SALAH BOLEH, BOHONG JANGAN
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Perlahan meninggalkan Hotel Melia Purosani Yogyakarta. Letaknya di Tengah Kota Yogyakarta. Belakang Pasar Beringharjo yang ternama. Di siang hari yang cerah sinarnya. Senin, 29 Januari 2024, tanggal tepatnya. Saat itu, perjalananku berlanjut ke Sinduadi, nama daerahnya. Letaknya persis di ujung perbatasan Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Kira-kira perjalanan hanya membutuhkan waktu 15 menit lamanya. Tak jauh sebetulnya. Hanya, pengaturan lalu lintas yang padat di Yogyakarta membuat perjalanan harus berliku karenanya.
Mas Ribut, nama sahabatku itu. Dia selalu setia mendampingiku ke mana tugasku melaju. Dia yang mengarahkan kendaraan sesuai dengan jadwal tugasku. Hampir kemanapun tugas kuampu. Termasuk selama rangkaian tugasku yang panjang di Yogyakarta dan Semarang selama seminggu. Di Yogyakarta dalam rangka Konferensi Besar (Konbes) dan Perayaan Hari Lahir (Harlah) NU yang ke-101 dan di Semarang untuk Rapat Kerja Nasional Kemenag RI kala itu. Termasuk dari Hotel Melia Purosani Yogyakarta di atas ke daerah Sinduadi yang sebelumnya kusebut dalam paragraf di atas itu.
Melajulah kendaraan. Begitu sampai di ujung pertigaan pertama dari Hotel Melia Purosani itu, sahabatku itu mengarahkan kendaraan untuk berbelok ke kanan. Padahal seingatku, rute masih membutuhkan satu pertigaaan lagi untuk belok kanan. “Nggak salah jalan nih Mas?” tanyaku langsung ke Mas Ribut beberapa puluh meter usai berbelok kanan itu. “Mboten nopo-nopo. Nanti kalau salah, khan bisa bikin kita makin cepat hafal jalan😁.” Begitu sahut seketika Mas Ribut penuh canda. Pecahlah tawa di antara kami berdua. “Iya ya ya yaa.., betul Mas!” responku kontan ke Mas Ribut dengan penuh tawa riang.
Kuterpesona dengan pernyaatan Mas Ribut di atas. Bagiku, kalimat “Mboten nopo-nopo. Nanti kalau salah, khan bisa bikin kita makin cepat hafal jalan,” mengandung makna substantif mendalam. Lama kupercaya substansi kandungan pernyataan tersebut. Tapi, di awal tahun 2024 ini, pernyataan Mas Ribut itu mengingatkanku kembali kepada nilai dasar yang sudah kuhafal kuat sejak awal 1990an lalu. Kujadi teringat saat nyantri di pesantren kecil dulu. Di Kelurahan Pucang, Sidoarjo. Belakang Pendopo Kabupaten, persisnya. Pesantren kecil itu lebih dikenal dengan nama Langgar Pungkur. Diasuh oleh Mbah Dung. Nama akrab dari Kyai Abdurrahman yang sangat kami hormati dan taati itu.
Dulu saat harus belajar ilmu instrumental Bahasa Arab seperti sharaf, isytiqaq, dan i’lal, Mbah Dung tidak pernah menegur langsung saat kami-kami para santrinya melakukan kesalahan hafalan dan analisis etimologi Arab itu. Ingatanku juga lebih jauh melayang ke putera beliau, Ustadz Naser. Nama lengkapnya Ustadz Mohammad Naser. Saat belajar ilmu normatif kebahasaan level tinggi, seperti ‘ilm al-balaghah dengan berbagai varian cabang ilmunya, hingga kelas takhashsush (spesialis) pembelajaran Bahasa Arab, Ustadz Naser selalu menekankan jangan takut salah. Dan kalau menemukan muridnya melakukan kesalahan dalam proses belajar keilmuan itu, beliau tidak pernah secara kontan melakukan teguran langsung.
Mengapa Ustadz Naser tidak pernah langsung melakukan teguran saat murid-muridnya waktu itu melakukan kesalahan berbahasa? Seingatku, beliau memiliki dua prinsip penting. Pertama, tak langsung menegur itu dilakukan agar murid-muridnya tidak mengalami demotivasi. Sebab, mendadak ditegur bisa membuat murid-murid langsung syok. Tertekan. Dan, akhirnya mereka bisa saja cenderung menarik diri. Takut berkomunikasi dalam Bahasa Arab lagi. Khawatir salah dalam berekspresi kebahasaan Arab itu. Karena kalau salah, terkena teguran langsung. Sebab, proses demotivasi itu biasanya bercampur dengan perasaan malu. Maka, langsung menegur saat terjadi kesalahan tidak akan membantu siswa untuk menemukan semangatnya untuk berprestasi. Kalau sudah begitu, mereka juga merasa tidak perlu untuk mengambil inisiatif karena takut terkena teguran jika salah.
Kedua, seingatku, Ustadz Naser selalu menekankan bahwa kesalahan berbahasa bisa saja dikarenakan faktor sabqul lisan atau selip lidah. Bukan karena faktor kesengajaan. Atau bisa juga karena faktor ketidaktahuan. Faktornya memang tidak tunggal. Terdapat beberapa kemungkinan. Karena beragam kemungkinan itu, maka menegur langsung saat terjadi kesalahan berbahasa tak akan membantu siswa untuk berbenah maju. Alih-alih, akan muncul di kalangan mereka keresahan yang tidak perlu. Tapi hal itu bukan berarti lalu kesalahan dibiarkan begitu saja berlalu. Tentu tidak begitu. Tetap dilakukan perbaikan yang dianggap perlu. Sesuai dengan kebutuhan tertentu. Kala itu. Tapi perbaikannya dilakukan dengan cara yang tidak disadari (ghairu wa’iyah) oleh siswa. Agar tidak muncul proses demotivasi diri.
Lalu apa yang dilakukan Ustadz Naser dalam konteks perbaikan kesalahan berbahasa oleh murid-muridnya itu? Seingatku, dibiarkan saja dulu hingga kesalahan berbahasa itu menemukan pola yang teratur atau ajeg. Apakah kesalahan itu karena sabqul lisan (atau selip lidah) ataukah kesalahan sistematis. Kalau kesalahannya karena slip of tongue sebagai istilah lain dari sabqul lisan, maka solusinya adalah penguatan jam terbang. Siswa oleh Ustadz Naser diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengalami proses berbahasa (language exposure) secara memadai. Semakin tinggi pengalaman berbahasa, semakin terkikis peluang slip of tongue itu. Prinsip ini dijalankan secara kuat oleh Ustadz Naser dalam seluruh proses pembelajaran yang diselenggarakan.
Tapi jika kesalahan dimaksud sistematis dan bukan karena slip of tongue, maka perbaikannya pun juga diselenggarakan dengan cara sistematis pula. Bagaimana bentuknya? Ada proses remidi pembelajaran. Materi yang sudah diajarkan namun masih diikuti dengan kesalahan diajarkan ulang. Lalu siswa diberi kesempatan untuk terekspos lebih besar ke materi itu. Melalui praktik langsung dalam proses berbahasa. Semua itu disediakan untuk memperkuat language exposure siswa terhadap Bahasa Arab yang sedang dipelajari. Jadi, proses remidi pembelajaran dilakukan dengan memberikan ruang kesempatan seluas-luasnya siswa terhadap praktik berbahasa secara langsung dan memadai.
Kisahku bersama sahabatku Mas Ribut di awal 2024 dan bersama kyai-guruku beberapa puluh tahun yang silam di atas penting kuceritakan ulang. Sangat sayang kisah-kisah itu dibiarkan berlalu. Lalu hanya aku saja yang menikmati pelajaran hidup itu. Sebab, ada sejumlah pelajaran menarik yang harus kuulas. Dan kubagi tuntas. Ulasan dimaksud terasa penting bagi penunaian amanah jabatan. Dalam posisi dan jenis tugas apapun. Dalam pandanganku, penting kuulas kembali cerita itu, lebih-lebih untuk para penyelenggara layanan pendidikan tinggi. Untuk para pimpinan kampus. Termasuk diriku sendiri. Apa saja pelajaran-pelajaran itu?
Pertama, berilah kesempatan kepada semua anggota tim manajemen untuk mengalami proses penunaian tugas dan kewajiban jabatan secara maksimal. Jangan biarkan satu pun dari tim manajemen untuk tidak berkinerja. Sebab, tidak berkinerja itu di antaranya akibat dari tidak terlibatkannya dia dalam proses penunaian tugas jabatan secara optimal. Mekanisme ini dibutuhkan untuk menjamin prinsip sustainability atau keberlanjutan dalam manajemen kerja. Kalaulah ada yang kurang-kurang, itu hal yang bisa saja terjadi atasnya. Tapi, memberi kesempatan semua untuk berproses secara langsung dalam tugas dan kewajiban kerja akan membuat masing-masing belajar dari pengalamannya.
Sebuah institusi pasti membutuhkan rotasi, mutasi dan promosi jabatan. Dan semua itu membutuhkan sumber daya manusia yang siap ditempatkan untuk menjalankan tugas apa saja. Memang masing-masing pegawai memiliki tugas pokok dan fungsi. Memiliki keterampilan dan kecakapan tersendiri. Hanya, lembaga kerap butuh untuk melakukan rotasi, mutasi dan promosi. Untuk menjamin kesehatan organisasi dan percepatan prestasi. Dan untuk kepentingan itu, maka memiliki pegawai dengan pengalaman yang memadai adalah modal tersendiri. Karena itu, memberi kesempatan yang luas kepada masing-masing pegawai akan sangat membantu masing-masing mereka untuk tumbuh dalam kecakapan yang memadai. Dan itu bagus untuk penyelenggaraan pekerjaan yang dimiliki. Tentu melalui pengalaman langsung yang bisa dilalui.
Tinggal yang harus dilakukan, pemangku jabatan yang lebih tinggi melakukan pendampingan dan atau pembinaan kepada mereka yang berada di bawah struktur jabatan yang diemban. Semua instansi pasti memiliki struktur jabatan. Suka atau tidak suka, pasti ada struktur hierarki manajerial yang dibuat di dalamnya. Maka, kerja instansi akan efektif saat struktur jabatan itu berjalan sebagaimana hierarki dan fungsi jabatan masing-masing yang ada. Karena itu, merit system (sistem kerja berbasis prestasi dan kecakapan) menjadi keharusan bagi manajemen kinerja. Semakin kuat merit system, semakin besar peluang terciptanya kinerja. Begitu pula sebaliknya.
Maka, mereka yang berada dalam struktur superior-dominan (untuk tidak menyebut atasan) memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada mereka yang berada dalam struktur inferior-subordinat (untuk tidak menyebut bawahan). Mereka yang jabatannya lebih tinggi pasti memiliki tugas dan kewajiban yang lebih besar dibanding yang di bawahnya. Karena itu, sudah semestinya, pemangku jabatan yang lebih tinggi melakukan pendampingan kepada yang di bawahnya. Pemangku jabatan yang lebih tinggi sudah selayaknya memberikan pembimbingan dan pengarahan kepada yang di bawahnya. Itu semua adalah mekanisme normal jika merit system berjalan dengan begitu baiknya.
Karena itu, jangan ragu untuk memberikan pendampingan kepada struktur yang berada di bawahnya. Jangan biarkan mereka yang berada di bawah kepemimpinan Anda bergerak dan bekerja tanpa pendampingan. Agar mereka selalu bisa belajar dari senior-superiornya (untuk tidak menyebut atasannya) dalam jabatan. Bentuknya, berikan kesempatan yang luas kepada masing-masing dari mereka untuk mengalami proses kerja yang ada. Berikan kesempatan kepada siapa saja dari mereka untuk mengalami sendiri secara langsung setiap proses kerja yang direnda. Biar semua mereka bisa bergerak maju dalam kinerja prima. Jika itu sudah bisa berjalan, lembaga akan bisa memperkuat nilai manfaatnya.
Kedua, benar dan prima itu memang mulia, tapi jika sempat salah, jangan membuat diri terpuruk karenanya. Yakinlah ada mekanisme perbaikan. Syaratnya, kesalahan itu bukan karena faktor kesengajaan. Sebab, jika ada unsur kesengajaan, maka hal itu bisa berujung pelanggaran. Jika kesalahan karena unsur ketidaktahuan atau mungkin ketidakakuratan perhitungan, masih ada ruang untuk perbaikan. Melalui apa yang lebih dikenal dengan istilah continuous corrective action. Lakukan aksi perbaikan diri secara terus-menerus. Jadikan kesalahan sebagai pelajaran. Untuk lahirnya perbaikan yang dibutuhkan. Bagi pencapaian kinerja yang didambakan.
Syaratnya, jangan hanya berhenti hanya di rencana. Jangan hanya cukup di angan-angan semata. Maka, susunlah rencana yang baik untuk perbaikan diri. Caranya, ditulis dengan teliti. Dalam dokumen diri yang rapi. Lalu, lakukan langkah perbaikan diri itu terus-menerus tanpa henti. Jangan sekali, lalu berhenti. Apalagi tidak melangkah sama sekali. Terus-menerus melangkah ini penting untuk menjamin agar perbaikan diri membawa hasil yang berarti. Melalui aksi terukur yang dilakukan tanpa jeda yang menghalangi. Hingga hasil aksi itu menjadi menyatu dalam semangat diri. Kalau sudah begitu, lalu perbaikan diri pun akan bisa dijamin berkelanjutan secara berarti. Tanpa tersudahi. Dan akhirnya membawa hasil yang mumpuni.
Salah memang manusiawi. Jika hal itu terjadi bukan karena faktor kesengajaan diri. Bisa saja karena ketidaktahuan diri. Bisa pula karena kealpaan yang menjangkiti. Atau juga karena tidak teliti. Seperti sebelumnya kuberi atensi. Tapi, kalau kesalahan itu dilakukan karena kesengajaan, maka hal itu sudah menimbulkan anomali. Tentu itu sebuah ironi. Terutama bagi pemegang jabatan di birokrasi yang dibangun di atas keilmuan dan modal akademik sebagai kelengkapan diri. Karena adanya unsur kesengajaan sama artinya dengan dilakukannya hal itu dengan penuh kesadaran diri. Hingga kekuatan nurani pun tertutupi. Padahal kepemilikan keilmuan sama dengan keterpelajaran yang tinggi. Maka, kesengajaan hanya mencederai martabat diri.
Melangkahlah. Karena melangkah itu menyehatkan. Jangan sia-siakan setiap keutamaan. Jangan biarkan usia berlalu tanpa catatan kebaikan. Berdiam diri hanya akan membuat makna hidup terabaikan. Duduk dan diam hanya akan menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Umur dan kesempatan ini bisa berupa amanah jabatan. Gunakan amanah jabatan itu untuk menjemput kemuliaan. Jangan takut melangkah. Jangan takut salah untuk meraih kebajikan. Salah boleh. Bohong jangan. Sebab, bohong itu kesengajaan. Salah bisa karena ketidaktahuan. Atau bisa juga karena ketidaktelitian. Begitu tahu salah, segeralah berbenah. Jangan terjerembab dalam kubangan yang sama. Tentu saja, tidak salah adalah idaman. Dan, jujur adalah hulu dari segala kebajikan.