Pengkajian al-Qur’an dan tafsir yang mulanya cenderung berorientasi pada paradigma teks sebagai objek materi, secara perlahan mulai berkembang ke ranah pembacaan implementatif atas resepsi serta respon individu ataupun kelompok terhadap al-Qur’an yang kemudian membangun konstruksi sosial-kultural di tengah masyarakat. Secara real ini dapat ditemukan pada kajian living Qur’an.
Sebagai terma konseptual, living Qur’an merupakan istilah yang dipopulerkan oleh pegiat kajian al-Qur’an dan tafsir di Indonesia. Kajian living Qur’an menyasar pada fenomena di mana al-Qur’an dapat “hidup” di tengah masyarakat. Hal ini tentu menarik ketika dikaitkan dengan realitas, bahwa Muslim di Indonesia merupakan umat Islam yang plural dan cenderung eksklusif untuk mempertahankan tradisi dari nenek moyangnya, sehingga akan muncul banyak bentuk sinkretisasi antara ajaran agama dengan tradisi yang ada.
Living Qur’an: Latar Singkat Kemunculan dan Lingkup Kajian
Hamam Faizin –salah seorang pegiat awal kajian living Qur’an– dalam makalahnya yang dipresentasikan pada salah satu konferensi ilmiah tahun 2012 dengan judul al-Qur’an Sebagai Fenomena yang Hidup menuliskan bahwa mulanya istilah “living Qur’an” merupakan tema diskusi yang diselenggarakan oleh FKMTHI pada tahun 2005. Oleh Faizin, hasil diskusi ini dilontarkan ke publik melalui tulisannya yang dimuat pada Harian Jawa Pos di tahun yang sama. Tulisan tersebut ternyata mendapat respon baik dari beberapa sarjana, salah satunya oleh Islah Gusmian.
Klimaksnya, setahun berselang, yaitu tahun 2006, dimotori oleh dosen-dosen Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga, diselenggarakanlah workshop dengan tema Metodologi Living Qur’an dan Hadis pada tanggal 8-9 Agustus, hasil diskusi ini lantas dibukukan dan melahirkan karya berjudul Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis. Pada titik ini, secara epistemik living Qur’an sebagai sebuah metodologi telah dibangun dan mulai diimplementasikan.
Ruang lingkup kajian living Qur’an ada empat, ini sebagaimana yang ditawarkan oleh Gusmian: pertama, al-Qur’an yang menjadi bacaan (aspek oral), baik yang telah menjadi aktivitas rutin komunal seperti khataman, aktivitas individual seperti zikir, hingga untuk pengobatan; kedua, al-Qur’an yang menjadi objek untuk didengar (aspek aural), seperti mendengarkan muratal secara rutin untuk menenangkan hati; ketiga, al-Qur’an yang menjadi bahan tulisan, seperti untuk kaligrafi, jimat, hingga rajah; dan keempat, al-Qur’an yang teraktualisasi dalam bentuk tindakan.
Kritik dan Ragam Orientasi Kajian Living Qur’an
Sebagai sebuah model baru dalam pengkajian al-Qur’an dan tafsir, living Qur’an berkembang bukan berarti tanpa kritik. Ada beberapa kajian yang kemudian mengkritisi ruang lingkup dan juga penerapan kajian ini dalam masyarakat. Seperti telah disebut, bahwa ruang lingkup kajian living Qur’an ada empat, tetapi tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait batas-batas masa, atau zaman, hingga di mana saja kajian ini dapat diterapkan. Selama ini narasi yang muncul seakan bahwa kajian living Qur’an hanya dapat diterapkan pada fenomena keagamaan yang terjadi hari ini, atau di era kontemporer. Padahal ketika starting point dari kajian living Qur’an terletak pada fenomena di mana al-Qur’an dapat “hidup” di tengah masyarakat, maka ini juga bisa berlaku pada konteks masa, atau zaman yang telah berlalu. Hal inilah yang kemudian dibuktikan Ade ‘Amiroh dalam tesisnya yang terbit tahun 2022 di UIN Sunan Ampel dengan judul Living Qur’an Pada Masa Sahabat.
‘Amiroh berargumen bahwa interaksi sosial-kultural yang terjadi antara umat Islam dengan al-Qur’an itu telah terjadi sejak masa sahabat, dan ini dapat ditelusuri melalui riwayat yang menyatakan bahwa sahabat ketika itu telah menjadikan ayat-ayat al-Qur’an sebagai obat, murajaah (oral), hingga istima (aural). Berangkat dari hasil penelitian ‘Amiroh ini, maka dapat disimpulkan bahwa kajian living Qur’an itu tidak dapat dibatasi dengan masa kekinian saja, tetapi kajian ini juga dapat dilakukan pada masa kapan pun, asal ditemukan indikasi adanya fenomena interaksi sosial-kultural antara umat Islam dengan al-Qur’an.
Ahmad Rofiq juga mengamini dua orientasi kajian living Qur’an di atas. Pada salah satu seminar yang diadakan Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Ampel bertajuk Penguatan Riset Living Qur’an: Teori dan Praktik, ia menyebutkan bahwa secara tipologis, kajian living Qur’an memang dapat dibagi ke dalam dua arah, yaitu kajian berorientasi sejarah yang berbasis pada dokumen dengan metode analisis isi, dan kajian berorientasi aktual yang berbasis pada observasi dengan metode sosiologi-antropologi. Lebih lanjut, ia juga membedakan bahwa kajian living Qur’an secara hierarkis ada tiga sifat: pertama bersifat naratif, yaitu dengan hanya menjelaskan praktik Qur’ani yang terjadi; kedua bersifat fenomenologis, yaitu bukan hanya menjelaskan praktik Qur’ani yang terjadi, tetapi juga menggali makna dalam praktik tersebut; dan ketiga bersifat kritis, dari makna yang diperoleh dalam sebuah praktik Qur’ani, kemudian akan digali rantai serta transmisi pengetahuan hingga masa awal Islam.
Adapun kritik kedua terhadap kajian living Qur’an sebagai sebuah model penelitian baru, dilontarkan oleh Amylia Karunia dalam tesisnya yang terbit tahun 2018 di UIN Sunan Ampel dengan judul Telaah Kritis-Metodologis Terhadap Konsep dan Praktek Living Qur‘an di Masyarakat. Kurnia berargumen bahwa kajian living Qur’an itu bukan hanya berbicara tentang resepsi dan respon masyarakat terhadap al-Qur’an, tetapi juga berbicara tentang cara untuk membumikan al-Qur’an, maka ia memberikan alternatif bahwa seharusnya kajian living Qur’an juga harus bersifat partisipatif dengan menggunakan dakwah bi al-Jam‘iyyah.
Reorientasi Kajian Living Qur’an Menuju Peradaban Qur’ani
Penulis sepakat dengan dua hasil penelitian ‘Amiroh dan Karunia. Menurut penulis, ini justru akan berdampak positif bagi pengembangan kajian al-Qur’an dan tafsir, terdapat dua alasan. Alasan pertama, hasil penelitian ‘Amiroh ketika dikaitkan dengan kritik-historis, maka bukan hanya dapat mengungkap praktik living Qur’an yang terjadi, tetapi juga dapat mengungkap fakta-fakta historis atas sebuah praktik keagamaan masa lampau, yang jika dikaitkan dengan masa kini, ini akan dapat mempengaruhi atas bangunan kegamaan (religous thingking) yang telah ada, dalam arti, yang baik dilanjutkan dan yang buruk diambil sebagai pelajaran.
Adapun alasan kedua, penelitian Karunia secara tersirat hendak memberikan saran, bahwa kajian living Qur’an hari ini terbatas menggunakan paradigma penelitian kontruktivis atau interpretif, maka yang didapatkan hanya berupa pembacaan atas fenomena saja, sedang yang ia usulkan yaitu ingin merubah paradigma penelitian kontruktivis tersebut menjadi paradigma penelitian kritikal. Sehingga yang didapat bukan hanya pembacaan fenomena, tetapi bentuk perubahan sosial-keagamaan (socio-religious changes) yang lebih baik. Maka ketika religous thingking dan socio-religious changes dapat dicapai pada penelitian living Qur’an, penulis berasumsi ini akan berimplikasi pada terbentuknya bangunan peradaban Qur’ani di masa depan. Wallahu a‘lam
Daftar Bacaan:
‘Amiroh, Ade. “Telaah Kritis-Metodologis Terhadap Konsep dan Praktek Living Qur‘an di Masyarakat.” Tesis, UIN Sunan Ampel, 2018.
FUF UINSA. “PKM Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel”. https://www.youtube.com/watch?v=CjtNZgTVIX4
Hamam Faizin. “al-Qur’an Sebagai Fenomena yang Hidup (Kajian atas Pemikiran Para Sarjana al-Qur’an),” Dokumen Konferensi, UIN Sunan Kalijaga, 2012.
Karunia, Amylia. “Living Qur’an Pada Masa Sahabat (Analisis Teori Fungsi Informatif-Performatif).” Tesis, UIN Sunan Ampel, 2022.
Oleh: Dr. Imroatul Azizah, M.Ag (Sekprodi Doktor Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir)