Oleh: Prof. Dr. H. Moh. Ali Aziz, M.Ag.
Guru Besar UINSA Surabaya
فَذَكِّرْ إِن نَّفَعَتِ ٱلذِّكْرَىٰ سَيَذَّكَّرُ مَن يَخْشَىٰ وَيَتَجَنَّبُهَا ٱلْأَشْقَى
“Maka, berikanlah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat. Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran. Dan, orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya” (QS. Al A’la 87]: 9-11)
Pada ayat-ayat sebelumnya dijelaskan, Allah membacakan firman-firman-Nya kepada Nabi SAW, untuk selanjutnya Nabi menyampaikannya kepada semua manusia. Sebagai kelanjutan, tiga ayat ini menjelaskan macam-macam manusia dalam menerima nasihat yang bersumber dari firman Allah.
Ayat ini bisa diterjemahkan, “Maka, berikanlah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat.” Dengan terjemah ini, maka nasihat harus diberikan kepada semua orang, sebab nasihat amat mereka perlukan. Allah SWT berfirman, “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sungguh peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz Dzariyat [51]: 55).
Bisa juga diterjemahkan, “Maka, berikanlah peringatan, jika peringatan itu bermanfaat.” Dengan terjemah versi kedua ini, Allah memerintahkan memberi nasihat hanya kepada orang yang membutuhkannya. Jika, ia tampak enggan, bahkan bertambah keras perlawanannya, maka nasihat tak perlu diberikan. Sebab, hanya pemborosan tenaga dan waktu belaka. Menurut Abdullah Yusuf Ali, pesan dalam ayat ini lebih halus dibanding pesan yang sama dalam Bibel, “Cast not pearls before swines” Atau lebih lengkapnya, “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing, dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.” (Matius 7:6).
Berdasar tiga ayat di atas, ada dua macam manusia dalam menerima nasihat. Pertama, orang yang menerima nasihat dengan senang hati. Itulah tanda mukmin yang benar-benar takut kepada Allah. Semakin senang menerima kritik, yang sangat pedas sekalipun, maka semakin sempurna iman seseorang. Dialah mukmin yang menjadikan orang lain sebagai kaca hias bagi dirinya. Nabi SAW bersabda,
الْمُؤْمِنُ مِرَآةُ أَخِيْهِ، إِذَا رَأَى فِيْهِ عَيْباً أَصْلَحَهُ
“Seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya. Jika dia melihat suatu aib pada diri saudaranya, maka dia memperbaikinya.” (HR Bukhari dari Abu Hurairah, r.a).
Kedua, orang yang sinis, abai, bahkan menolak mentah-mentah nasihat. Orang inilah yang disebut Allah sebagai orang kafir atau munafik. Allah SWT berfirman,
وَإِذَا قِيلَ لَهُ ٱتَّقِ ٱللَّهَ أَخَذَتْهُ ٱلْعِزَّةُ بِٱلْإِثْمِ ۚ فَحَسْبُهُۥ جَهَنَّمُ ۚ وَلَبِئْسَ ٱلْمِهَادُ
“Dan jika dikatkan kepada kepadanya, ‘bertakwalah kepada Allah’, ia bangkit yang mengantarkannya berbuat dosa. Maka, cukuplah (balasannya) adalah neraka Jahannam, dan itulah tempat tinggal yang terburuk” (QS. Al Baqarah [2]: 206).
Menurut Ibnu Katsir, “Fajir, yaitu orang yang bergelimang dalam dosa akan enggan menerima nasihat untuk menghentikan dosanya, bahkan marah dan melawan, sebab hatinya sudah tertutup dan merasa senang dengan dosa-dosanya.” Abdullah bin Mas’ud r.a juga mengatakan,
إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الذَّنْبِ أَنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ لِأَخِيْهِ : اِتَّقِ اللهَ . فَيَقُوْلُ : عَلَيْكَ نَفْسَكَ ، أَنْتَ تَأْمُرُنِي ؟ رواه الطبراني
“Termasuk dosa besar adalah ketika seseorang menasihati saudaranya, “Takutlah kamu kepada Allah,” lalu ia menjawab, “Urus dirimu sendiri. Untuk apa engkau menyuruh saya?” (HR. At Thabrani).
Begitulah sifat orang munafik, kafir, atau fasiq, yang akan jatuh ke dalam bahaya besar. Ia sudah di tepi jurang, tapi orang yang berteriak mengingatkan justru dimusuhinya. Akhirnya, ia masuk ke jurang dan mati dengan kekecewaan. Sebaliknya, orang yang beriman selalu haus dengan nasihat. Nasihat yang paling pedas pun diterima dengan ikhlas, sebab itulah yang menyelamatkannya dari bencana besar. Nabi Yahya a.s bisa menjadi teladan dalam hal ini. Ia diutus sebagai utusan Allah semasa dengan saudara sepupunya, yaitu Isa a,s. Jika malam tiba, keduanya mencari tempat berteduh, dan setiap kali akan berpisah, Yahya a.s selalu meminta nasihat kepada Isa, a.s. Para sahabat Nabi SAW juga mengingatkan pentingnya saling menasihati setiap kali mengakhiri pertemuan dengan membaca Surat Wal ’Ashri.
Nasihat adalah intisari agama. Jika seseorang tidak senang dengan nasihat, maka ia kehilangan jati dirinya sebagai muslim. Nabi SAW bersabda,
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا : لِمَنْ ؟ قَالَ للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasihat” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-Nya (untuk ditaati semuanya), (dan nasihat) untuk semua pemimpin Islam, serta naishat bagi orang Islam secara keseluruhan.” (HR. Muslim dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Daari r.a).
Nabi SAW adalah contoh terbaik dalam menerima masukan. Dalam perang Khaibar, Nabi dan pasukan mengambil posisi di dekat benteng. Lalu, seorang sahabat memberi masukan agar mencari tempat yang agak jauh, agar tidak menjadi sasaran panah musuh. Nabi SAW menerima dengan senang hati masukan itu dan melaksanakannya.
Imam Al Ghazali mengatakan, “Nasihat itu mudah, tapi sulit bagi penerimanya. Nasihat terasa pahit jika diterima dengan nafsu.” Abdul Wahhab Al Sya’rani juga mengatakan, “Berterima kasihlah kepada orang yang mencacimu, sebab ia pelatih kesabaran, dan penguji sejauhmana kematanganmu sebagai orang beriman. ” Syekh Abd. Salam menambahkan,“Tanda tawadlu adalah senang dinasihati orang yang lebih muda dan lebih rendah, serta berguru kepadanya.”
Sumber: (1) Abdul Wahhab Al Sya’rani, Tanbih Al Mughtarrin, penyadur: W. Wikarta: Jalan-jalan Surga, Akhlak dan Ibadah Pembuka Pintu Surga, Penerbit Mizania, Bandung, 2017 cet. I (2) Afif Abdullah, Ma’al Anbiya’ Fil Qur’anil Karim (Nabi-Nabi Dalam Al Qur’an), Toha Putra, Semarang, 1983. p.1-25, (3) As Shabuni, Muhammad Ali, An Nubuwwah Wal Anbiya’ (Kisah-Kisah Nabi) terj. Mushlich Shabir, CV Cahaya Indah Semarang, 1994, p.283-315, (4) Al Hilaly, Muhammad Taqi-ud-Din (Berlin), The Noble Qur’an, Darussalam, Riyadh, Saudi Arabia, tt. P. 1197 (5) Qureish Shihab, M, Tafsir Al Misbah, Vol. 15, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2012, p. 247-252, (6) Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an, Dar Al Arabia, Beirut, Lebanon, tt, p. 1724