Column

“Untung” = Syukur: Praktik Budaya dalam Komunikasi Kesehatan

Oleh
Dr. Nikmah Hadiati Salisah, S.Ip., M.Si.
(Ketua Jurusan Komunikasi, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Ampel Surabaya)

Sebagai seseorang yang ditakdirkan untuk lahir di kalangan masyarakat Jawa, saya sangat terkesan dengan sebuah cerita lama yang bagi saya mengandung nilai perenungan hidup yang sangat dalam. Di suatu masa ada seseorang yang berdialog dengan rekannya dan ditanya jika suatu saat terkena celaka dan tangan kirinya patah, apa yang dirasakan dan dipikirkan ? jawabnya tak terduga: Untung cuma tangan kiri, jadi masih bisa beraktivitas dengan tangan kanan. Ditanya lagi, Bagaimana jika kedua tangan patah ? dijawab : Untung kaki masih utuh, masih bisa beraktivitas. Ditanya lagi: bagaimana jika semua tangan dan kaki patah ? dijawab: Untung badan masih utuh dan masih hidup, masih ada kesempatan untuk beraktivitas. Ditanya lagi: bagaimana jika semua kondisi badan tidak berbentuk dan mati ? jawabnya: Untung mati, ngga kebayang bagaimana repotnya jika masih hidup dengan kondisi badan seperti itu…

Sampai disini, ada sebuah cara berpikir yang mengarah pada prinsip positive thinking dan sikap optimis yang membuat seseorang bisa menjalani hidup dengan tetap semangat dan bersyukur dengan melihat dan berfokus pada apa yang dimiliki, bukan pada apa yang sudah hilang atau yang tidak dimiliki.

Keberuntungan merupakan salah satu konsep yang memiliki makna penting salah satunya dalam kehidupan masyarakat Jawa. Dalam tradisi dan budaya Jawa, keberuntungan tidak dipandang sebagai sesuatu yang terjadi secara acak atau kebetulan semata, melainkan sesuatu yang bisa diusahakan melalui serangkaian tindakan dan upaya yang berakar pada nilai-nilai spiritual serta adat istiadat. Pemaknaan keberuntungan bagi masyarakat Jawa erat kaitannya dengan konsep harmoni, keseimbangan alam, serta keyakinan terhadap adanya kekuatan yang maha kuasa yang turut mempengaruhi kehidupan manusia.

Salah satu prinsip dasar dalam pandangan hidup masyarakat Jawa adalah keseimbangan kosmis, yaitu menjaga harmoni antara manusia, alam, dan kekuatan-kekuatan gaib yang mengitari semesta. Konsep keberuntungan dalam masyarakat Jawa tidak bisa dilepaskan dari upaya menjaga keseimbangan ini. Ketika seseorang hidup dengan seimbang – menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, menghormati alam, dan mematuhi aturan-aturan adat – diyakini bahwa keberuntungan akan datang dengan sendirinya.

Konsep yang mirip dengan prinsip keberuntungan juga dikenal dalam praktik agama-agama yang ada. Islam, misalnya, memperkenalkan ajaran tentang takdir dan rezeki, di mana keberuntungan dilihat sebagai bagian dari ketentuan Allah yang diberikan kepada mereka yang berusaha dan berserah diri kepada-Nya. Keyakinan bahwa Allah menentukan nasib setiap individu turut melengkapi pandangan masyarakat Jawa tentang keberuntungan sebagai kombinasi antara usaha manusia dan kehendak Tuhan.

Islam menawarkan pandangan holistik tentang kehidupan yang mengintegrasikan kesejahteraan spiritual, emosional, dan fisik. Konsep-konsep keberuntungan, bersyukur, dan keberkahan memainkan peran penting dalam membentuk sikap seseorang terhadap kehidupan, rezeki, dan ujian yang dihadapi sehari-hari. Ketiga konsep ini berkaitan erat satu sama lain dalam bingkai ajaran Islam dan berdampak pada kesejahteraan psikologis serta kesehatan fisik. Melalui perspektif komunikasi, keberuntungan, syukur, dan keberkahan dapat dipahami sebagai bentuk komunikasi internal yang memengaruhi persepsi individu terhadap dunia dan hubungannya dengan Tuhan, serta eksternal melalui interaksi dengan orang lain dan lingkungan.

Keberkahan (barakah) merujuk pada kelimpahan kebaikan dalam sesuatu yang diberikan Allah, baik itu dalam hal rezeki, waktu, atau kesehatan. Keberkahan tidak semata-mata tentang kuantitas, tetapi kualitas dari nikmat yang diberikan. Keberkahan mengandung dimensi spiritual yang melampaui materi. Orang yang menerima keberkahan akan merasakan kebaikan yang meluas dari segala yang dimilikinya, meskipun mungkin secara kasat mata jumlahnya kecil. Dalam konteks kesehatan, keberkahan sering kali dihubungkan dengan ketenangan jiwa dan kebahagiaan yang mendalam, yang pada akhirnya juga berdampak positif pada kesejahteraan fisik.

Keberuntungan, syukur, dan keberkahan adalah konsep-konsep yang saling melengkapi dalam Islam. Keberuntungan bisa dilihat sebagai manifestasi dari takdir Allah yang baik, sementara syukur adalah respons manusia terhadap nikmat tersebut, dan keberkahan adalah limpahan kebaikan yang Allah berikan dalam setiap nikmat. Ketika seseorang merasa beruntung dan bersyukur, ia mengundang keberkahan dalam hidupnya, yang pada gilirannya berpengaruh positif terhadap kesehatan mental dan fisik.

Dalam perspektif komunikasi, bersyukur bukan hanya berarti mengucapkan terima kasih kepada Allah, tetapi juga merupakan bentuk komunikasi internal yang melibatkan kesadaran penuh akan nikmat yang telah diberikan. Syukur mendorong manusia untuk mengembangkan sikap positif, baik dalam berbicara, berpikir, maupun bertindak, yang pada akhirnya memperkuat hubungan antara manusia dengan Tuhan dan sesama manusia.

Dalam perspektif komunikasi, keberuntungan dan syukur adalah dua konsep yang saling berkaitan erat karena keduanya mencerminkan bentuk dialog antara manusia dengan Tuhan. Ketika seseorang merasa beruntung, dia diharapkan untuk bersyukur atas keberuntungan tersebut. Syukur, dalam konteks ini, menjadi medium komunikasi yang memperkuat hubungan spiritual antara hamba dan Tuhannya. Keberuntungan juga bisa dipahami sebagai cara Allah berkomunikasi dengan hamba-Nya. Melalui berbagai peristiwa kehidupan, Allah menunjukkan tanda-tanda keberuntungan yang di dalamnya terkandung pelajaran. Hal ini sejalan dengan konsep tawakal dalam Islam, dimana seorang Muslim setelah berusaha dengan sungguh-sungguh kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah.

Di sisi lain, prinsip keberuntungan yang dipahami dengan sikap syukur mengajarkan manusia untuk tidak sekadar mengharapkan rezeki secara pasif, melainkan aktif dalam mencari peluang, berusaha, dan pada saat yang sama tetap mengakui bahwa hasil akhir adalah ketentuan Allah. Dengan demikian, syukur menjadi bentuk komunikasi yang lebih dalam, yaitu pengakuan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, dan keberuntungan hanyalah salah satu bentuk manifestasi dari rahmat-Nya.

Dari perspektif Komunikasi kesehatan, bekerjanya konsep-konsep tersebut melibatkan dialog batiniah yang membentuk persepsi seseorang terhadap kehidupan. Individu yang memiliki sikap syukur dan merasa diberkati cenderung memiliki pandangan hidup yang positif, lebih mampu menghadapi stres, dan mengurangi risiko gangguan psikologis seperti kecemasan dan depresi. Penelitian menunjukkan bahwa rasa syukur dapat meningkatkan hormon kebahagiaan seperti serotonin dan dopamin, yang berperan penting dalam menjaga kesehatan mental. Selain itu, keberkahan juga dapat diartikan sebagai ketenangan dalam menerima segala takdir dan menjalani hidup dengan penuh kebahagiaan, terlepas dari besarnya tantangan yang dihadapi. Keberkahan ini memengaruhi kesejahteraan fisik dengan mengurangi tekanan darah, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan memperbaiki kualitas tidur.

Dari perspektif komunikasi, keyakinan dalam tradisi budaya berperan sebagai sarana untuk memahami dan mengatasi tantangan kehidupan. Komunikasi tidak hanya terjadi antarindividu atau dalam masyarakat, tetapi juga antara individu dan kekuatan spiritual atau alam yang diyakini berpengaruh terhadap kesejahteraan manusia. Dalam hal ini, komunikasi simbolik dan ritual dalam kehidupan masyarakat menjadi sarana yang penting untuk memelihara kesehatan mental dan keseimbangan jiwa bagi individu.

1. Ritual sebagai Komunikasi Simbolik
Setiap tindakan dalam ritual, mulai dari doa hingga gerakan tubuh, memiliki makna simbolik yang kuat. Melalui ritual, seseorang menyampaikan permohonan, rasa syukur, atau pengakuan terhadap kekuatan yang lebih besar dari dirinya. Dalam praktik budaya Jawa, misalnya, ritual slametan atau syukuran dilakukan untuk memohon keberkahan dan keselamatan. Ritual ini memperkuat keseimbangan jiwa karena memberikan rasa tenang, damai, dan rasa memiliki koneksi spiritual yang kuat

2. Rasa Aman dan Pengendalian Diri melalui Keyakinan
Keyakinan dalam tradisi budaya memberikan rasa aman dan kontrol atas kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian. Dalam banyak kasus, individu yang mempercayai bahwa kekuatan sang maha kuasa yang mengatur hidup mereka dapat merasa lebih tenang dalam menghadapi masalah. Mereka merasa dilindungi oleh kekuatan yang lebih besar dan lebih mampu menerima keadaan hidup, yang pada akhirnya meningkatkan keseimbangan mental. Dalam hal ini, keyakinan berperan sebagai mekanisme pengendalian diri yang membantu individu mengatasi stres, kecemasan, dan tekanan psikologis lainnya.

3. Komunikasi Internal dan Eksternal untuk Mencapai Keseimbangan
Komunikasi internal, atau dialog batin, merupakan salah satu cara individu dalam budaya tradisional memelihara keseimbangan jiwa. Keyakinan bahwa setiap individu memiliki potensi spiritual untuk mencapai ketenangan dan harmoni memotivasi mereka untuk terus mencari keseimbangan melalui ritual, doa, atau refleksi diri. Di sisi lain, komunikasi eksternal melalui interaksi sosial dan ritual kolektif juga berperan penting dalam menjaga kesehatan mental. Tradisi doa bersama memperkuat rasa keterhubungan antarindividu, yang penting bagi kesejahteraan psikologis.

Penelitian modern telah menunjukkan bahwa keyakinan budaya dan praktik spiritual dapat memiliki dampak positif terhadap kesehatan mental. Keyakinan yang memberikan makna dan tujuan hidup mampu mengurangi stres dan depresi serta meningkatkan perasaan kesejahteraan dan optimisme. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang terlibat dalam praktik keagamaan atau spiritual cenderung memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah dan lebih mampu menghadapi tantangan hidup.

Keyakinan dalam tradisi budaya memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan dan keseimbangan jiwa. Dari perspektif komunikasi, keyakinan ini tidak hanya memengaruhi cara individu berinteraksi dengan lingkungan sosial dan spiritualnya, tetapi juga membentuk dialog internal yang penting untuk mencapai kesejahteraan mental dan emosional. Melalui ritual, simbol, dan praktik budaya, masyarakat dapat menemukan cara untuk memelihara kesehatan fisik dan mental yang harmonis. Pengaruh keyakinan ini terhadap kesehatan mental juga diakui dalam penelitian modern, yang menegaskan bahwa keyakinan budaya dan spiritualitas memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan individu secara keseluruhan.

Dengan menerapkan keyakinan akan pentingnya pengakuan “untung” dan bersyukur dalam segala kondisi dan keadaan, akan membentuk individu / karyawan tetap semangat dan optimis dalam menjalankan segala aktivitas dan pada gilirannya akan menciptakan suasana kerja yang menyenangkan dan membahagiakan.