Abdul Chalik
Guru Besar dan Dekan FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya
Tahta, Harta dan Wanita atau dikenal 3-Ta adalah adigium yang dikonotasikan pada laki-laki dalam meraih impian dalam hidup. Adigium tersebut bermakna peyoratif sebab laki-laki diidentifikasikan sebagai manusia yang selalu mengejar jabatan untuk menaikkan status sosial dan sekaligus sebagai pintu masuk mengumpulkan pundi-pundi uang. Meskipun dalam kenyataannya juga dapat terjadi pada perempuan. Banyak cara yang digunakan untuk mencapai puncak karir atau jabatan meskipun bertentangan dengan asas kepatutan dan bahkan norma hukum.
Sementara harta merupakan kemewahan materiil yang melekat pada seseorang sebagai akibat dari jabatannya. Rumah, kendaraan, barang branded hingga traveling merupakan bentuk dari kemewahan tersebut. Adalah hal lumrah atas kepemilikan barang-barang tersebut. Namun dipersepsikan negatif ketika tidak sebanding dengan masa kerja, gaji dan penghasilan. Juga tidak sebanding antara kekayaan dengan tanggungan bulanan untuk istri dan keluarganya yang nilainya cukup besar. Adapun wanita dimaknai dengan keberadaan orang ketiga dalam keluarga selain istri yang sah secara hukum. Bisa saja istri siri (istri simpanan), pacar atau teman yang memiliki kedekatan spesial.
Namun tiga fenomena di atas saat ini berkembang menjadi 3-Ta plus “gelar”. Tidak hanya tahta, harta, dan wanita yang dipersepsikan kegilaan kaum laki-laki tetapi juga pada gelar. Yang dimaksud dengan gelar adalah gelar akademik seperti Doktor (Dr) bahkan Profesor (Prof) yang menggambarkan tentang keahlian atau penguasaan disiplin ilmu tertentu. Gelar Doktor diperoleh setelah melalui jenjang pendidikan Doktor atau Strata Tiga (S3). Sementara gelar Profesor dapat diperoleh bagi mereka yang memiliki keahlian dengan hasil riset yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi.
Selain melalui jenjang pendidikan adapula gelar Doktor dan Profesor kehormatan tanpa melalui sekolah formal. Gelar tersebut dikenal dengan sebutan honoris causa. Nama H.C. melekat pada gelar misalnya Dr (H.C. ) atau Prof (H.C), yaitu gelar diberikan pada seseorang karena dianggap memiliki kontribusi luar biasa pada bidang tertentu. Gelar diberikan oleh perguruan tinggi yang sudah terakreditasi Unggul dengan syarat dan ketentuan yang sudah ditetapkan.
Gelar H.C. tidak banyak ditemukan pada akademisi yang aktif di kampus, baik itu dosen biasa atau pejabat kampus, apalagi pada kampus ternama. Namun gelar tersebut banyak diterima atau dipakai oleh masyarakat di luar kampus seperti politisi, pejabat, pengusaha, artis hingga tokoh masyarakat. Di Indonesia banyak pejabat yang memiliki posisi penting memiliki gelar kehormatan yang diperoleh dari dalam maupun luar negeri. Gelar tersebut dengan bangga dicantumkan dalam kartu nama, identitas di kantor bahkan sering disebut pada acara-acara resmi kenegaraan. Gelar menggambarkan keahlian, kapasitas, simbol sosial hingga reputasi.
Sementara yang menempuh jalur pendidikan formal untuk gelar Dr (Strata Tiga) minimal beban belajar ditempuh 42 SKS berdasarkan Permendikbud No. 3 tahun 2020. Namun bisa saja perguruan membuat aturan melebihi ketentuan tersebut tergantung pada kebijakan masing-masing. Teori ditempuh satu-dua semester, selebihnya penyusunan proposal dan penulisan Disertasi antara satu hingga tiga semester. Waktu ideal penyelesaian semua beban belajar minimal tiga tahun agar hingga mencapai standar kualifikasi delapan sebagaimana yang ditetapkan dalam standar nasional kualifikasi pendidikan untuk membedakan dengan jenjang Sarjana dan Magister.
Sementara untuk mencapai jenjang Profesor lebih rumit dan panjang. Selain memiliki rekam jejak yang jelas sebagai tenaga pengajar di kelas yang dibuktikan dengan kepangkatan akademik reguler mulai asisten ahli, lektor hingga lektor kepala. Dari lektor kepala baru bisa mengajukan jenjang profesor minimal masa kerja sepuluh tahun. Adapun angka kredit yang harus terpenuhi untuk mencapai gelar akademik tertinggi minimal 850 yang terdiri dari kegiatan pengajaran, pengabdian, kegiatan penunjang dan publikasi.
Ada syarat khusus yang harus dipenuhi yakni memiliki publikasi ilmiah yang diterbitkan pada jurnal internasional bereputasi baik Wos (Web of Science) maupun Scopus. Untuk syarat yang terakhir ini biasanya ditempuh dengan berdarah-darah karena melalui proses yang rumit dan panjang. Untuk menghasilkan karya ilmiah berkualitas umumnya melalui proses riset, penulisan hingga submit ke jurnal yang memerlukan waktu 2-3 tahun andai tulisan tersebut lolos dari evaluasi reviewer jurnal. Dari berbagai pengalaman hanya sedikit yang berhasil atau lolos hingga terbit meskipun sudah ikut pelatihan dan pendampingan penulisan. Bagi masyarakat kampus saja tidak mudah apalagi bagi praktisi yang sehari-hari bekerja di luar kampus. Syarat artikel jurnal bereputasi minimal memuat aspek novelties (kontribusi akademik), kebaruan hingga bahasa.
Bagi masyarakat kampus menempuh jenjang pendidikan doctor apalagi sampai pada tingkat professor melalui proses yang panjang dan melelahkan.Tidak sampai separuh warga kampus mencapai titik tersebut. Begitu pula penggunaan gelar merupakan kebanggaan, kehormatan dan rasa percaya diri di hadapan mahasiswa maupun publik atas keahlian yang dimiliki. Karena proses panjang dan rumit tersebut harus diakui ada sekelompok oknum yang mengambil jalan pintas dengan menabrak norma dan asas kepatutan yang berakibat pada hukuman dan pencabutan gelar. Tentu saja hal tersebut sangat disayangkan karena menciderai kehormatan kapakaran dan gelar yang semestinya dijunjung tinggi terutama bagi warga kampus.
Saat ini sudah ada fenomena baru. Jika sebelumnya hanya tahta, wanita dan harta yang selalu diindentikkan dengan ‘kegilaan’ kaum adam, maka tambah lagi dengan ‘gelar’ yang menjadi ajang perebutan. Setelah gelar, entah apalagi yang yang akan dikejar. Wallahu a’lam.