Kalau belum sukses, lalu sok kenal, itu biasa. Juga, saat belum sukses, lalu ramah menyapa, itu wajar saja. Tapi sebaliknya, saat sudah sukses, namun tetap ramah, tetap menyapa, dan tetap menaruh rasa hormat kepada sesama, itu baru istimewa. Pernyataan ini bukan untuk maksud apa-apa kepada siapapun. Termasuk kepada yang belum sukses. Alih-alih, pernyataan ini untuk menandai sesuatu yang jarang terjadi: sudah mencapai sukses tapi tetap mau menyapa sesama. Telah sukses tapi tetap menaruh hormat kepada sesama. Telah meraih sukses tapi tetap ramah kepada sesama. Itu baru istimewa.
Itulah yang baru saja kualami. Kudapati. Dari seorang anak muda yang tetap ramah, tetap menyapa, dan tetap menaruh rasa hormat kepada sesama. Dia adalah sahabatku. Dulu memang pernah aku mengajarnya saat dia masih kuliah S1 atau program sarjana. Di Program Studi Kependidikan Islam (KI) kala itu. Begitu nama program studi itu waktu itu. Kini program studi itu berubah nama menjadi Manajemen Pendidikan Islam (MPI) di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN Sunan Ampel Surabaya. Tapi, kini anak muda itu telah menjadi orang hebat. Dia menjadi aktivis politik yang mulai menanjak di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jawa Timur.
Tak pernah kusangka sama sekali. Sore itu. Minggu, 20 Oktober 2024. Kualamilah kejadian yang jarang itu. “Assalamu’alaikum,” suara memanggil terdengar dari arah belakangku. Menyapaku dengan salam. “Haaa! Siapa nih yang mengenaliku di sini ya? Menyapa duluan lagi!” kataku dalam hati begitu mendengar salam itu. Lalu pengucap salam itu bergeser ke arah samping kananku. Dia salami aku. Dengan penuh rasa hormat. Rasa yang selama ini selalu dia tunjukkan kepadaku. Dan tentu kepada sesamanya yang lain. Lalu, riuhlah suasana di konter kacamata Saturdays, Plaza Tunjungan, Surabaya, sore itu. “Aiih, Mas Umam, gimana kabarnya?” sahutku begitu kutahu siapa yang menyapaku di konter itu. Bincang santai saling menanya kabar pun terjadi. Asyik penuh cerita.
Sore itu, aku betul-betul tak menyangka ada orang yang menghampiriku. Dan menyapaku duluan. Lalu mengajakku ngobrol beberapa saat tentang sejumlah hal. Padahal, kala itu aku duduk menghadap ke arah dalam toko kacamata merek Saturdays itu. Produsen lokal tapi kualitasnya tak kalah dengan yang global. Bayanganku kala itu, dengan menghadap ke arah dalam toko kacamata itu, aku tak pernah berpikir akan ada orang yang mengenaliku. Apalagi lalu menghampiriku, dan menyalamiku, serta menaruh rasa hormat kepadaku. Kala itu, aku bersama formasi lengkap anak-istriku. Untuk healing tipis-tipis. Mumpung ada kesempatan kumpul bersama.
Tapi, lelaki muda itu memang lain. Dia tetap mengenaliku, ternyata. Lalu mendekatiku. Memberikan salam. Dan lalu mengulurkan tangan dan mengajakku bersalaman. Dia pun melakukan praktik bersalaman itu dengan sedikit merunduk. Khas seorang santri. Intinya, meskipun telah menapaki kesuksesannya, dia tak pernah kehilangan akhlaq kesantriannya. Kepada sesamanya. Termasuk tentu kepada gurunya. Tampak sekali dia pegang teguh akhlaq kesantrian itu. Dia praktikkan selalu kemuliaan akhlaq itu. Sejak lama sekali seperti yang kutahu. Karena itu, aku pun tak pernah lupa namanya. Begitu mengenali wajahnya saat menghampiriku, aku pun langsung menyebut namanya. Tak pernah lupa.
Sebagai refleksi kontan saat itu, aku pun bertanya dalam hati. “Ngapain dia menghampiriku, menyapaku, menyalamiku, dan menghormatiku? Padahal dia kan sudah menjadi orang hebat?” Begitu tanyaku dalam hati. Sebab, tak sedikit orang yang saat sudah sukses tak lagi merasa perlu mengenali sahabatnya. Termasuk gurunya. Tak jarang ada orang yang telah sukses dan merasa tak perlu lagi untuk memberikan hormat kepada sahabat dan atau gurunya. Toh, dia sudah terkenal, begitu. Tapi, lelaki muda itu memang agak beda. Dia menghampiriku. Dia ucapkan salam kepadaku. Dia menyalamiku. Dan lalu dia pun memberi hormat kepadaku dengan cara merundukkan badan, seperti kusebut di atas.
Kehidupan sosial memang selalu ada yang beda. Tapi, dalam fakta senyatanya seperti yang terjadi pada kisah di atas, banyak hal yang bisa menjadi alasan bagi orang yang telah sukses untuk tak lagi merasa perlu untuk mengenali, apalagi menghormati, orang yang pernah menjadi sahabatnya. Termasuk juga gurunya. Bisa saja karena alasan kesibukan. Bisa saja karena alasan tidak mau repot atau direpotkan. Bisa saja dengan alasan untuk menjaga marwah dirinya. Macem-macemlah alasan yang bisa dibikin untuk melegitimasi praktik dirinya untuk tidak merasa perlu mengenali, menghormati, atau minimal menyapa duluan sahabat yang pernah menghabiskan kebersamaan dengannya di masa-masa sebelumnya.
Tapi, lagi-lagi, lelaki muda itu memang agak lain. Dia tunjukkan rasa hormatnya kepadaku. Akhlaq yang sama memang telah lama dia tunjukkan. Bahkan sejak saat menjadi mahasiswa sekalipun. Kala itu, dia aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Penyuka ilmu. Cerdas. Dan semangat aktivismenya sangat tinggi sekali. Bahkan, kala itu pernah mengenakan kalung bergambar identitas tokoh sebuah agama yang berbeda dengan yang dia yakini. Bahkan, aku pernah memintanya melepas kala itu. Meski harus berargumen panjang, dia pun akhirnya berkenan melepas kalung itu. Dia pun semakin akrab denganku. Sejak kejadian itu.
Tapi, kini dia menjadi aktivis politik kenamaan. Tidak saja dirinya yang bergerak dalam bidang kecakapan hidup itu, tapi juga istrinya menjadi aktivis partai itu. Dia mendapatkan tugas dari partainya tidak hanya dalam urusan teknis keseharian kesekretariatan di kantor partai itu. Tapi juga tugas pemenangan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu Presiden 2024 lalu. Artinya, dia kini sudah menjadi aktivis politik yang sudah mulai menapaki jalan sukses. Eksposur politik yang dialami semakin meluas. Dan itu sangat bagus sekali untuk membentuk kecakapan praktisnya di dunia politik kepartaian. Tapi toh begitu, dia tetap ramah, tetap menyapa, dan tetap menaruh rasa hormat kepada sesama.
Lalu, apa yang bisa dipelajari dari praktik dan tindak-tanduk lelaki muda itu kepada sesamanya, termasuk kepada orang yang pernah menjadi gurunya? Ada tiga pelajaran menarik. Pertama, karakter itu hasil dari proses panjang. Tidak hadir mendadak. Tidak instan. Karena itu, bagi pendidik, jangan pernah menyia-nyiakan setiap kesempatan pada diri anak didik untuk menjadi panggung pembelajaran. Apakah kesempatan itu berbentuk kemudahan atau bahkan kesulitan. Apakah kesempatan itu berbentuk prestasi ataupun pelanggaran disiplin sekalipun. Semua itu penting dijadikan sebagai panggung pembelajaran. Semua itu penting untuk diambil sebagai hikmah untuk lahirnya sebuah pembelajaran hidup. Bagi masa depan peserta didik yang kita tidak pernah tahu akan seperti apa.
Karena itu, berikanlah pengalaman positif semaksimal mungkin. Pendidikan penting untuk selalu memberikan pengalaman positif kepada semua peserta didik yang berada dalam pengasuhan dan pembelajaran yang diselenggarakan. Orang tua juga perlu memberikan pengalaman baik kepada anak-anaknya dalam pengasuhan keluarga. Pengalaman positif atau baik itu dibutuhkan sebagai lahan subur bagi penyemaian karakter diri yang dibutuhkan oleh peserta didik atau anak bagi masa depannya. Sebab, pengalaman positif atau baik tersebut akan berproses dalam diri peserta didik atau anak untuk selanjutnya menjadi akhlaq yang menandai identitas dirinya.
Akhlaq itu akan terus kuat bersemayam jika pengalaman positif atau baik juga tertanam kuat dalam diri peserta didik atau anak. Kuyakin, apa yang terjadi pada diri sahabatku yang menghampiriku dan menyalamiku serta memberi penghormatan kepadaku di toko kacamata di Plaza Tunjungan di atas adalah buah dari proses lama dari pengalaman positif atau baik yang terakumulasi dalam dirinya. Lalu pada titik lanjutan sekalipun, pengalaman positif atau baik itu kemudian akan segera menjadi karakter dirinya. Maka, keputusan dia untuk menghampiriku dan menyalamiku serta memberi penghormatan kepadaku di toko kacamata tersebut adalah buah saja dari proses internalisasi nilai yang terjadi pada dirinya. Dan, hasil itu keluar begitu saja karena sudah menjadi karakter dirinya.
Kedua, sukses tak harus kehilangan prinsip yang telah menjadi nilai karakter hidup. Dalam pengalaman sahabatku di atas, terdapat pelajaran hidup yang baik bahwa sukses tak harus membuat seseorang lupa daratan hingga tak mengenal lagi apapun untuk menghormati orang yang pernah bersahabat dengannya. Termasuk menjadi gurunya. Buktinya, apa yang dilakukan sahabatku dengan menghampiriku pertama kali dan menyalamiku serta memberi penghormatan kepadaku di toko kacamata di Plaza Tunjungan di atas adalah bukti bahwa sukses tak kemudian membuatnya kehilangan prinsip yang telah menjadi nilai karakter lama dirinya. Sukses yang telah diraihnya tak membuatnya kemudian jumawa atas dirinya.
Betul quote yang diciptakan oleh jurnalis kenamaan Amerika, Walter Cronkite (4 November 1916 – 17 Juli 2009). Dia pernah menyatakan begini: Success is more permanent when you achieve it without destroying your principles. Kesuksesan lebih permanen bila engkau mencapainya tanpa merusak prinsip diri. Dengan tindakan menghampiriku pertama kali dan menyalamiku serta memberi penghormatan kepadaku di toko kacamata di Plaza Tunjungan di atas, sahabatku di atas telah menunjukkan bagaimana sukses langkah hidupnya diikuti dengan keajegannya dalam mempertahankan prinsip diri yang lama diikutinya. Yakni, keramahan dan penghormatan kepada sesama. Termasuk gurunya.
Tentu praktik yang dilakukan sahabatku di atas adalah sebuah kemuliaan. Bersumber dari karakter diri yang dipertahankan. Melalui proses pendadaran diri yang berkelanjutan. Mulai saat dulu menjalani proses pendidikan. Hingga kini menjalani karir di dunia politik kepartaian. Dengan begitu, sukses hidupnya dalam perkembangan terakhir tak harus membuatnya kepada sesama kehilangan prinsip ketakdziman dan penghormatan. Karena itu, saat dia tetap menghampiriku pertama kali saat aku pun tak mengetahui kedatangannya seperti kujelaskan di atas, maka itu adalah sebuah kebajikan. Apalagi kemudian dia menyalami dan berbincang dengan penuh keramahan dan penghormatan. Sukses tak harus kehilangan akhlaq diri yang menjadi prinsip kemuliaan. Itu yang akan membuat kesuksesan lebih permanen nan kuat bertahan, seperti kata Walter Cronkite.
Pengalaman memberi pelajaran. Saat seseorang kehilangan prinsip yang telah menjadi nilai karakter hidupnya selama ini, di situlah keburukan bermula. Apalagi, jika sukses hidupnya diperoleh dengan cara menabrak prinsip kemuliaan yang menjadi nilai karakter itu. Maka, bisa hampir dipastikan, suksesnya tak diiringi dengan kemuliaan. Alih-alih bahkan, sukses itu menjadi apa yang kini dikenal dengan istilah the bubble success. Sukses busa. Sukses yang penuh dengan kerapuhan. Sukses yang mudah terhempas. Sukses yang mudah hilang. Terkena ombak yang bernama kepentingan sesaat. Itu semua karena sukses yang demikian tidak dibangun di atas prinsip kemuliaan yang menjadi nilai karakter.
Ketiga, jangan pernah remehkan setiap kesempatan pada proses pendadaran diri. Sebab, dampaknya akan terus berlangsung kala seseorang sudah melampaui masa pendadaran diri itu. Bahkan saat dewasa pun, dampak dari proses pendadaran diri itu akan bisa terus terasa berkelanjutan. Pada kasus sahabatku yang mengenaliku, menghampiriku, mengawali menyapaku, lalu memberi penghormatan kepadaku saat aku berada di toko kacamata di Plaza Tujungan Surabaya di atas, terdapat sebuah pelajaran yang sangat penting. Yakni, bahwa dampak kebiasaan yang sudah tertanam saat masa pendadaran akan berlangsung dan bahkan berkelanjutan hingga dewasa sekalipun.
Karena itu, berproseslah dengan baik. Jalani setiap babakan hidup dengan baik. Jangan pernah abaikan nilai kemuliaan sebagai prinsip hidup. Sesulit apapun tahapan dan atau babakan hidup itu terjadi. Bahkan yang sulit pun harus dimaknai sebagai kesempatan untuk memperkuat diri. Bahkan, penderitaan sekalipun juga harus dimaknai dan dikonversi menjadi peluang hidup untuk melatih daya kenyal diri. Justru saat seseorang berhasil memperkuat diri hingga memiliki daya tahan yang jempolan, itu modal menjemput masa depan. Sebab, dalam hidup senyatanya, tak sedikit karakter pekerjaan membuat seseorang berada dalam tekanan yang besar. Nah, pribadi yang mampu berkinerja dan atau berprestasi meskipun berada di bawah tekanan yang besar akan menjadi impian semua pemilik pekerjaan. Karena itulah, ke depan dibutuhkan pribadi-pribadi dengan karakter seperti dimaksud.
Ketiga pelajaran di atas menunjuk kepada satu muara: adab itu di atas ilmu. Adab bukan saja pemuncak dari ilmu, melainkan juga buah dari ilmu. Karena itu, ajaran berikut ini penting kusebut: Ilmu memang memudahkan hidup. Tapi, adab memuliakan hidup. Begitu ijazah nilai yang pernah kudapatkan dari seorang kyai sepuh. KH. Anwar Iskandar, namanya. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien, Ngasinan, dan Pondok Pesantren Assa’idiyah, Jamsaren, yang berlokasi di Kota Kediri. Dengan ilmu, hidup akan mudah dijalani. Karena semua tahapan dan proses hidup memerlukan kecakapan dan keterampilan untuk menjalaninya. Dan itu berangkat dari ilmu.
Tapi, adab akan membuat hidup jadi mulia. Sebab, kecakapan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memenangi hidup dibungkus dengan kemuliaan adab. Dengan adab itu, ilmu tak membuat pemiliknya keluar dari standar nilai yang menjadi prinsip hidup. Alih-alih, kelebihan ilmu yang melahirkan kecakapan dan keterampilan itu disempurnakan lebih lanjut dengan kemuliaan adab. Maka, saat adab tak hadir, kelebihan ilmu tak akan mengalir. Sebagai gantinya, sikap dan praktik hidup akan bisa menabrak standar nilai yang menjadi prinsip dan rujukan hidup bersama. Akibatnya, ilmu pun akan kehilangan nilai kebajikan kemanusiaan.