Column

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pengajaran yang baik, serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sungguh Tuhanmu, Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl [16]: 125)

Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah memuji Nabi Ibrahim, a.s sebagai pemimpin yang kuat imannya, serta tinggi rasa syukurnya. Lalu, kita diperintah untuk meneladaninya. Sebagai kelanjutan, ayat yang dikutip di atas menjelaskan lebih detail bagaimana keteladanannya dalam menyampaikan nasihat dan berdebat.

Ayat ini bersifat umum, sebab tidak menjelaskan siapa yang menjadi sasaran nasihat dan debat. Jadi, pedoman dalam ayat ini bisa dipakai oleh penceramah agama, guru, suami, istri, ayah, ibu, kepala kantor, dan sebagainya. Atau sebaliknya, masyarakat kepada pemimpinnya, atau anak kepada bapaknya, siswa kepada gurunya, dan sebagainya. Bisa juga nasihat atau debat itu antar sesama muslim atau non-muslim. Ayat ini memberi tiga pedoman dalam memberi nasihat atau berdebat sebagai berikut. 

Pertama, berikan nasihat dengan hikmah, yaitu kata yang dijamin kebenarannya, argumentative, dan meyakinkan, serta disampaikan dengan ketepatan isi, ekspresi dan waktunya. Jangan sekali-kali menyampaikan hal-hal dalam nasihat dan debat yang belum jelas sumber dan kebenarannya menurut dalil agama dan data-data mutakhir. Sampaikan juga nasihat itu dengan sopan, tenang dan gembira. Sebab, secara naluri, manusia amat menyukai orang yang sopan, gembira, bukan tegang atau marah. Orang yang gembira lebih sistematis dan rasional pembicaraannya daripada orang yang lagi marah, yang cenderung kacau bicaranya karena lebih banyak dikendalikan oleh rasa (emosi) dari pada rasio (otak), sehingga lebih mudah tersulut emosinya.

Berikan nasihat pada waktu yang benar-benar tepat. Jangan menyampaikannya pada orang yang sedang sibuk, lelah, atau pada situasi lain yang tidak memungkinkannya menerima masukan. Juga jangan sekali-kali menegur kesalahan orang di depan umum, sebab hal itu akan mempermalukannya. Bersabarlah sampai menemukan waktu yang tepat. Ketidaksabaran inilah yang seringkali menjadi pemicu ketidaknyamanan, bahkan konflik dalam masyarakat.

Kedua, berikan nasihat dengan cara yang baik dengan empat petunjuk ini: (a) gunakan pilihan kata yang terbaik. Lebih dari 10 ayat Al Qur’an yang memberi petunjuk memilih kata. Antara lain, qaulan ma’rufa (kata yang sudah dikenal), qaulan maysura (kata yang membangkitkan semangat), qaulan karima (kata yang sopan), dan sebagainya; (b) jelas dan mudah dicerna. Ulangilah beberapa kata yang terpenting, agar selalu diingat dan tidak terjadi salah dengar atau salah paham.  Anas, r.a. berkata,

اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اِذَا تَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ اَعَادَهَا ثَلَاثًا حَتَّى تُفْهَمَ عَنْهُ رواه البخارى    

“Nabi SAW, ketika berbicara selalu mengulangnya tiga kali, sampai bisa dipahami” (HR. Al Bukhari).

Petunjuk berikutnya, (c) berikan nasihat dalam rentang waktu yang tepat. Jangan terlalu sering, sebab bisa membosankan. Nabi pun menyampaikan nasihat dengan rentang waktu yang terukur.

عَنْ اَبِى وَائِلٍ شَقِيْقِ ابْنِ سَلَمَةَ قَالَ، كَانَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُذَكِّرُنَا كُلَّ خَمِيْسٍ مَرَّةً، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ، يَا اَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، لَوَدِدْتُ اَنَّكَ تُذَكِّرُنَا كُلَّ يَوْمٍ، فَقَالَ، اَمَا اِنَّهُ يَمْنَعُنِي مِنْ ذَلِكَ، اِنِّي اَكْرَهُ اَنْ اُمِلَّكُمْ،وَاِنِّي اَتَخَوُّلُكُمْ بِالْمَوْعِظَةِ كَمَاكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِهَا مَخَافَةَ السَّامَةِ عَلَيْنَا، متفق عليه

“Abu Wa-il, Syaqiq bin Abu Salamah berkata, “Ibnu Mas’ud r.a memberi ceramah kami sekali, setiap hari Kamis. Seorang lelaki berkata, “Wahai Bapaknya Abdurrahman, saya ingin engkau memberi ceramah untuk kami setiap hari.” Ibnu Mas’ud, r.a menjawab, “Ketahuliah, saya tidak akan melakukannya, sebab aku khawatir kelak kamu bosan. Saya memperjarang ceramah untuk kamu sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW. Nabi selalu memperjarang ceramah, sebab ia khawatir kita bosan” (HR. Muttafaq ‘alaih).  
            Petunjuk berikutnya, (d) berikan nasihat dalam waktu sesingkat mungkin. Jangan terlalu panjang. Nabi SAW bersabda,

عَنْ اَبِى الْيَقْظَانِ عَمَّارِ ابْنِ يَاسِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ، اِنَّ طُوْلَ  صَلَاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ، فَاَطِيْلُوْا الصَّلَاةَ، وَاَقْصِرُواالْخُطْبَةَ رواه مسلم

“Abil Yaqdhan, ‘Ammar bin Yasir, r.a berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Panjangnya shalat dan singkatnya ceramah seseorang adalah tanda kecerdasannya. Maka, panjangkan shalat dan pendekkan ceramah” (HR. Muslim).

            Ketiga, lakukan debat dengan cara yang jauh lebih baik (allati hiya ahsan) daripada penyampaian nasihat. Komunikasi nasihat cenderung searah, sedangkan komunikasi debat bersifat dua arah. Karena sifatnya yang dua arah inilah, maka dalam debat amat rentan adanya tutur kata, ekspresi, dan intonasi peserta debat yang menimbulkan ketersinggungan, bahkan amarah pihak lain. Oleh sebab itu, dalam hal berdebat, Allah SWT sekali lagi berpesan pada ayat yang lain,           

وَلَا تُجَادِلُوْٓا اَهْلَ الْكِتٰبِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۖ اِلَّا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ

“Janganlah kamu berdebat dengan Ahlul kitab kecuali dengan cara yang lebih baik, kecuali terhadap orang-orang yang berbuat zalim di antara mereka” (QS. Al ‘Ankabut [29]: 46).

Pada penutup ayat, Allah berfirman, “Sungguh Tuhanmu, Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl [16]: 125). Penggalan ayat ini memberi pesan kita agar jangan terlalu ambisius merubah pemikiran dan perilaku seseorang melalui nasihat dan debat. Lakukan nasihat dan debat dengan cara yang terbaik. Kita tak perlu sakit hati, kecewa, apalagi marah dan putus persahabatan ketika hasilnya tidak sesuai harapan. Sebab, perubahan way of thinking dan way of life seseorang mutlak hak Allah. Tugas kita hanya menyampaikan kebenaran, tidak lebih dari itu.

وَمَا عَلَيْنَآ اِلَّا الْبَلٰغُ الْمُبِيْنُ

“Adapun kewajiban kami (para Rasul) hanyalah menyampaikan (perintah Allah) yang jelas” (QS. Yasin [36]: 17). (Surabaya, 1 Maret 2024)

Loading