Jagat Psikologi Pendidikan pernah gempar dengan hasil penelitian yang dilakukan Cambridge-Somerville Youth Study (CSYS) terhadap 650 anak laki-laki nakal parah: melakukan lebih dari satu kejahatan, alkoholisme, Narkoba, sakit mental akibat stres akut yang kemudian meninggal di usia muda (sebelum 35).
Jenis penelitian yang dipilih adalah Eksperimental Longitudinal, membandingkan perubahan subjek penelitian setelah periode waktu yang panjang dan memakan waktu yang lama. Salah satu tokoh penggagasnya adalah Gordon Allport, penemu Achievement Motivation Training.
Selain Allport, beberapa generasi Peneliti setelahnya dari dua kampus terbaik di Amerika, Harvard University dan MIT (Massachusetts Institute of Technology) juga terlibat. Maklum, lama penelitiannya lebih dari 30 tahun (dimulai 1930).
Dari 650 anak laki-laki yang diteliti itu (kemudian dikurangi menjadi 506) usianya berkisar 5 sampai 13 tahun yang hidup di lingkungan paling miskin dan penuh kriminalitas.
Para peneliti membagi mereka ke dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama (intervensi) didampingi mentor, konselor, dan pembimbing agama untuk merubah “attitude” dan masa depannya. Mereka datang rutin tiap pekan. Sementara kelompok kedua sebagai kelompok kontrol yang tidak menerima layanan khusus apapun dari tim peneliti.
Hasilnya, anak-anak di kelompok pertama maupun kedua relatif tidak mengalami perubahan signifikan. Bahkan, setelah 30 tahun berlalu, nyaris masa depan mereka (kelompok intervensi dan kontrol) sama-sama suram.
Setelah dievaluasi, ternyata kesalahan besarnya ada pada proses mentoring dan konseling pada kelompok intervensi, dimana para mentor/konselor/pembimbing agama yang mendampingi hanya fokus pada bagaimana memperbaiki kesalahan yang dilakukan anak.
Mirip seperti kebanyakan kita, yang cenderung bereaksi ketika anak (atau bawahan) berbuat salah. Bahkan kita lebih suka memperbesar kesalahannya. Sementara kalau mereka berbuat baik, orang tua (termasuk atasan) tidak mempedulikannya.
Lihat saja, kapan orang tua atau atasan memanggil anak atau bawahan? Ketika berbuat baik atau setelah berbuat kesalahan? Juga banyak di antara kita memperhatikan anak (termasuk bawahan) ketika mereka bermasalah saja, sehingga mereka semakin berulah, mencari perhatian kita.
Kalau demikian, apakah kita abaikan usaha memperbaiki kesalahan mereka? Tentu saja tidak. Kita tetap fokus pada kebaikan-kebaikannya, sambil terus berusaha memperbaiki kesalahannya.
Kesimpulan dan saran dari penelitian eksperimen ini menyebutkan bahwa untuk merubah anak-anak bermasalah adalah dengan membantu mereka merumuskan mimpi besar (have goals), mengajak mereka memiliki figur teladan (have role models), mengajaknya fokus pada kekuatan (focus on strength), dan menanamkan pola pikir berkembang (growth mindset).
Growth mindset menjadikan mereka manusia optimis. Misalnya, mereka diberi tugas, dan hasilnya sangat bagus. Kemudian mereka diberi apresiasi dengan menanamkan growth mindset, seperti: “Nilaimu bagus, kamu pasti sudah belajar sangat rajin”.
Maka ketika ditawari tes berikutnya, mereka akan memilih test (soal) yang lebih sulit, karena anak yang growth mindset lebih menikmati proses belajar dan tesnya, sehingga capaian nilainya akan lebih tinggi lagi.
Efek dari pujian yang menanamkan “growth mindset” adalah anak-anak merasa bahwa dia bisa terus berjuang untuk menjadi manusia lebih baik dan berprestasi lebih tinggi. Selain itu, anak merasa orang tuanya tidak menghakimi, tetapi mendukungnya di sepanjang perjalanan hidupnya untuk menjadi individu yang lebih baik.
Growth Mindset memfokuskan pujian pada usaha dan perjuangan anak atau prosesnya, bukan pada sifatnya, seperti cerdas, cantik, dan lain-lain, atau kondisi lain di luar usahanya (kecuali pertolongan Tuhan).
Berbeda dengan Fixed Mindset yang menonjolkan apresiasi pada sifat, seperti: “Kamu bagus sekali nilainya, kamu pasti anak pintar”. Kemudian mereka enggan memilih soal selanjutnya yang lebih sulit, karena mereka merasa sudah pintar, merasa tidak perlu belajar lagi, dan lebih nervous dengan nilai tes.
Sekarang, bagaimana kalau bersama kita coba lagi menanamkan growth mindset kepada semua civitas akademika dengan sepenuh cinta?