Dr. Slamet Muliono Redjosari
Manusia seringkali lupa diri terhadap karunia Allah. Hal ini melahirkan sikap dan perilaku yang menjauhkan dari mengingat kebesaran-Nya. Karunia Allah yang dirasakan manusia jelas-jelas diakuinya berasal dari Allah. Namun ketika diperintah untuk mengagungkan Allah, justru hattinya mengingkari. Dengan kata lain, hatinya mengakui bahwa Allah sebagai pencipta segala sesuatu dan dirinya merasakan manfaatnya. Tetapi ketika diperintah menyembah hanya kepada-Nya, justru mempertuhankan dan mengagungkan sekutu-seekutu selain Allah. Perbuatan inilah yang disebut mempersekutukan Allah dengan yang lain, sehingga menggugurkan seluruh amalan.
Keagungan Allah
Tak satu pun manusia mengelak kebesaran dan keagungan Allah. Allah benar-benar menciptakan fasilitas hidup bagi manusia secara paripurna. Langit dan bumi diciptakan untuk kepentingan manusia. Bumi dan seisinya juga diperuntukkan untuk keberlangsungan hidup manusia. Bumi yang kita jadikan tempat tinggal dan dilengkapi berbagai fasilitas untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Bahkan untuk mengokohkan bumi, Allah menciptakan gunung. Dengan adanya gunung, maka bumi benar-benar kuat sekaligus menjadi berkah bagi manusia. Dari perut bumi, Allah mengeluarkan makanan yang menjadi sumber kehidupan. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
وَجَعَلَ فِيهَا رَوَٰسِيَ مِن فَوۡقِهَا وَبَٰرَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَآ أَقۡوَٰتَهَا فِيٓ أَرۡبَعَةِ أَيَّامٖ سَوَآءٗ لِّلسَّآئِلِينَ
Artinya:
Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat hari. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. (QS. Fuşşilat :10)
Nikmat Allah yang demikian besar, tidak serta membuat manusia mengagungkan-Nya. Tetapi justru memepersekutukan-Nya. Hal ini ditunjukkan dengan pengagungan manausia terhadap berhala. Manusia seperti hilang memorinya untuk mengetahui kepedulian Allah atas dirinya. Makanan, minuman, buah-buahan yang dirasakan seolah-olah tidak datang dari Allah, sehingga manusia justru mengagungkan bumi dan gunung. Padahal keduanya ciptaan Allah untuk kepentingan manusia. Oleh karenanya, Al-Qur’an menamakannya sebagai manusia yang kufur. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :
قُلۡ أَئِنَّكُمۡ لَتَكۡفُرُونَ بِٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡأَرۡضَ فِي يَوۡمَيۡنِ وَتَجۡعَلُونَ لَهُۥٓ أَندَادٗا ۚ ذَٰلِكَ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
Artinya:
Katakanlah, “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua hari dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itu adalah Tuhan semesta alam”. (QS. Fuşşilat : 9)
Allah pun mencatat seluruh amal perbuatan manusia karena tiadaa sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya. Manusia diberikan fasilitas telinga, mata hingga kulit tidak lepas dari pengawasan Allah. Allah mengetahui semuanya dan mencatatnya dengan detail. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
وَمَا كُنتُمۡ تَسۡتَتِرُونَ أَن يَشۡهَدَ عَلَيۡكُمۡ سَمۡعُكُمۡ وَلَآ أَبۡصَٰرُكُمۡ وَلَا جُلُودُكُمۡ وَلَٰكِن ظَنَنتُمۡ أَنَّ ٱللَّهَ لَا يَعۡلَمُ كَثِيرٗا مِّمَّا تَعۡمَلُونَ
Artinya:
Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu kepadamu, bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. (QS. Fuşşilat : 22)
Hari pertanggungjawaban
Kelalaian manusia atas terjadinya hari pertanggungjawaban benar-benar membuatnya bebas melakukan berbagai kemaksiatan. Kenikmatan yang dirasakan manusia dilupakannya. Manusia mengira bahwa apa yang diperbuatnya biasa disembunyikan. Padahal Allah berkuasa untuk membuka tabir dosa dan kemaksiatan ketika di dunia.
Manusia mengira bahwa dirinya bisa lolos dari pertanggungjawaban. Namun Allah mampu membuat hal yang mustahil menjadi kenyataan. Allah menggambarkan kulit yang tidak bisa berbuat apa-apa. Namun nanti dengan kekuasaan Allah bisa berbiacara dan menjadi saksi atas perbuatan telinga, mata dan kakinya. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :
وَقَالُواْ لِجُلُودِهِمۡ لِمَ شَهِدتُّمۡ عَلَيۡنَا ۖ قَالُوٓاْ أَنطَقَنَا ٱللَّهُ ٱلَّذِيٓ أَنطَقَ كُلَّ شَيۡءٖ ۚ وَهُوَ خَلَقَكُمۡ أَوَّلَ مَرَّةٖ وَإِلَيۡهِ تُرۡجَعُونَ
Artinya:
Dan mereka berkata kepada kulit mereka, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab, “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali pertama dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”. (QS. Fuşşilat : 21)
Manusia tidak mengira bahwa apa yang dianggap barang mati dan tak bisa berbicara akan mendiamkan apa yang diperbuatnya. Namun kekuasaan Allah berbicara lain. Kulit yang seperti benda mati dan tak bernyawa, justru bisa menjadi saksi seluruh perbuatan yang dilakukan oleh seluruh organ manusia. Dengan kata lain, tidak ada yang tersebumyi bagi Allah. seluruh tabir yang tersembunyi dibuka lebar sekaligus sebagai bukti kekuasaan-Nya.
Pada hari pembalasan, Allah juga tunjukkan adanya dua golongan, yang satu akan dimuliakan, sementara yang lain dihinakan. Golongan yang mengagungkan Allah ketika dibacakan ayat-ayat-Nya akan diposisikan ke tempat yang mulia, sementara golongan yang ingkar dan menentang ayat-ayat-Nya akan dilemparkan ke tempat yang menghinakannya. Allah ingin membandingkan bahwa manusia yang ingkar dipastikan lebih buruk tempat balasannya daripada orang-orang yang menerima kenyamanan di hari kiamat. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
إِنَّ ٱلَّذِينَ يُلۡحِدُونَ فِيٓ ءَايَٰتِنَا لَا يَخۡفَوۡنَ عَلَيۡنَآ ۗ أَفَمَن يُلۡقَىٰ فِي ٱلنَّارِ خَيۡرٌ أَم مَّن يَأۡتِيٓ ءَامِنٗا يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ ۚ ٱعۡمَلُواْ مَا شِئۡتُمۡ إِنَّهُۥ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari Kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Fuşşilat : 40)
Disinilah pentingnya menyadari karunia Allah dan menggunakannya untuk kebaikan. Menggunakan kebaikan itu sebagai bentuk bersyukur kepada-Nya. Kebaikan tertinggi adalah mengagungkan Allah dan menyembah hanya kepada-Nya. Bukan sebaliknya, menerima kebaikan dari Allah tetapi ketika diperintah untuk mengagungkan-Nya, justru berpaling mengagungkan berhala dan para sekutu.
Surabaya, 24 April 2025