Column UINSA
*Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.

Pagi itu jam menunjuk 07:20 WIB. Rabu, 25 Januari 2023. Kulangkahkan kaki ke ruang-ruang bagian administrasi di kantor pusat. Kampus A. Yani UIN Sunan Ampel Surabaya. Mulai lantai 4, 6 hingga 7. Lantai tempat berkantornya semua teman-teman saya di bagian administrasi di rektorat. Mulai dari Humas dan Kerjasama, Kemahasiswaan dan Alumni, Keuangan, Perencanaan, hingga Umum.

Pagi itu memang kuingin ketemu dengan teman-teman tenaga kependidikan. Di semua bagian. Langsung di tempat kerja mereka. Masing-masing. Untuk menyapa. Sekaligus tilik kedisiplinan masuk kerja. Itu agar kutahu kondisi yang sebenarnya. Supaya kumengerti yang senyatanya. Tanpa perantara. Tanpa laporan siapapun. Agar autentik.

Kuayunkan kaki dari satu ruang kerja ke ruang kerja lainnya. Nah, di tengah tilik ruang kerja itu, kudapati hampir di setiap bagian pandangan menarik. Semua sama. Tak ada beda. Ada di semua ruangan. Warnanya sama: biru. Bentuknya serupa: kotak. Dan tulisannya seragam: Restu Ibu. Ya, itu adalah kaleng kerupuk. Berada tidak jauh dari tumpukan kertas kerja dan atau perabotan makan-minum.

Saat berada di ruang kerja Bagian Keuangan, sengaja kuhentikan ayunan langkahku persis di depan kaleng kerupuk yang berwarna biru itu. Kubilang pada teman-teman di ruangan itu yang semuanya berdiri dari tempat duduk: “Ada yang sama di semua ruangan.” “Apa itu hayo?” lanjut saya. Tampak mereka mulai menebak-nebak, tapi saya langsung menyamber dengan jawaban: “Kaleng kerupuk.” Di semua ruangan ada. Sama. Biru. Dan bertuliskan “Restu Ibu”. Meskipun sejumlah huruf mulai tak terlihat jelas, namun masih bisa terbaca kata “Restu Ibu” itu.

“Ini penjual kerupuk hebat. Luar biasa.” Kata saya. “Apa luar biasanya?” tanya saya selanjutnya kepada teman-teman di ruangan Bagian Keuangan itu. Saya lalu menjelaskan agak panjang lebar sambil berdiri-nyantai bersama teman-teman. Bagi saya, penjual kerupuk itu telah mengamalkan ajaran pemasaran (marketing principles) dalam menjalankan usaha bisnis jualan kerupuknya hingga berlangsung lintas waktu. 

Pertama, mendekatkan layanan kepada konsumen. Bapak penjual kerupuk ini tampak lihai sekali untuk memuaskan pelanggan. Dia dekatkan produk jualannya kepada konsumen. Hingga titik terdekat. Di ruang kerja pula. Bukan selainnya. Pegawai pun yang selama ini menjadi konsumen tetap atas komoditas kerupuk yang dijualnya tak perlu meninggalkan ruang kerja. Itu karena kerupuk selalu sudah tersedia di ruang kerja masing-masing pegawai. Bahkan, dalam ceritanya, sering mereka kehabisan stok kerupuk yang ada di kaleng tersebut.

Kedua, merawat kepercayaan konsumen. Bapak penjual kerupuk ini, bagi saya, adalah pelaku marketing yang keren. Kulihat kaleng kerupuk biru bertuliskan “Restu Ibu” yang ada di setiap ruang kerja pegawai itu bukan hanya saat ini. Bukan saat saya melakukan tilik ruang kerja pegawai 25 Januari 2023 lalu itu. Bukan. Sekali lagi bukan. Kusudah melihatnya jauh sebelum saat ini. Beberapa tahun sebelumnya. Baik saat ruang kerja pegawai berada di rektorat lama maupun kini di gedung baru rektorat.

Ketiga, menjemput bola. Menurut saya, penjual kerupuk ini adalah tukang marketing produk yang sangat baik. Caranya dengan menempatkan kaleng kerupuk di setiap ruangan pegawai. Mereka yang ingin segera mengkonsumsi kerupuk tak perlu lagi ke ruangan sebelahnya. Atau meninggalkan ruangan. Apalagi ke luar tempat kerja. Tentu tidak akan terjadi. Sebab, penjual kerupuk tersebut hadir dekat dengan pelanggan. Dia tidak menempatkan barang dagangannya di luar ruang kerja pegawai, apalagi di luar area gedung kantor. Tapi di dalam ruang kerja. Dengan begitu, hampir tidak ada jarak antara barang dagangan berupa kerupuk dan konsumennya. Betul-betul jemput bola secara dekat.

Keempat, menempatkan konsumen sebagai raja. Satu-persatu pelanggan dilayani. Di-clustering ke dalam bentuk ruang kerja. Semua ruangan ada kaleng kerupuk itu. Prinsip ini melengkapi praktik jemput bola di atas. Penjual kerupuk tampak sangat mengerti kebutuhan masing-masing konsumen. Dia tidak tinggalkan setiap pelanggannya sibuk dengan ikhtiar masing-masing secara terpisah untuk memenuhi kebutuhannya atas kerupuk. Alih-alih, pemenuhan kebutuhan dilakukan berbasis konsentrasi ruang kerja.

Kelima, menjaga penjaminan mutu secara berkelanjutan. Continuous quality assurance, kata orang Barat. Dengan merawat kepercayaan konsumen itu, penjual kerupuk tampak ingin meyakinkan bahwa kepuasan pelanggan adalah segalanya. Karena itu, mutu layanan dikaitkan secara berkelanjutan. Hingga, pelanggan pun merasakan kepuasan yang selalu terbarukan akibat pelayanan terbaik yang dirasakannya dari penjual keurpuk itu. Tak ada layanan yang mutunya mundur. Begitulah penjaminan mutu secara berkelanjutan yang diperbarui terus oleh penjual kerupuk. 

Pimpinan UINSA Surabaya patut meniru tukang kerupuk di atas. Tukang kerupuk itu merawat kepercayaan konsumen. Mendekatkan layanan kepada mereka. Menjemput bola dengan cara menempatkan kaleng kerupuk di ruangan pegawai. Satu-satu. Semua ada. Masing-masing dilayani. Dengan merawat kepercayaan konsumen itu, tak ada yang pindah ke lain hati. Tak ada yang mendua. Buktinya, tak ada kaleng kerupuk lainnya selain yang berwarna biru dan bertuliskan “Restu Ibu” itu.

Apalagi, sudah lama kepercayaan konsumen itu dirawat oleh tukang kerupuk itu. Pindah gedung kerja, tetap disamperi. Lalu dilayani dengan pelayanan yang dekat dan selalu ada. Pindah ke bagian kerja lain, juga tetap dihampiri. Lalu dilayani dengan baik. Ibarat lagu, kerupuk itu akan bilang: “Ke mana kau pergi, kuturut bersamamu.” Itulah hebatnya penjual kerupuk dalam kaleng itu. Itulah tanggapnya cara penjual kerupuk itu menggelola perubahan. Termausk perubahan pada tempat kerja konsumen.

Dengan model pemasaran seperti di atas, kaleng kerupuk pun, akhirnya, cepat kosong. Karena kerupuknya habis terkonsumsi. Bahkan ludes sebelum waktunya si Bapak penjual kerupuk itu mengisinya kembali. Semua habis tak bersisa. Inilah bukti konkret prinsip mulia dari pemasaran oleh tukang kerupuk itu; akibat layanan yang memuaskan, jualannya selalu laris manis. Bahkan, kerupuk itu pun selalu dicari konsumen saat stoknya belum kembali terisi setelah habis terkonsumsi dengan baik oleh mereka sendiri. Kampus pantas mengambil pelajaran dari cara pemasaran tukang kerupuk di atas.