Kamis, 13 Februari 2025, telah berlangsung Seminar Nasional MUSYTAQ ke-4, dengan tema “Qur’anic Intelligence: Tantangan dan Peluang Masa Depan Tafsir al-Qur’an”. Seminar ini diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) yang bertempat di Auditorium UIN Sunan Ampel Surabaya. Salah satu narasumbernya adalah Prof. Dr. Aksin Wijaya, yang tidak lain merupakan Guru Besar bidang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IAIN Ponorogo.
Seminar ini bertujuan membahas tantangan serta peluang yang dihadapi oleh penafsir al-Qur’an di masa depan, terutama dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan modern, khususnya AI. Aksin Wijaya sendiri menolak adanya penggunaan AI dalam menggunakannya pada karya tulisan mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Menurutnya, karena tulisan adalah wadah untuk mengekspresikan pemikiran penulis, dan penggunaan AI menyebabkan mahasiswa tidak berpikir.
Aksin Wijaya dalam penjelasannya kali ini membahas pergesekan paradigma tafsir, dari teologi dan epistemologi ke aksiologi. Paradigma tafsir berbasis aksiologi ini merupakan pembahasan dalam bukunya dengan judul “Dari Teologi dan Epistemologi ke Aksiologi” yang masih proses. Munculnya paradigma berbasis aksiologi ini berawal dari pernyataan mengenai tujuan seseorang menafsiri al-Qur’an yang untuk menemukan kebenaran. Terdapat banyak tanda tanya, mengenai kebenaran ini milik siapa? Apakah Tuhan atau al-Qur’an, dan bersifat apa? Teologis, epistimologis, atau aksiologis?.
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, perlunya diketahui prinsip-prinsip dalam penafsiran yang melibatkan tiga unsur, diantaranya adalah objek, subjek, dan proses pembacaan. Sedangkan paradigma tafsir sendiri menurut Aksin Wijaya terdiri dari 2 model, yang meliputi;
- Paradigma Tafsir Bersifat Romantis Teologis
Paradigma jenis ini identik dengan para ulama salaf atau penafsir masa lalu. Menurut kelompok ini, al-Qur’an adalah fenomena kewahyuan, dan bukan fenomena bahasa. Disebut al-Qur’an sebagai fenomena kewahyuan adalah al-Qur’an difahami sebagai sesuatu yang sakral, suci, otentik dengan sifat kalam Tuhan yang qadim, yaitu yang mencakup dua unsur, antara lain lafẓan wa ma’nan. Selain itu, menurut kelompok terdahulu, al-Qur’an juga bersifat a-historis, yakni sebagai wadah penyampaian pesan atau kehendak Tuhan kepada manusia.
Aksin Wijaya mengatakan bahwa yang bisa menemukan pesan Tuhan bukanlah dari kalangan kita atau manusia biasa, akan tetapi adalah para nabi, sahabat, ulama dan salaf al-ṣālih. Berawal dari hal tersebut, kemudian muncul pendekatan tafsir bi al-ma’thūr. Aksin Wijaya juga mengungkapkan bahwa para mufasir klasik, tidak menemukan sebuah pesan Tuhan dari mekanisme kebahasan, namun sebagaimana akurat, mereka mengutip perkataan, perbuatan, atau peristiwa pada masa Nabi Muhammad melalui riwayat-riwayat hadis.
Tafsir seperti ini mengalami sakralisasi pemikiran Islam, yang mana tafsir jenis ini tidak mengalami proses penafsiran yang bersifat manusiawi. Tetapi, tasfir ini mengalami sakralisasi sebagaimana al-Qur’an tersebut, tidak hanya al-Qur’annya saja yang sakral, namun tafsirnya juga bersifat sakral. Maka paradigma tafsir yang semacam ini, oleh Aksin Wijaya disebut dengan paradigma tafsir yang bersifat romantis teologis.
2. Paradigma Tafsir Bersifat Epistimologi
Jika paradigma tafsir sebelumnya identik dengan mufasir klasik, maka paradigma jenis selanjutnya yang bersifat epistimologi, dipelopori oleh kelompok pembaharuan Islam. Yang awalnya tafsir berbasis bi al-ma’thūr, kemudian menjadi tafsir berbasis rasio. Menurut mereka, al-Qur’an memang bersifat suci, namun juga bersifat historis. Dikatakan suci, karena berasal dari Tuhan dan dikatakan historis, karena dari Tuhan kemudian diturunkan kepada manusia. Selain itu, mereka berfikir bahwa yang merupakan wahyu Tuhan adalah maknanya, bukan bahasa maupun lafaznya.
Bahasa al-Qur’an menggunakan bahasa milik bangsa Arab. Selain itu, kisah-kisah di dalam al-Qur’an juga formatnya terjadi atau dibuat di Arab. Adapun tradisi-tradisi dalam al-Qur’an juga identik dengan bangsa Arab. Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an sebagai kebudayaan. Dalam pemahaman seperti ini, maka pesan atau makna dalam al-Qur’an oleh kelompok ini diposisikan sebagai fenomena kebahasaan, bukan fenomena kewahyuan. Yang dapat menunjukkan pesan-pesan yang terdapat dalam al-Qur’an, bukan para nabi, sahabat, namun dia yang melakukan pendekatan cultural studies atau socialis studies, dan tidak perlu berhubungan langsung dengan nabi dan para sahabat.
Menurut kelompok ini, dikarenakan al-Qur’an mengandung banyak kesan, makna, atau maksud, maka tidak hanya satu pendekatan yang digunakan untuk menemukan, akan tetapi memerlukan banyak pendekatan. Baik pendekatan berbasis Islam, sastra, balaghah, maupun pendekatan yang diluar basis Islam. Hal ini bertujuan untuk kebutuhan umat, maka dari itu muncullah beragam wacana tafsir. Terdapat tafsir falsafi, maudhu’i, tafsir maqāṣidi, taḥlīlī dan masih banyak lagi, tergantung pada pendekatan sang mufasir. Nantinya jika menemui ayat yang sama, namun dengan pendekatan mufasir yang berbeda, maka akan menemui makna yng berbeda pula.
Menurut mereka ukuran kebenaran sebuah penafsiran, bukan dari riwayat para sahabat lagi, tapi sejuah mana sang mufasir memilih teori yang tepat, dan menggunakannya secara tepat. Dari situ, akan muncul yang namanya kebenaran teoritis, yakni kebenaran yang bersifat epistimologi. Terdapat banyak taksir yang awalnya mengalami sakralisasi, kemudian mungkin berubah menjadi de-sakralisasi, sehingga menimbulkan penafsiran al-Qur’an yang tidak terlalu memberi nilai. Kedua paradigma tafsir diatas, keduanya sama-sama memiliki kebenaran, tetapi ukuran kebenarannya berbeda. Maka kedua paradigma tafsir ini, mengabaikan sang penafsir, sekaligus masyarakat sebagai penerima terhadap tafsir.

Antusias Peserta Seminar Nasional MUSTAQ KE- 4 (Sumber: Dokumentasi Panitia MUSYTAQ)
“Saya mengkritik nalar tafsir para feminis muslim. Feminis itu adalah ideolog. Maka, ketika dia menafsiri al-Qur’an digunakan menjustifikasi ideologinya. Saya sebagai penafsir, pemikir, jika ideologi tafsir tersebut, murni berupaya untuk mengganti pesan moral tuhan. Maka kelompk ini, lebih banyak ideologi, dari pada tafsirnya. Maka hal tersebut akan mengabaikan eksistensi penafsir dan masyarakat yang menerima tafsir.” Penjelasan Aksin Wijaya
Kemudian Aksin Wijaya menawarkan sebuah paradigma berbasis aksiologi yang nilainya berhubungan dengan fakta dan eksistensi masyarakat Indoensia. Tafsir yang berbasis aksiologi ini, tidak memungkinkan untuk berhubungan dengan kebenaran epstimolgi ataupun teologi. Paradigma tafsir aksiologi mencari wacana tafsir yang nilainya sesuai dengan eksistensi musafir dan melihat masyarakat Indonesia sebagai penerima wacana tafsir.
Yang mana paradigma tafsir romantis teologis, yang tafsirnya harus sesuai dengan wilayah nabi dan para sahabat. Sedangkan paradigma tafsir epistemologi yang mengunakan rasio dan bersifat teoritis. Menurut Aksin Wijaya, kedua paradigma ini mengabaikan musafir dan penerima wacana tafsir. Maka dari itu, ia mengusulkan adanya paradigma tafsir aksiologi yang berbasis nusantara, dan penulisannya anti akan AI, yang mana zaman modern ini terlalu bergantung pada AI.
Penulis: Mumtaza Nur Anisa
Editor: Khalimatu Nisa