Column

ADAPTIVE MARKETING
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Kuterpana. Kuterbelalak. Tak kuasa mengalihkan pandangan. Kala itu saatnya makan malam. Di resto hotel bintang empat. Grand Zuri BSD City, Tangerang. Di sudut paling kiri depan, kusaksikan sebuah rak. Isinya mie instan Indomie. Produksi PT Indofood Sukses Makmur. Full, satu rak. Penuh sekali. Beragam rasa ada di situ. Bahkan, rasa yang jarang lagi ditemui selain di kota asalnya, ada di situ. Indomie rasa rendang, misalnya. Mulai jarang ditemukan di sejumlah kota. Termasuk Tangerang dan Surabaya. Tapi bisa dijumpai di resto hotel itu. Dan masih banyak contoh rasa lainnya. Aku pun bisa memilih rasa apapun sesukaku. Tinggal ambil. Lalu memberikannya ke pelayan resto untuk dimasakkan. Saat siap santap, kulahaplah mie instan itu dengan nikmatnya.

Keterperanjatanku makin meronta-ronta. Makin menjadi-jadi. Saat kulalui pengalaman yang sama. Bahkan tidak berhenti di beberapa hotel bintang empat lainnya di sejumlah wilayah di Jakarta. Melainkan juga bintang lima. Seperti Hotel Le Eminence Puncak Hotel Convention & Resort, di Kawasan Puncak Bogor (25-27 Oktober 2023). Ada rak khusus Indomie. Berbagai rasa bisa ditemukan di situ. Sekali lagi bahkan yang sulit ditemukan di kota selain asal menu dari rasa yang dikehendaki. Akupun lalu memilih sebuah rasa untuk kuberikan ke pelayan resto untuk dimasakkan. “Enak rasanya memakan mie instan di hotel bintang lima,” bisikku untuk meyakinkanku mencoba menu harian yang biasa namun kusantap dengan suasana baru di hotel bintang lima.

Akupun semakin tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahuku lebih dalam soal perubahan sajian menu mie instan itu. Itu saat aku diajak oleh sahabatku, Dr. Ali Musthofa, M.Pd.  Ketua Lembaga Penjaminan Mutu UINSA Surabaya. Dalam sebuah kesempatan balik ke Surabaya dari tugas pengurusan pendirian Program Studi Pendidikan Kedokteran dan Kedokteran Profesi di Jakarta. Sahabatku itu menawariku untuk bersantai dan menikmati sajian makanan-minuman sambil menunggu jadwal penerbangan. “Kita ke Premier Lounge Blue Sky, yuk? Enak bisa pesan mie goreng,” ajaknya. Bersama sahabatku yang lain, Dr phil Khoirun Niam (dekan Fakultas Psikologi dan Kesehatan), kami bertiga pun lalu bergegas masuk ke lounge di dalam area tengah menuju Gate 18 di terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang itu. Satu-persatu kunikmati menu makanan yang tersedia. Dan ternyata benar, ada mie goreng. Produk Indomie. Dimasak dan lalu bisa dinikmati di situ.

Foto: Premier Lounge Blue Sky dekat Gate 18 terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta

Aha! Mie instan naik kelas! Begitu kesan yang kurasakan. Begitu otakku langsung memikirkan. Makanan yang biasa dikonsumsi di rumah oleh sejumlah kalangan kini masuk ke hotel berbintang yang diidamkan. Makanan yang biasa dijumpai di warung-warung, kini masuk ke hotel bintang lima dan tak lagi didominasi oleh pedagang kaki lima di pinggir jalan. Bahkan, di lounge dalam bandara yang menjadi tempat menikmati makanan-minuman dan sekaligus transit penumpang pesawat juga bisa didapatkan. Terdapat sajian menu makanan mie instan itu. “Sungguh mujur bener nasib makanan rakyat itu!” begitu gumamku dalam hati menyaksikan masuknya mie instan Indomie menjadi menu sajian hotal bintang lima dan lounge bandara ternama.

Kupendam sejumlah pertanyaan dalam hati. Karena kuyakin, di balik pertanyaan-pertanyaan yang kupunya itu pasti tersimpan banyak rahasia tersembunyi. Banyak inspirasi yang bisa kugali. “Apa yang membuat makanan popular mie instan masuk hotel berbintang?” Ini pertanyaan dasarku kala itu. “Apa yang telah dilakukan oleh perusahaan PT Indofood Sukses Makmur hingga merasa penting untuk menyediakan sajian makanan mie instan di tempat-tempat berkelas itu?” Demikian pertanyaan lanjutan yang kupunya. Karena bagiku, pasti ada banyak hal yang bisa kuambil sebagai pelajaran.  Tentu untuk konteks pekerjaan yang sedang menjadi tanggung jawabku. Yakni, tim manajamen perguruan tinggi yang sedang kuampu.

Kesempatan pun datang. Saat aku pergi ke Yogyakarta (9-10 Desember 2023). Kudapatkan momen pertemuan dengan kakak iparku yang manajer cabang perusahaan produksi mie instan itu. Kutanyakanlah pertanyan-pertanyaan di atas kepadanya. “Ya, memang itu kebijakan perusahaan. Justeru awalnya malah memasukkan produk mie instan itu ke lounge bandara. Ke hotel, itu justeru lebih belakangan.” Demikian jawaban awal yang diberikan kepadaku. “Apa pertimbangan perusahaan melakukan strategi pemasaran dan penjualan seperti itu?” tanyaku lebih spsesifik. “Idenya adalah untuk memperbesar pasar,” jawabnya. “Lalu perusahaan berpikir, untuk kepentingan memperluas pasar itu, dicarilah tempat yang menjadi titik mobilitas tinggi orang. Ketemulah lounge bandara sebagai jawabannya. Perusahaan melihat bandara adalah titik mobilitas orang yang paling tinggi. Lalu berikutnya hotel.” Begitu penjelasannya kepadaku.

Jawaban di atas sungguh sangat menarik. Penuh informasi keren. Sarat makna. Semua itu penting dipelajari. Penting didalami. Perusahan besar sekelas PT Indofood Sukses Makmur saja masih merasa perlu untuk memperluas dan memperbesar pasar. Perusahaan sesukses PT Indofood Sukses Makmur saja tak pernah berhenti berinovasi dalam penjualan produk yang dihasilkan. Tidak pernah berpuas diri dengan capaian tinggi yang diraih. Dari tahun ke tahun. Otak selalu diputar. Untuk pembaruan strategi pemasaran dan penjualan. Sebagai pertanda inovasi berkelanjutan. Dan, inovasi berkelanjutan itu selalu diawali dengan jeli membaca dan mencermati setiap peluang. Selalu mem-value-kan setiap kesempatan yang ada. Tentu semuanya untuk semakin mempertebal keuntungan.

Maka, meniru yang telah sukses adalah pilihan yang terukur. Tidak ada cara lain bagi pelaku usaha dan bisnis apapun yang ingin mendulang sukses serupa kecuali dengan meniru dan melakukan hal yang sama. Termasuk perguruan tinggi.  Sebab, perusahaan yang telah berkibar tinggi seperti PT Indofood Sukses Makmur saja masih terus melakukan inovasi tanpa henti. Termasuk dalam hal penjualan hasil produksi. Tak pernah menyia-nyiakan peluang. Tak pernah melewatkan setiap kesempatan. Tak pernah mengabaikan setiap perubahan. Tak pernah membiarkan setiap perkembangan baru berlalu begitu saja tanpa penyambutan. Akhirnya, konsumen luas pun terpuaskan. Untuk kebutuhan konsumsi mie instan sebagai makanan yang banyak dibutuhkan.

Kuingatlah lalu konsep adaptive marketing bersama prinsip-prinsipnya. Pemasaran yang selalu mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan baru yang terjadi. Pemasaran jenis ini menghendaki strategi tersendiri untuk merespon setiap perubahan tanpa henti. Menyesuaikan diri dengan setiap perkembangan yang terjadi di sana-sini. Juga, mengakrabi sesuatu yang baru. Ramah pada yang baru. Karena kata to adapt tidak bisa melepaskan diri dari dua kata kunci: menyesuaikan diri (to suite) dan baru (new). Maka, bentukan kata yang lahir dari kata to adapt pasti mempersyaratkan adanya usaha keras untuk menyesuaikan diri dengan hal-hal yang baru. Karena itu, perubahan dalam perkembangan terkini selalu menjadi perhatian. Penyesuaian diri pun tak ayal dilakukan sebagai responnya.

Dalam perspektif adaptive marketing di atas, semua pelaku produksi, barang atau jasa, selalu berusaha dekat dengan pasar yang menjadi sentrum dari proses produksi yang dilakukan. Sebab, memproduksi itu gampang. Hampir siapa saja bisa melakukan. Tapi memasarkan produk yang dihasilkan itu tantangan yang menghadang. Karena itu, membaca trend pasar harus dilakukan. Dekat dengan pasar adalah langkah konkret yang harus diayunkan. Itu semua dilakukan agar tidak ada celah antara produksi yang dilakukan dengan pola konsumsi yang terkini menjadi kecenderungan. Dengan begitu, pemasaran tidak salah sasaran. Dan produk pun akan diserap oleh pasar secara baik penuh harapan.

Kampus pun tak boleh lepas dari prinsip adaptive marketing dalam praktik penyelenggaraan layanan pendidikan tinggi yang dijalankan. Harus terampil membaca setiap perubahan. Harus cepat menyesuaikan diri dengan setiap perkembangan. Juga harus selalu dekat dengan pasar yang menjadi sasaran layanan pendidikan. Itu semua agar produksi layanan pendidikan tinggi yang dijalankan sesuai dengan selera pasar terkini yang bermunculan. Proses produksi dan konsumsi dari layanan pendidikan tinggi pun akhirnya bisa bertemu pada titik yang diharapkan. Jika itu terjadi, separuh modal sukses sudah ada di tangan.

Selalu belajar (learning) adalah prinsip pertama yang harus senantiasa dilakukan oleh pengelola kampus. Harus selalu mempelajari setiap perubahan dengan berbagai kecenderungan pasar yang mengiringi. Perubahan selera pasar layanan pendidikan harus selalu dicermati. Perubahan pola konsumsi harus selalu ditelaah dan dimaknai. Agar layanan pendidikan tinggi yang dijalankan selalu menyesuaikan dengan perubahan dan perkembangan pada diri mahasiswa sebagai konsumennya. Perguruan tinggi tidak boleh berhenti belajar untuk selalu menelaah setiap perubahan dan perkembangan yang ada. Tentu beserta semua kecenderungan yang mengiringinya.

Adaptive marketing menghendaki prinsip “selalu belajar” di atas sebagai prasyarat awal untuk dilakukan. Kampus penting menjadikan prinsip “selalu belajar” sebagai langkah awal dalam menjaga keberadaan dan sekaligus pergerakan kampus terhadap setiap perubahan dan perkembangan yang terjadi pada pasar pendidikannya. Bahkan dengan modal intelektual yang dimiliki sebagai “pabrik akademik”, kampus sudah semestinya mengaktifkan riset pasar. Menggerakkan riset pasar sebagai bagian dari backbone kerja layanan pendidikan tinggi yang dijalankan. Khsusnya untuk kepentingan pemasaran dan penjualan produk layanan. Itu semua laik dilakukan untuk bisa memperkuat kebutuhan untuk terampil “selalu belajar” membaca dan memahami pasar pendidikannya.

Tapi, “selalu belajar” saja tak cukup. Setelah prinsip selalu belajar menjadi prasyarat awal, pelaku pemberian atau produksi layanan apapun penting untuk selalu beradaptasi dengan setiap perubahan dan perkembangan yang terjadi. Sekali lagi, selalu belajar saja tidak cukup. Selalu belajar hanya menjadi modal awal untuk selalu maju. Tapi langkah berikutnya adalah daya penyesuaian diri (adapting) terhadap perubahan dan perkembangan terkini yang terjadi. Harus ada upaya terukur untuk selalu meningkatkan keterampilan penyesuaian diri. Dibuktikan dengan perencanaan yang jeli. Juga eksekusi program yang efektif dan teliti.

Ada dua bagain integral dari prinsip adapting di atas. Pertama adalah terampil beradaptasi dengan setiap perubahan dan perkembangan yang terjadi. Perubahan bukan dijauhi. Tapi diakrabi dengan modal diri yang mencukupi. Perkembangan yang berlangsung terus-menerus bukan dihindari. Tapi disambut sebagai respon aktifnya dengan keterampilan memadai. Kedua adalah cepat melakukan adaptasi terhadap setiap perubahan dan perkembangan yang terjadi. Terampil dan cepat ini menjadi ketentuan yang dibutuhkan dalam melakukan adaptasi terhadap setiap perubahan dan perkembangan yang terjadi. Terampil saja tak cukup. Karena semua penyelengggara layanan juga dituntut untuk terampil dalam beradaptasi dengan setiap perubahan dan perkembangan yang terjadi. Diperlukan langkah cepat dalam melakukan adaptasi dimaksud, seperti yang diingini.

Mengapa cepat harus dilakukan selain terampil? Itu karena perubahan yang terjadi di era serba digital juga sungguh sangat cepat. Kebat kliwat, kata orang Jawa. Bahkan terjadi secara bertubi-tubi. Seakan tak pernah berhenti. Terjadi satu, lalu segera yang lain mengikuti. Belum sempat tuntas ditelaah, sudah muncul perubahan yang lainnya. Belum sempat secara penuh diikuti, sudah terjadi perubahan lainnya. Maka, kalau tidak cepat, penyelenggara layanan pasti akan tertinggal oleh perubahan dan perkembangan yang terjadi pada pasar penerima manfaat layanannya.

Dengan kebijakan pemasaran produk ke lounge bandara hingga resto hotel bintang lima, perusahaan PT Indofood Sukses Makmur tampak sedang dan telah memberikan inspirasi kepada kita semua. Bahwa perubahan sosial penting secara cermat dibaca. Bandara sebagai titik pertemuan dari mobilitas tinggi warga masyarakat dipahami dengan baik sebagai sebuah kecenderungan baru yang ada. Maka, strategi baru pemasaran produk mie instan pun disesuaikan dengan kecenderungan terkini itu. Hingga mie instan Indomie pun lalu “naik kelas” dan tidak melulu seperti yang dulu.

Penyelenggara pendidikan tinggi pun penting belajar dari pelaku usaha seperti itu. Menyesuaikan diri dengan perkembangan terkini dari penerima manfaat layanan akademik yang dituju. Agar layanan kampus terus dekat dengan pasar yang selalu menunggu. Atas pendidikan tinggi yang bermutu. Dengan begitu, kampus pun akan selalu dibutuhkan oleh siapa saja yang ingin maju. Produksi layanan akademik dilakukan selalu. Dan pasar pun meresponnya bak bulan merindu. Harapan produsen dan ekspektasi konsumen pun bertemu. Hingga kepuasan konsumen pun hanya soal waktu.