Oleh: Dr. Wasid, SS,. M.Fil.I (Sekretaris Pusat Ma’had Al-Jami’ah UINSA)
Pertemanan -atau seduluran dalam istilah Jawa- adalah proses bergaul dengan orang lain, yang menandakan bahwa pelaku yang terlibat sebagai makhluk sosial. Karenanya, pertemanan bisa dikatakan sebagai bentuk pembuktian eksistensi manusia hidup di dunia.
Mengapa demikian, sebab tidak mungkin kita hidup tanpa bergaul dengan orang lain. Dan pergaulan yang mengesankan adalah pergaulan dengan orang yang kita kenal lama atau telah menjadi teman sebab adanya pertemuan yang intens; bisa teman kampus, teman se-kampung, teman se-pondok, teman se organisasi atau lebih luas lagi teman di dunia maya.
Pastinya interaksi sosial yang muncul dalam proses pertemanan harus diperhatikan agar tidak terjerumus. Mengingat, pergaulan yang sering dengan orang tertentu dipastikan akan memberikan dampak; baik dampak positif maupun negatif.
Karenanya, memilih teman anak secara selektif adalah tugas mulia orang tua yang tidak bisa diabaikan, jika anaknya benar-benar ingin baik dan berpengertian.
Dalam konteks ini, Habib Abdullah ibn Alawi al-Haddad dalam kitabnya: “Kitab al-Hikam” mengatakan -dalam rangka agar selektif memilih pertemanan- sebagai berikut:
مثل الأخوة فى الله مثل الشجرة تسقى بماء التزاور. وتثمر التعاون على البر والتقوى وإذا لم تسق الشجرة يبست. وإذا لم تثمر قطعت
“Perumpamaan pertemanan karena Allah laksana pohon yang disiram dengan saling berkunjung seperti air. Pertemanan yang membuahkan sikap saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa. Jika pohon tidak di siram, ia akan mati (dan akan dibuang). Begitu juga, pertemanan yang tidak berbuah – kebaikan lebih baik- dibuang.”
Ungkapan al-Haddad menunjukkan bahwa pertemanan memiliki potensi baik dan buruk. Maka, pertemanan hakiki adalah seduluran yang senantiasa memberikan kebaikan, yakni mampu melahirkan sikap saling tolong menolong dalam kebaikan. Bukan pertemanan yang menjerumuskan. Karenanya, hati-hati melihat orang yang akan dijadikan teman, jika tidak mau berakibat fatal.
Contoh yang cukup baik pertemanan hakiki adalah penjelasan Kiai Muhammad Ghazali, ketika menjelaskan perkataan al-Haddad di atas dengan mengangkat proses seduluran antara imam Syafi’i dan imam Ahmad ibn Hanbal sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Nafahat al-Imdadiyyah ‘ala al-Hikam al-Haddadiyyah, 144-145.
Kedua tokoh ini menarik. Di satu sisi ada hubungan guru dan murid. Di sisi yang berbeda kedua nya merajut pertemanan fi Allah; pertemanan yang dibalut dengan saling mengingatkan dan saling berkunjung. Bahkan, tidak jarang Imam Syafii menginap di rumah imam Ahmad dengan sikap layaknya bertamu. Pertemuan ini dimanfaatkan oleh keduanya untuk saling belajar dan menghormati, terkhusus sikap imam Ahmad selaku murid.
Pertemanan yang dilakukan keduanya menjadi teladan bagi kita semuanya. Betapapun pada akhirnya keduanya berbeda pendapat dalam soal berfikih dengan penganut madzhab yang berbeda-beda. Tapi sikap saling berbeda dan menghormati telah tumbuh mewarnai jejak hidup kedua tokoh ini. Karenanya, imam Syafii harus mencucurkan air mata dengan merangkul imam Ahamad, ketika harus berpisah dengan teman sejatinya sebab harus pergi ke Baghdad dengan mengatakan: saya tidak meninggalkan orang yang paling faqih, paling wara’, paling zuhud, paling mengetahui, dan paling takut (kepada Allah) seperti Ahmad ibn Hanbal.
Jadi, kunci pertemanan sejati adalah mampu menebarkan kebaikan. Baik sesama, atau anda mampu mengajak dan mengambil kebaikan. Misalnya, pertemanan Gus Dur -Allah Yarham- dengan kawan-kawan yang lintas agama, suku maupun ras, masih masuk pertemanan sejati sebab Gus Dur mampu meyakinkan kawan-kawan untuk saling menjaga harmoni dan perdamaian, sekalipun harus berbeda sesuai dengan prinsip luhur Islam itu disyariatkan (rahmatan lil ‘alamin).
Dengan makna yang lebih luas teman juga tidak harus manusia. Bisa jadi buku, mengingatkan nama penerbit Khalista Surabaya milik Kiai Ma’ruf Asrori, yang terinspirasi dengan ungkap Arab:
خير جليس فى الزمان كتاب
“Sebaik-baik teman duduk di zaman ini adalah kitab”
Maka sama dengan di atas, bacalah buku-buku yang bermanfaat, baik di dunia maupun di akhirat. Jangan membaca buku yang menjadi jalan anda radikal atau menjadi teroris, atau buku yang menjadi jalan anda makin jauh dari Allah, rasul-Nya atau pewaris Nabi dari para ulama atau kiai.
Akhirnya, marilah jaga diri, keluarga dan orang-orang terdekat kita agar tidak berteman dengan orang lain, yang berbahaya bagi kehidupan mereka, baik fisik atau pikiran. Pasalnya, radikalisme dan terorisme lahir tidak sedikit ditemukan karena pertemanan yang salah atau bacaan yang salah.
Semoga Allah senantiasa membimbing kita agar terus digerakkan untuk bergaul bersama siapapun, yang bisa menjadi sebab kita makin dekat dengan-Nya, sekaligus makin yakin bahwa menjaga harmoni dan perdamaian adalah tugas mulia dari-Nya yang harus dilakukan sepanjang nafas ini masih bergerak. Itulah pertemanan sejati. Amin….