Oleh: Dra. H. Wahidah Zein Br Siregar, M.A., Ph.D.
Hari Selasa tanggal 22 Februari 2022, saya beserta bapak Achmad Room Fitrianto dan ibu Andriani Syamsuri berkesempatan mengunjungi desa Sekapuk, Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik. Kami ditunggu dan disambut langsung oleh Bapak Kepala Desa (Kades), bapak Abdul Halim.
Dengan ramah, pak Kades mengajak kami duduk di kantornya yang cukup bagus dan asri, laksana kantor seorang direktur di perusahaan ternama. Kantor ini juga dilengkapi dengan sebuah lemari es yang berisi berbagai jenis minuman untuk para tamu yang datang. Dengan sigap beliau mempersilahkan kami duduk di sofa dan menyuguhkan minuman segar. Ruang meeting di kantor kepala desa tersebut juga cukup besar dan nyaman.
Mungkin beliau memahami keheranan saya yang baru pertama kali berkunjung ke kantor kepala desa ini. Beliau lalu mengatakan ini hasil kerja keras bersama warga desa. “Kami sudah mencanangkan desa kami dengan sebutan desa milliarder. Pendapatan bersih kami dari Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bisa mencapai 1,7 milliar setiap tahun. Kami tidak mau lagi jika ada warga kami yang miskin, yang sulit makan dan sekolah, yang sakit-sakitan. Kami tahu persis bagaimana data masyarakat desa kami dari berbagai aspek. Sehingga mudah untuk melakukan berbagai program yang sesuai dengan kebutuhan mereka.”
Ternyata begitu banyak program yang sudah dilakukan oleh beliau dan para perangkat desa serta warga untuk merubah desa yang sebelumnya terkategori sebagai desa tertinggal menjadi desa yang maju, atau dengan sebutan desa milliarder tadi. Desa yang mampu mengubah kekumuhan menjadi keindahan. Menjadi desa yang mampu mempekerjakan warganya di berbagai badan usaha desa yang membuat mereka hidup sejahtera. Bahkan beasiswa diberikan pada generasi muda desa yang kuliah di program sarjana (S1) di berbagai universitas di berbagai daerah di Indonesia, meskipun itu di Fakultas Kedokteran.
Saat ini ada dua lokasi wisata yang menjadi sumber penghasilan utama desa (PADes-Pendapatan Asli Desa) , yaitu Setigi dan KPI. Setigi adalah kepanjangan dari Selo, Tirto, dan Giri; batu, air, dan bukit. Setigi merupakan area bekas tambang kapur, yang dulunya adalah sebuah bukit kapur, yang ditinggalkan oleh para penambang. Menurut bapak kepala desa, para penambang datang dari berbagai lembaga ataupun perorangan, baik dari Gresik maupun luar Gresik. Ketika batu-batu kapur yang ditambang sudah habis, bukit kapur tersebut kemudian berubah wujud menjadi terowongan-terowongan, gua-gua tanpa stalaktit dan stalagmit, lubang-lubang besar laksana kolam, berisi air di kala hujan dan kekeringan di kala panas. Bagaikan area yang seolah tak bermanfaat. Ditinggalkan begitu saja. Seperti kata pepatah, habis layu sepah dibuang. Yang paling menyedihkan lagi, lubang-lubang besar tersebut menjadi tempat pembuangan sampah yang menjadikan desa ini berbau busuk menyengat terutama di kala musim panas, dan banjir di kala musim penghujan. Warga desapun selalu sakit. Desa Sekapuk benar-benar menjadi desa yang menyedihkan di saat itu.
KPI adalah kepanjangan dari Kebun Pak Inggih. Sebelum menjadi destinasi wisata, KPI ini adalah tanah persawahan yang merupakan “tanah Bengkok.” Tanah desa yang diberikan hak pengelolaannya kepada Kepala Desa sebagai sumber penghasilannya, uang lelah atas jerih payahnya mengelola desa. Tanah seluas lebih kurang 2,5 hektar ini adalah sawah tadah hujan yang berhasil atau gagal panennya benar-benar tergantung pada curah hujan alami. Sawah tadah hujan yang hujannya sendiri tak mudah diprediksi secara tepat kedatangannya. Apalagi jika kemarau panjang datang mendera.
Sawah luas ini sekarang telah menjadi agro wisata yang masih terus dikembangkan. Sungai kecil buatan dipenuhi oleh ikan koi berwarna warni mengitari KPI. Berbagai macam pohon asli Indonesia ditanam di area ini. Bahkan pohon durian, manggis, rambutan, dan matoa yang biasanya tumbuh di dataran tinggi, tumbuh subur di sini. Kata bapak kepala desa, KPI ini ditargetkan untuk dikunjungi oleh anak-anak sekolah. Mulai dari PAUD hingga SMA. Kata beliau “Saya ingin agar anak-anak tau yang mana pohon manggis, ketika mereka memakan buah manggis, bagaimana bentuk daun dan batangnya. Begitu juga dengan pepohonan lainnya.”
Saat ini kedua area ini telah menjadi lokasi wisata dengan pemandangan alam yang indah. Memiliki udara yang segar dan bersih, membuat mereka yang berkunjung betah untuk tinggal berlama-lama. Tentu saja sinar matahari yang hangat tetap tak meninggalkan kedua lokasi wisata ini, karena Desa Sekapuk memang berjarak lebih kurang 6 kilometer dari laut.
Perbincangan kami terasa begitu akrab dan hangat. Berpindah-pindah tempat dari kantor desa, menuju Setigi, dan berakhir di KPI. Hampir 6 jam beliau mendampingi kami. Berkali-kali di sela-sela perbincangan itu beliau menyebutkan apa yang diraih oleh desanya ini juga merupakan hasil kerja bersama dengan bapak Room dan teman-teman dari UINSA-UIN Sunan Ampel Surabaya.
Sungguh dalam hati saya merasa sungkan. Tak banyak yang saya ketahui tentang aktifitas pengabdian kepada masyarakat (PKM) yang telah dilakukan oleh teman-teman di desa ini. Teman-teman dari Prodi Ekonomi Syari’ah maupun yang lainnya. Teman-teman dari Lembaga Pengembangan Kewirausahaan dan Bisnis Islam (LPKBI) maupun yang lainnya. Saya merasa masih lebih banyak berbicara daripada berbuat. Namun begitu, terselip rasa bangga di dalam hati. Bapak Kepala Desa Sekapuk memberikan apresiasi tidak hanya kepada teman-teman pelaksana berbagai kegiatan PKM tetapi juga kepada UINSA, pun kepada saya yang notabene masih harus banyak belajar dari beliau, bukan sebaliknya.
Perbincangan dengan bapak Abdul Halim, kepala desa Sekapuk ini mengingatkan saya pada pengalaman UINSA dalam memperkuat teori dan praktek pengabdian kepada masyarakat yang telah dilakukan. Tahun 2012, UINSA telah berhasil mengirimkan setidaknya 40 orang dosen mengikuti pelatihan social entrepreneurship ke University of Sydney. Dari mentor yang luar biasa, Alm Dr. Richard Seymour, para peserta telah mendapatkan cara-cara membangkitkan semangat berwirausaha tidak hanya pada kalangan mahasiswa, tetapi juga masyarakat pada umumnya. Wirausaha yang tujuannya tidak hanya untuk memperkaya diri sendiri tetapi memberikan kontribusi yang luas bagi kemaslahatan ummat. Wirausaha yang tidak hanya memikirkan bagaimana membuat produk sendiri tetapi mengajak orang lain membuat dan membesarkan produknya. Wirausaha yang tidak menganggap pengusaha lain sebagai kompetitor tetapi sebagai partner.
Tahun 2011-2016, UINSA telah bekerja sama dengan pemerintah Canada dalam Project SILE/LLD-Supporting Islamic Leadership/Local Leadership Develeopment. Project ini telah mendanai tidak kurang dari 100 orang dosen untuk mengikuti berbagai pelatihan metode pengembangan komunitas (community development): Participatory Active Research (PAR), Community Based Research (CBR) atau Community Based Participatory Research (CBPR), Asset Based Community Development (ABCD), dan Service Learning (SL). Project ini juga menghubungkan Community Social Organisation (CSO) dengan UINSA. Banyak organisasi yang biasa bekerja dengan masyarakat yang dapat dijadikan mitra dalam belajar bersama untuk membangun, mengembangkan diri bersama masyarakat.
Kampus, dalam hal ini adalah UINSA, dari pembelajaran tentang metode-metode tersebut, semakin memahami bahwa banyak pengetahuan, kearifan, pengalaman, dan ketrampilan yang berada di masyarakat yang mungkin belum terungkap. Masyarakat mungkin belum memahami banyaknya pengetahuan, kearifan, pengalaman, dan ketrampilan yang sesungguhnya mereka miliki. Belum percaya diri berhubungan dengan lembaga-lembaga lain yang dapat membantu mereka mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki tersebut. Dialog antara kampus dan masyarakat, kedekatan yang dibangun oleh kampus dengan masyarakat dan sebaliknya, dapat membuka wawasan baru, mendobrak dinding-dinding tebal yang memisahkan berbagai pihak yang sesungguhnya dapat bekerja sama dalam pembangunan yang mensejahterakan, khususnya di komunitas.
Saya tanya pada Bapak Achmad Room dan Ibu Andriani, apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh teman-teman di desa Sekapuk? Dengan rendah hati mereka menjawab, mungkin tidak terlalu banyak, kami mencoba memberikan ide-ide pengembangan lokasi wisatanya, terutama di Setigi, kami mencoba menghubungkan desa dengan perusahaan-perusahaan yang mungkin dapat membantu pendanaan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) yang mereka miliki, kami mencoba membimbing dalam membuat berbagai proposal dan perencanaan.
Setiap orang, lembaga, komunitas, pemerintahan dalam berbagai levelnya, tentu mempunyai berbagai potensi. Mereka juga menghadapi berbagai tantangan. Skala pengembangan dan keberhasilan dalam memanfaatkan potensi tersebut tentu bergantung pada akses atau kesempatan yang dimiliki. Tetapi tentu saja, motivasi dan semangat kebersamaan yang tinggi untuk mengembangkan masyarakat menjadi elemen yang penting dalam menghadapi berbagai tantangan.
Pembangunan yang dilakukan secara bersama-sama, berwawasan kesejahteraan bersama, yang dilakukan oleh bapak kepala desa dan masyarakat di desa Milliarder Sekapuk menjadi bukti, desa yang dulu dianggap biasa bahkan lemah dapat bertransformasi menjadi desa yang luar biasa. Potensi-potensi yang dimiliki masyarakat di desa ini muncul dan berkembang karena mendapat wadah penyalurannya.
Di sisi lain, “small but meaningful” dukungan tampaknya boleh disematkan pada teman-teman UINSA yang telah bekerjasama dengan bapak kepala desa dan para stakeholders desa Sekapuk lainnya. Konsep university community engagement-UCE yang digunakan UINSA dalam dharma pengabdian kepada masyarakat nampaknya juga telah mendapat tempatnya.
Tentu saja kedekatan ini harus terus dibangun dan dijaga agar dapat terus lestari. Bapak kepala desa Sekapuk beserta warga akan siap menyambut warga UINSA yang berkunjung dengan senyum dan keramahan. Sebaliknya bapak kepala desa akan selalu siap berkunjung ke UINSA memberi inspirasi pada mahasiswa maupun lulusannya. Tentu saja harus juga disambut dengan senyum dan keramahan. Terasa bertambah juga kebingungan saya, karena ternyata telah beberapa kali bapak kepala desa Sekapuk menjadi narasumber dalam beberapa seminar dan pelatihan dalam pembekalan kompetensi mahasiswa yang akan menyelesaikan kuliahnya.