1970: 54-55)

Pada akhirnya kesadaran yang terdapat pada Aku sebagai inti kepribadian manusia merupakan aktivitas Jiwa. Sehingga kesadaran atau suara hati merupakan aspek etis yang menempatkan roh sebagai bentuk yang paling tinggi dari semua itu, dan dianggap sebagai jendela jiwa yang terarah pada Allah. Karena itu, dibalik kesadaran manusia terdapat sesuatu yang turut beraktivitas dalam kehidupan, sehingga membawa manusia pada yang Mutlak, yaitu Roh.  Keterarahan pada yang Mutlakitu merupakan sesuatu yang Given bagi manusia, karena Allah merupakan  ide innate  manusia.. There is in man an innate knowledge of God and consciousness of divinity (sensus divinitatis) which can no more be wanting in him, that an rational intellect; and which he can no more get rid or than he can get rid of himself. (Sheed’s, 1980: 199))

Referensi

Marcel, Gabriel, Being and Having, a translation by Katharine  Farrer, Glasgow : The University Pres, 1949

Martin Buber, I and Thou, Trans W. Kauffman, Edinburgh, 1970,

Sartre, Jean-Paul; Being and Nothingness (New York: Simon & Schuster,1992)

Sheed’s, Dogmatic Theology, Vol. I-III (USA: Thomas Nelson Publisher, 1980)

P. Leenhouwers, Manusia dalam Lingkungannya, Alih bahasa K.J. Veeger (Jakarta : Gramedia, 1988)

Descartes, Discourse on Methode, Meditations and principle, terjemahan Inggris John Veicth, (London : JM. Dent & Sons Ltd, 1960)

Theodore de Boer, The Development of Husserl’s Thought, trans. Mortinus Nijhoff  (London, 1978)

Alexis Carel, Misteri Manusia, alih bahasa Kania Rosli dkk. (Bandung : Remaja Karya, 1987)

PA. Van der Weij, Filosof-filosof Besar tentang Manusia, (Jakarta: Gramedia, 1985)

[Suhermanto Ja’far; Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel]