Column

Setelah pesta demokrasi Pilpres dan Pileg 2024 terlewati, kini agenda demokrasi elektoral berlanjut ke Pemilukada (Pemilu Kepala Daerah) serentak. Di Indonesia terdapat 33 Gubernur, 415 Bupati, dan 93 Walikota. Salah satu kontestasi kepemimpinan yang menarik perhatian adalah Pemilukada di Jawa Timur karena dari ketiga Calon Cagubnya berasal dari kepemimpinan kaum perempuan.

Menjelang Pilkada pada 27 November 2024 di Jawa Timur, diperkirakan akan terjadi kompetisi ketat antara para calon pemimpin yang menjadi sorotan publik. Proses ini tidak hanya akan dinilai oleh masyarakat, tetapi juga menjadi momen refleksi bersama dalam menentukan pilihan politik. Diharapkan proses akan menghasilkan pemimpin yang mampu mewujudkan pembangunan yang maju dan berkelanjutan bagi warga Jawa Timur.

Secara historis, tongkat kepemimpinan Gubernur Jawa Timur telah dipimpin oleh beberapa tokoh di antaranya R.M.T.A. Surjo; Mordajani; R. Samdikun; R.T.A. Milono; Soewondo R; Moch. Wiyono; R.P.H. M. Noer; Soenandar Prijosudarmo; Wahono; Soelarso; H. Moch. Basofi Soedirman; H. Imam Utomo; H. Soekarwo (Biro Humas Protokol Setdaprov Jatim, 2010), hingga Hj. Khofifah Indra Parawansa; semua terpilih melalui proses demokrasi pemilu. Harapan kini tertuju pada pemimpin baru yang akan terpilih untuk periode 2024-2029, hasilnya akan diumumkan setelah keputusan Mahkamah Konstitusi kepada KPU pada 16 Desember 2024 melalui penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilukada, yang akan menetapkan calon kepala daerah dan wakil terpilih.

Pertarungan suara demokrasi di arena aspirasi politik masyarakat melalui sistem Pemilukada 2024 di Jawa Timur menghadirkan tiga pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur, yaitu Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Khakim, Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak, dan Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta. Masing-masing pasangan memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda. Model kepemimpinan yang baru nantinya juga dapat dipahami melalui ajaran Hastabrata, yang mengajarkan bahwa kepemimpinan yang baik mencerminkan nilai-nilai luhur.

Hastabarata berasal dari dua kata Hasta dan Barata. Hasta yaitu delapan, sedangkan Barata yaitu janji, pedoman dan perbuatan (Intan Angggun Pangestu, 2024). Istilah Hastabrata berasal dari kitab Hindu berbahasa Sansekerta, Manawa Dharma Sastra. Cerita yang melatar belakangi Hastabarata terdapat dalam cerita Ramayana Kekawin atau Ramayana Jawa Kuno. Dalam kitab tersebut, konsep Hastabrata menjelaskan bahwa pemimpin monarki berperilaku sesuai dengan karakter para dewa. Pada masa itu, Hastabrata menjadi tolok ukur utama dalam kepemimpinan. Dalam ajaran ini, seorang pemimpin tidak boleh kehilangan delapan watak utama yang menjadi pedoman filosofi dalam menjalankan tugas dan kekuasaannya. Hastabrata merupakan delapan janji kepemimpinan sejati yang dapat memberikan gambaran kebersatuan alam sebagai sebuah harmonisasi (Dharsono, 2016).

Dalam pendekatan sosiologi agama, saat Islam mulai menyebar di Pulau Jawa, nilai-nilai luhur yang diwakili oleh para dewa dalam konsep Hastabrata diselaraskan dengan ajaran Islam. Sebagai agama monoteis, Islam berupaya mereinterpretasi dan eksaminasi kembali konsep dewa-dewa dalam Hastabrata menjadi delapan unsur kosmos alam. Kearifan lokal Hastabrata ini tercatat dalam beberapa kitab kuno dan naskah, termasuk Pustakaraja Purwa (Ki Suryo Saputro, 1983), yang mendokumentasikan perubahan karakter dewa menjadi delapan unsur alam tersebut.

Pertama, watak matahari, yang memiliki energi besar dan memberikan sumber kehidupan. Artinya, setiap pemimpin harus dapat berfungsi laksana matahari, memberikan semangat, kehidupan (ing madya mbangun karsa), dan energi kepada bawahannya.

Kedua, watak bulan, yang indah dan menerangi dalam kegelapan. Artinya, pemimpin harus mampu menyenangkan dan memberi pencerahan kepada orang-orang di sekitarnya (sihsamastabuwana dwiyacitra), terutama dalam situasi sulit atau ketika kebingungan melanda.

Ketiga, watak bintang, yang indah dan menjadi hiasan malam, sekaligus kompas bagi mereka yang kehilangan arah. Artinya, pemimpin harus dapat menjadi tauladan dan pedoman bagi bawahannya (sasanti ing ngarsa sung tuladha), memberikan arahan yang jelas dan menjadi contoh yang baik dalam setiap tindakan.

Keempat, watak angin, yang mampu mengisi setiap ruang, bahkan di tempat yang sulit dijangkau. Artinya, pemimpin harus mampu bertindak cermat, teliti, dan mau turun langsung ke lapangan untuk memahami dan menyelami kehidupan bawahannya. Pesan filosofi ini pimpinan adalah badaling hyang widhi.

Kelima, watak mendung, yang menakutkan dan penuh wibawa, namun setelah menjadi hujan, membawa kehidupan. Artinya, pemimpin harus memiliki wibawa yang kuat, namun tindakannya harus bermanfaat dan membawa kebaikan bagi orang banyak (mamayu hayuning bawana).

Keenam, watak api, yang tegak dan dapat membakar apa saja yang bersentuhan dengannya. Artinya, pemimpin harus tegak, adil, dan memiliki prinsip yang jelas. Tindakan tegas dan berani, tanpa pandang bulu emban cinde emban siladan, menjadi cerminan sikap pemimpin yang berintegritas.

Ketujuh, watak samudra, yang luas, mendalam, dan rata. Artinya, pemimpin harus memiliki pandangan yang luas, mampu menerima berbagai persoalan, dan tidak membenci, menyakiti siapa pun, tidak memiliki sifat mbuntut arit, melainkan bersikap adil dan wicaksana terhadap semua orang.

Kedelapan, watak bumi, yang sentosa dan suci. Artinya, pemimpin harus memiliki budi yang luhur, jujur, dan mampu memberikan anugerah serta penghargaan kepada mereka yang berjasa pada negara dan bangsa. Pemimpin yang seperti bumi, memberikan kedamaian dan kesejahteraan kepada semua (sih smastabhuwana).

Ajaran Hastabrata dalam pesan di atas mengandung makna filosofi yang dalam mengenai kepemimpinan yang ideal. Ia mengajarkan bahwa seorang pemimpin sejati tidak hanya dilihat dari status atau jabatannya, tetapi dari kualitas kepemimpinannya yang merefleksikan nilai-nilai luhur. Seorang raja yang tidak menjalankan prinsip Hastabrata bisa dianggap tidak memiliki mahkota sejati, meskipun dia memerintah dengan kekuasaan formal. Sebaliknya, meski seorang rakyat jelata, jika menjalankan prinsip-prinsip kepemimpinan Hastabrata, maka dia dapat dianggap sebagai manusia yang bermakota — memiliki kualitas kepemimpinan yang luhur.

Dalam konteks Pemilukada di Jawa Timur nanti, ajaran Hastabrata bisa menjadi pedoman penting untuk menilai sejauh mana calon pemimpin dapat mengimplementasikan nilai-nilai kepemimpinan yang adil, bijaksana, dan berpihak pada rakyat. Tentu saja, dalam realitas politik, tantangan dan dinamika yang ada bisa sangat kompleks, namun nilai-nilai dalam Hastabrata tetap relevan sebagai tolok ukur untuk kepemimpinan yang bermartabat.

Kepemimpinan yang akan dijalankan oleh para calon Gubernur dan wakil Gubernur nantinya, seharusnya bisa mencerminkan ajaran Hastabrata. Misalnya, apakah mereka bisa menjadi pemimpin yang memiliki sifat-sifat seperti matahari, memberi semangat dan kehidupan, atau seperti bulan, yang menerangi dalam kegelapan. Kepemimpinan mereka juga harus bisa menjadi kompas moral, seperti bintang yang menjadi petunjuk arah, dan angin yang mampu menyentuh segala lapisan masyarakat, serta mampu bertindak tegas dan adil seperti api.

Jika mengacu pada cerita pewayangan, tokoh-tokoh seperti Sri Ramawijaya, Gunawan Wibisana, dan Arjuna bisa menjadi teladan bagi para calon pemimpin. Mereka adalah raja-raja yang memiliki kebijaksanaan, integritas, dan keberanian dalam memimpin, serta senantiasa mengutamakan kepentingan rakyat dan negara. Dalam pewayangan, mereka juga dikenal sebagai figur yang mampu menghadapi tantangan dan menjaga kesejahteraan rakyat dengan tetap menjunjung tinggi nilai moral.

Maka, dalam harapan kedepan Pemilukada di Jawa Timur nanti, para calon pemimpin terpilih seharusnya bisa mengimplikasikan ajaran Hastabrata dalam kepemimpinan mereka. Ini bukan hanya tentang berkuasa, tetapi tentang menjalankan kekuasaan dengan penuh tanggung jawab dan keberpihakan pada kebaikan dan kesejahteraan rakyat, sebagaimana yang diajarkan oleh ajaran luhur tersebut.

Demokrasi Pemilukada

Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani demos (rakyat) dan kratien (kekuasaan) (Rodney P. Carlisle, 2005) berarti “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.” Namun, pertanyaan yang penting adalah: untuk rakyat yang mana? Dan di mana sebenarnya letak kekuasaan itu? Dalam konteks ini, konsep ajaran filosofi Hastabrata diatas masih relevan dengan reformulasi Demokrasi Pemilukada, sebagaimana demokrasi seharusnya mengedepankan prinsip bahwa kekuasaan harus dijalankan dengan tujuan untuk melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhan, tanpa memihak kepada kelompok atau golongan tertentu.

Barometer bagi masyarakat yang menganut prinsip egalitarianisme dapat diukur dengan indeks penerapan otonomi daerah melalui nilai-nilai ajaran Hastabrata, yang telah mengubah paradigma dalam tata kelola pemerintahan, hubungan antara pusat dan daerah, serta visi pembangunan. Penerapan otonomi daerah membawa dampak perubahan pada tiga dimensi utama, yaitu politik, ekonomi, dan sosial budaya. Ketiga dimensi ini saling mempengaruhi dan akan berperan penting dalam menentukan arah Pemilukada di Jawa Timur ke depan.

Kontemplasi demokrasi Pemilukada jika dikaitkan dengan buku Decentralization: The Territorial Dimension of The State (1998), Brian C. Smith berpendapat bahwa tumbuhnya demokratisasi di tingkat daerah akan memperkuat demokrasi di tingkat nasional karena beberapa alasan. Pertama, demokrasi di tingkat daerah akan menjadi pendidikan politik bagi masyarakat mengenai cara menjalani kehidupan yang demokratis, seperti menggunakan hak politik, berpartisipasi dalam proses politik, dan bersikap kritis terhadap jalannya pemerintahan. Kedua, pemerintah daerah berfungsi sebagai pengontrol terhadap pemerintah pusat, sehingga dapat meminimalisir potensi terbentuknya pemerintahan pusat yang tidak demokratis. Daerah yang telah menerapkan prinsip demokrasi akan memperkecil peluang munculnya otoritarianisme di pemerintah pusat. Ketiga, karena cakupannya yang relatif lebih kecil, kualitas demokrasi di tingkat daerah seringkali lebih baik dibandingkan dengan di tingkat nasional. Keempat, secara faktual, penguatan demokrasi di tingkat lokal akan berdampak pada penguatan demokrasi di tingkat nasional.

Senada dengan Larry Diamond (1999), demokrasi di tingkat daerah memiliki pengaruh dan peran yang strategis terhadap demokrasi di tingkat pusat. Percepatan demokrasi di tingkat nasional dapat dilakukan melalui demokratisasi di tingkat daerah. Pertama, pemerintah daerah berperan penting dalam mengembangkan keterampilan demokrasi warganya, sehingga di tingkat nasional terjadi akumulasi peningkatan kualitas paradigma demokrasi warga negara. Kedua, pemerintah daerah turut meningkatkan akuntabilitas dan pertanggungjawaban politik, yang merupakan pilar utama demokrasi. Ketiga, dengan dibukanya akses di tingkat daerah, kelompok-kelompok yang sebelumnya tidak memiliki saluran demokrasi karena sentralisasi di pusat, kini dapat terlibat. Keempat, di tingkat daerah, proses check and balances dapat berjalan dengan lebih kuat, yang merupakan prasyarat utama demokratisasi. Kelima, terbukanya demokrasi di daerah memberi ruang bagi partai politik untuk beroposisi dengan lebih leluasa.

Sedangkan menurut Andriardi (2017), pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki dua dampak signifikan, yaitu perubahan pola relasi pusat-daerah dan semakin terbukanya ruang partisipasi politik bagi warga negara secara keseluruhan. Partisipasi politik menjadi lebih mudah dilakukan oleh masyarakat di daerah. Jika sebelumnya mereka mengandalkan aspirasi politik yang disampaikan melalui pemerintah pusat dan kemudian didelegasikan kepada pemerintah daerah, dengan sistem Pemilukada langsung, mereka kini memiliki kesempatan yang lebih besar untuk terlibat langsung dalam memilih perwakilan politik dan pemimpinnya.

Masyarakat dapat berpartisipasi secara langsung dengan memberikan suara dalam pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dengan demikian, warga Jawa Timur dapat menentukan pilihan politik mereka sendiri, yang pada gilirannya sangat mempengaruhi corak politik yang terbentuk. Oleh karena itu, penting untuk mengelaborasi ketiga konsep teori yang diusulkan oleh Brian C. Smith, Larry Diamond, dan Andriardi, serta bagaimana konsep-konsep tersebut dapat menjadi stimulasi untuk menerapkan nilai-nilai ajaran Hastabrata dalam menjalankan tugas pengabdian sebagai pemimpin kepala daerah.

Akhir kata, penyelenggaraan Pemilukada langsung memberikan masyarakat Jawa Timur kesempatan yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam politik. Partisipasi politik masyarakat kini lebih beragam dibandingkan dengan sistem politik sebelumnya. Hal ini dapat dilihat melalui perubahan dalam peraturan perundang-undangan, seperti UU No. 12 Tahun 2008, UU No. 22 Tahun 2014, UU No. 1 dan 8 Tahun 2015, serta UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Saat ini, masyarakat memiliki akses yang lebih luas untuk terlibat dalam menentukan pilihan politiknya melalui Pemilukada yang akan berlangsung pada 27 November 2024. Partisipasi demokrasi Pemilukada juga bisa menjadi momen refleksi kritis, dengan mengambil inspirasi dari ajaran filosofi Hastabrata dalam memilih pemimpin dan wakil pemimpin secara demokratis.


*Muchammad Ismail, adalah Dosen FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya.