Column
[1] Muchammad Ismail, Dosen FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya.

Bulan suci Ramadan merupakan momen kontemplasi diri untuk mengevaluasi dan kembali secara totalitas ibadah kepada Tuhan, Sang Penguasa Alam Semesta. Bagi masyarakat Jawa, bulan puasa juga menjadi kesempatan untuk mendalami filosofi kehidupan, sebagaimana ungkapan K.G.P.AA Mangkunagoro IV Surakarta dalam Serat Wedhatama, Pupuh I, Gambuh Bait ke-1 mengatakan “Samengko ingsun tutur, Sembah catur supaya lumuntur, dhihin raga, cipta, jiwa, rasa, kaki; Ing kono lamun tinemu, Tandha nugrahaning Manon”. (Mangkunagoro IV, 1979: 80, 112) dalam pesan tersebut menekankan pentingnya mempertahankan nilai-nilai luhur dalam kehidupan dan ibadah melalui sembah raga, cipta, jiwa dan rasa. Dalam pandangan orang Jawa, Tuhan disebut Tan Kena Kinoya Nopo, yang berarti Tuhan tidak dapat digambarkan secara fisik, tetapi kehadiran-Nya dapat dirasakan melalui riyadhoh mahabbah (cinta kepada-Nya). Kehadiran-Nya melebur dalam setiap langkah, setiap gerak, setiap ucapan, dan setiap tatapan, menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan yang penuh makna.

Istilah riyadhoh dalam puasa, menurut Imam Al-Ghazali, sebagaimana oleh Imam Az-Zabidi dalam Syarah Kitab Ittihafus Sadah al-Muttaqin Jilid-IV(Az-Zabidi, 2012: 405-406), terdapat tiga tingkatan puasa yang menjadi jalan bagi manusia untuk mengenal Dzat Yang Maha Sejati. Puasa dalam tiga tingkatan ini berfungsi sebagai perisai dan tabir yang membuka pintu rahasia ketuhanan. Tiga tingkatan puasa: puasa umum (ash-shaāmu al-‘umūm), puasa khusus (ash-shaāmu al-khusūs), dan puasa paling khusus (ash-shaāmu al-khusūs al-khusūs). Dalam tradisi Islam, puasa memiliki tingkatan-tingkatan itu menggambarkan kedalaman spiritual seseorang dalam menjalankan ibadah.

Konsep tingkatan puasa ini memiliki keterkaitan erat dengan ajaran spiritual Jawa, khususnya dalam pemaknaan Ramadan sebagai agêming aji, sebuah sarana untuk mencapai kasampurnan urip (kesempurnaan hidup). Bagi orang Jawa, puasa agêming aji adalah laku batin untuk menemukan jati diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Tingkatan pertama, adalah puasa bagi kebanyakan orang (ashāaumu al-umūm, wahum amatun an-nas) tingkatan terendah, yaitu tingkatan puasa ini sekadar menahan lapar dan haus tanpa menyertakan pengendalian diri secara spiritual. Dalam perspektif Jawa, tingkatan ini mencerminkan tahap dasar dalam agêming aji, yang berfokus pada pengendalian angga jasad (tubuh fisik). Orang yang berada dalam tahap ini hanya menjalankan puasa sebagai kewajiban tanpa menyadari dimensi batiniah yang lebih dalam. Bagi orang Jawa, seseorang yang hanya berhenti pada tingkatan ini belum mencapai ketepakan batin (keselarasan batin). Meskipun secara lahir mereka berpuasa, batinnya masih terikat oleh hawa nafsu, seperti marah, bergunjing, atau mengeluh. Dalam filsafat Jawa, ini diibaratkan sebagai seseorang yang belum menemukan keseimbangan antara raga (tubuh) dan roh (jiwa).

Tingkatan kedua adalah puasa yang dijalankan oleh orang-orang khusus (ashāaumu al-khusūs, wahum khasatu an-nnas), seperti puasa ulama dan orang alim. Dalam tingkatan ini, seseorang tidak hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menjaga seluruh anggota tubuh (mata, telinga, mulut, hidung, tangan dan kaki) dari perbuatan yang dilarang oleh Allah. Dalam konsep Jawa, tingkatan ini sejalan dengan konsep angga sukma, tahap di mana seseorang mulai mengolah kesadaran batinnya. Puasa bukan lagi sekadar aktivitas fisik, tetapi juga laku spiritual untuk membersihkan sukma (jiwa) dari hal-hal yang mengotori kesadaran ilahiah. Orang Jawa menyebutnya sebagai proses ngrogoh sukmo (mengolah kesadaran diri) agar dapat mencapai manunggaling kawula Gusti, kesatuan antara manusia dan Tuhan dalam makna spiritual. Pada tahap ini, seseorang mulai memahami bahwa puasa adalah latihan untuk menundukkan ego dan menjernihkan hati. Ia menjaga setiap gerakannya, setiap ucapannya, dan setiap pikirannya agar tetap selaras dengan nilai-nilai ketuhanan. Dalam ajaran Sangkan Paraning Dumadi, tahap ini adalah fase di mana seseorang menyadari bahwa hidup adalah perjalanan kembali kepada Tuhan.

Tingkatan ketiga, puasa tingkatan tertinggi bagi orang-orang pilihan, dan paling khusus (ashāaumu khusūs al khusūs, wa hum khasatu al-khusūs). Dalam tingkatan puasa ini adalah puasa yang dilakukan oleh para nabi, orang-orang shiddiqin, dan muqarrabin, mereka yang telah mencapai kedekatan spiritual dengan Allah. Pada tingkatan ini, seseorang tidak hanya menahan diri secara fisik, tetapi juga menjaga hati dan pikirannya agar senantiasa dalam keadaan suci dan hanya terhubung dengan Allah. Dalam tradisi Jawa, ini sejalan dengan tahap angga jati, yaitu kesadaran tertinggi dalam spiritualitas. Orang yang mencapai tahap ini telah menyatu dengan nilai-nilai ketuhanan, hidupnya sepenuhnya dipenuhi dengan cinta dan dzikir kepada Tuhan. Dalam filosofi Jawa, ini disebut sebagai sampurnaning urip (kesempurnaan hidup), di mana seseorang telah mencapai suwung (kesadaran tanpa ego) dan menyatu dengan hakikat ketuhanan. Bagi orang Jawa, Ramadan sebagai agêming aji bukan hanya sebatas ritual tahunan, tetapi juga sarana untuk mencapai kebijaksanaan hidup. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Athaillah, “Amal adalah kerangka yang tegak, sementara ruhnya adalah adanya rahasia ikhlas di dalamnya (al-amalu shuwarun qaimatun, wa arwāhuhā wujūdu sirri al-ikhlāsi fīyhā) (Ibnu Athaillah, 2003: 43). Artinya, mengerjakan puasa sebagai perjalanan spiritual agêming aji yang mendalam, di mana setiap amal puasa harus dilandasi oleh keikhlasan yang tulus. Pada konteks ini, puasa agêming aji mengingatkan kita agar tidak kehilangan jati diri, nilai, dan spiritualitas. Puasa bukan sekadar mencapai tingkatan puasa umum, tetapi juga menjadi sarana untuk memperdalam kesadaran dan memperkuat hubungan dengan Tuhan melalui amal yang dilandasi keikhlasan dan ketulusan hati. Dengan demikian, puasa dapat membawa seseorang menuju tingkatan yang lebih tinggi, dari puasa khusus hingga mencapai derajat puasa paling khusus. Hikmah ini mengajarkan bahwa amal perbuatan puasa seseorang adalah seperti jasad yang tegak, namun ruh dari amal tersebut adalah ikhlas yang tersembunyi didalamnya. Amal yang dilakukan tanpa ikhlas bagaikan jasad tanpa ruh, tidak memiliki makna yang hakiki di sisi-Nya.

Karena itu refleksi puasa menjadi perisai ajine menungso ing pengeran Gusti, tuhan hadir dalam rasa, tuhan tidak terikat dimensi ruang dan waktu seperti manusia. Konsep puasa bagi orang Jawa menjadi pandangan hidup (Javaanese outlook) atau (Javaanees world view), dengan rasa berarti eling, ingat akan asal usulnya sendiri Yang Ilahi. Dalam rasa, orang Jawa mencapai kaweruh sangkan paraning dumadi, pengertian tentang asal usul dan tujuan segala makhluk.

Secara sosiologi, Masyarakat Jawa tradisional sangat memberikan tempat betapa pentingnya bagi rasa. Indra rasa ini sungguh-sungguh sangat dilibatkan dalam kepribadian Jawa, tidak kalah pentingnya dengan pikiran sehingga ia sangat berperan untuk melihat laku dan perilaku orang Jawa. Orang disebut dewasa terletak pada bagaimana ia mengendalikan dan menghadirkan rasa dalam berkomunikasi dengan orang lain, dalam mengungkapkan dirinya dengan Gusti Allah sebagai Rasa Sejati. Dari kata rasa berkembang menjadi tenggang rasa (tepo sliro), tenggang rasa diberi arti sebuah laku simpati dan bijaksana menghadapi makhluk di luar kita yang sedang menderita, sehingga kita bisa ikut merasakan dan membantu semampu kita. Siapa pun yang suka memberi, insyaallah dia mudah menjadi kaya, atau jangan sebaliknya suka meminta; karena dengan memberi akan membuka pikiran dan aura tubuh menjadi orang baik, mengeram kerakusan hubbud dunya, menetralkan tubuh dari energi nafsu negatif.

Dalam perspektif Sosiologi Agama, puasa dianggap sebagai ageming aji, yakni pakaian spiritual yang sangat berharga dan tak ternilai oleh materi uang. Kata ageming sendiri berarti pakaian, sedangkan kata aji berarti mulia atau raja, sehingga puasa bisa dipahami sebagai pakaian mulia kehidupan; fungsi pakaian bagi manusia yang memberikan perlindungan dan kenyamanan bagi jiwa. Bagi orang Jawa, berpakaian haruslah memberikan rasa nyaman. Jika pakaian yang dikenakan tidak sesuai, maka akan menimbulkan ketidaknyamanan seperti gerah, kedinginan, atau bahkan gatal. Analogi ini juga berlaku dalam beragama, ketika seseorang menjalankan keyakinannya tanpa pemahaman yang mendalam, maka jiwa pun akan merasa tidak nyaman. Oleh karena itu, pendalaman spiritual puasa menjadi keharusan agar seseorang dapat mencapai keseimbangan lahir dan batin.

Orang Jawa memiliki cara tersendiri dalam menjalankan laku spiritual puasa, yang mencerminkan kedalaman batin dan kesadaran terhadap sangkan paraning dumadi (asal-usul dan tujuan hidup). Setiap kewajiban memiliki nafilah (sunan) yang dapat mempertahankan keberadaan kewajiban tersebut serta menyempurnakan kekurangannya. Shalat lima waktu, memiliki shalat-shalat sunah, baik sebelum dan sesudahnya. Demikian zakat, yang memiliki sedekah sunah. Haji dan umrah merupakan hal yang wajib dikerjakan sekali seumur hidup, sedangkan selebihnya adalah sunah. Puasa pun demikian, puasa wajib dikerjakan pada bulan Ramadhan, sedang kan puasa sunah banyak sekali. Beberapa diantaranya bentuk puasa yang dikenal dalam tradisi masyarakat Jawa antara lain; ada puasa mutih (hanya makan nasi putih dan air putih untuk menekan hawa nafsu), puasa ngerowot (hanya makan buah-buahan dan tidak mengonsumsi makanan pokok), puasa pati genih (tidak makan, tidak minum, tidak tidur, dan tidak berbicara selama sehari semalam), puasa ngowot (hanya makan umbi-umbian, tanpa nasi atau lauk pauk), puasa weton (berpuasa pada hari kelahiran seseorang menurut penanggalan Jawa sebagai bentuk introspeksi diri), dan puasa pendem lemah (laku prihatin) yang memiliki makna mendalam. Secara harfiah, pendem berasal dari mendem berarti terbenam atau terkubur, sedangkan lemah berarti tanah. Jadi, puasa mendem lemah secara simbolis berarti menyatu dengan tanah atau mengosongkan diri dari nafsu duniawi untuk mencapai kesadaran spiritual pepuntoning laku, sembah jiwa – sembah rasa kepada Hyang Sukma (Allah), pada tingkatan ini sangat berisiko tinggi untuk keselamatan jiwa jika tidak didampingi oleh guru spiritual, dengan berbagai iringan tata cara upacara, hingga masuk pada ritual kearifan lokal (lokal widom) seperti ajaran para Wali (Sinuhun Bonang; Sinuhun Majagung, Sunan Gunungjati; Sunan Kalijaga, Seh Betong dan Kanjeng Maulana Maghribi) mengajarkan ngelmu kasampurnan di Pula Jawa (Tan Khoen Swie, 1932: 82, 97, 150). Ada sisi lain puasa Senin-Kamis (meniru kebiasaan puasa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, tetapi dengan pemaknaan khusus dalam budaya Jawa), dan puasa ndawut (berpuasa selang-seling, satu hari berpuasa dan satu hari tidak, dilakukan secara Istiqamah sebagai latihan konsistensi dan kedisiplinan spiritual). Penulis meminjam istilah Clifford Geertz mengatakan dengan meyakini, sebagaimana Max Weber, bahwa manusia adalah bagai hewan yang terjerat dalam jaring-jaring makna yang ia tenun sendiri (that man is an animal suspended in webs of significance he himself has spun), dia menganggap budaya sebagai jaring-jaring tersebut, dan analisisnya bukan sebagai ilmu eksperimental yang mencari hukum, melainkan sebagai ilmu interpretatif yang mencari makna (Beuving and Geert de Vries, 2015: 27).

Mengingat dalam pesan Serat Wedhatama pada Pupuh IV, Pangkur Bait ke-1 juga disebutkan sebagai mana berikut ini: Mingkar-mingkuri angkara; Ankarana karenan mardi siwi; Sinawung resmining kidung; Sinuba sinukarta; Mrih kretarta pakartining ngelmu luhung; Kang tumrap neng tanah Jawa;  Agama ageming Aji.Artinya, Meredam nafsu angkara dalam diri;Karena kecintaan orang tua pada anaknya;Digubah dalam syair-syair indah;Dihias penuh tata kerama yang baik;Agar menjiwai hakikat ilmu luhur;Untuk masyarakat tanah Jawa; Agama sebagai pakaian kehidupan.

Tulisan ini menjadi bahan refleksi diri dan memberikan manfaat dalam memahami nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat Jawa, terutama dalam menjalankan puasa sebagai sarana mencapai kesadaran spiritual ageming aji. Dengan puasa merupakan laku prihatin, atau riyadhoh pengendalian diri yang menjadi fondasi utama dalam membangun pribadi yang bijaksana. Dengan demikian, menjalankan agama bukan sekadar rutinitas ritual, tetapi lebih dari itu, ia adalah jalan menuju kesempurnaan hidup, keseimbangan antara lahir dan batin, serta harmoni dengan sesama dan alam semesta. Semoga kita senantiasa diberi kekuatan untuk mengamalkan nilai-nilai luhur puasa dalam kehidupan sehari-hari. Amin