لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا ࣖ
“Hendaklah orang yang lapang (rizkinya) memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rizkinya, hendaklah memberi nafkah dari apa (harta) yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang, melainkan (sesuai) dengan apa yang Allah berikan kepadanya. Allah akan memberi kelapangan setelah kesempitan.” (QS. At Thalaq [65]: 7)
Tulisan ini saya persembahkan untuk siapa pun yang berdarah-darah mencari nafkah keluarga. Bergembiralah, Allah menyiapkan surga untuknya. Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah menjelaskan kewajiban ayah kepada anak, atau suami kepada istri, termasuk yang baru saja ditalak. Sebagai kelanjutan, ayat ini menjelaskan, pelaksanaan kewajiban itu harus sesuai dengan kemampuan suami. Suami tidak boleh memaksakan diri memberi nafkah di luar kemampuan, apalagi dengan cara-cara yang haram. Istri juga dilarang menuntut nafkah yang memberatkan suami. Jadi, antara suami dan istri harus sama-sama bertulus hati dalam memenuhi kebutuhan keluarga.
Pada ujung ayat ini, Allah juga menyemangati optimisme suami, bahwa ada saatnya kelak, kesulitan apa pun akan berlalu, bahkan mendapat rizki yang berlebih setelah melintasi sejumlah tantangan. Jika kesulitan ekonomi itu belum ada solusi, sampai akhir hayat, maka kenikmatan yang tak terhingga di surga telah disiapkan untuknya.
Pada zaman Nabi SAW, Hindun melaporkan kekikiran suaminya, Abu Sufyan. Ia terpaksa mengambil uang di dompet suaminya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. “Apakah itu termasuk mencuri, wahai Rasulullah?” tanyanya. Sebelum Nabi menjawab, sang suami yang berada di sebelahnya mengatakan, “Telah saya ikhlaskan, wahai Rasulullah.” Nabi lalu berpesan kepada Hindun,
خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَلِوَلَدِكَ بِالْمَعْرُوْفِ
“Ambillah secukupnya untuk kebutuhanmu dan anakmu dengan ma’ruf (sesuai dengan kepantasan).”
Nabi SAW juga bersabda,
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، دِيْنَارٌ اَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ، وَ دِيْنَارٌ اَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، دِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ، دِيْنَارٌ اَنْفَقْتَهُ عَلَى اَهْلِكَ، اَعْظَمُهَا اَجْرًا اَلَّذِيْ اَنْفَقْتَهُ عَلَى اَهْلِكَ، رواه مسلم
Abu Hurairah, r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Ada dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan untuk orang miskin, dan dinar yang engkau infakkan untuk kepentingan keluarga. (Di antara semuanya itu), dinar yang engkau berikan untuk kepentingan keluarga itulah yang berpahala paling besar.” (HR. Muslim).
Secara tegas, Nabi menyatakan, uang yang kita berikan untuk pembangunan masjid, sekolah, perjuangan Islam, berhaji, umrah, dan sebagainya berpahala amat besar. Tapi, pahala itu tak bisa mengalahkan besarnya pahala memenuhi kepentingan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan keluarga. Sebab, keringat kerja itu keringat jihad untuk menyelamatkan generasi muslim. Keringat itu juga bukti ketaatan kepada Nabi yang melarang mengemis dan meminta belas kasih orang.
Uang yang kita berikan untuk pembebasan perbudakan dan kemiskinan juga berpahala besar. Bahkan, Nabi SAW menjelaskan, sekujur tubuh muslim yang kita merdekakan dari perbudakan itu menjadi jaminan, bahwa sekujur tubuh kita dibebaskan Allah dari api neraka. Pahala sebesar itu pun masih terlalu kecil dibanding pahala pemenuhan kebutuhan keluarga.
Nabi SAW juga bersabda,
مَنْ حَسَنَتْ صَلَاتُهُ، وَكَثُرَ عِيَالُهُ، وَقَلَّ مَالُهُ، وَلَمْ يَغْتَبِ الْمُسْلِمِيْنَ، كَانَ مَعِيْ فِي الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ، رواه ابو يعلى عن ابي سعيد الخدري
“Siapa yang shalatnya baik, anggota keluarganya banyak, tapi sedikit hartanya, ia juga tidak menggunjing sesama muslim, maka ia akan bersama saya dalam surga, seperti dua jari ini (Nabi memberi isyarat)” (HR. Abu Ya’la dari Abu Said al Khudriy r.a)
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ قَالَ لَهُ ، وَإنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِيْ بِهَا وَجْهَ اللهِ، إلَّا أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فـِيِّ امْرَأتِكَ، متفق عليه
Sa’ad bin Abi Waqqash, r.a bercerita, Rasulullah SAW pernah berkata kepadanya, “Berapa pun biaya yang engkau keluarkan untuk (kebutuhan keluarga) secara ikhlas karena Allah, pastilah mendapat pahala dari Allah, termasuk sepotong makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Nabi SAW pernah berpapasan dengan pekerja keras berkulit hitam di jalan raya. Lalu, para sahabat bertanya kepada Nabi, “Bagaimana jika ia kita rekrut sebagai tantara perang kita?” Nabi SAW menjawab,
اِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ، وَ اِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى اَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيْرَيْنِ فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ، رواه الطبراني
“Jika ia keluar bekerja untuk anaknya yang masih kecil, maka itulah perjuangan di jalan Allah (jihad fi sabilillah), dan jika ia keluar bekerja untuk dua orang tuanya yang tua renta, maka itu juga jihad fi sabilillah. (HR. At Thabrani)
Aisyah, ra bercerita, “Saya kedatangan seorang ibu miskin dengan dua putrinya. Saya hanya bisa memberi mereka tiga kurma. Sang ibu memberikan dua kurma untuk dua putrinya, dan satu kurma sisanya untuk dirinya. Ketika sang ibu hendak memakannya, tiba-tiba dua putrinya memintanya, maka kurma untuknya itu dibelah dua dan diberikan untuk dua putrinya. Saya benar-benar kagum.” Setelah mendapat laporan Aisyah, Nabi SAW bersabda,
اِنَّ اللهَ قَدْ اَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ، اَوْ اَعْتَقَهَا بِهَا مِنَ النَّارِ، رواه مسلم
“Sungguh, Allah telah memastikan surga untuk sang ibu karena (kasihnya kepada anaknya), atau membebaskannya dari neraka.” (HR. Muslim).
Saudaraku terkasih, pemikul beban keluarga! Teruslah bekerja keras. Jangan mengeluh dan putus asa. Berbahagialah. Allah telah memberi apresiasi yang luar biasa kepada pekerjaan yang selama ini dianggap pekerjaan rutin dan biasa-biasa saja oleh manusia.
Sumber: (1) Qureish Shihab, M, Tafsir Al Misbah, Vol. 14, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2012, p. 145-147, (2) Hamka, Tafsir Al Azhar, juz 28, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 280-281, (3) As Shiddiqy, Muhammad bin ‘Allan, Dalilul Falihin, Juz 4, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut, Lebanon, tt. P. 79-139 (4) Al Nawawy, Abu Zakariya, Yahya bin Syaraf, Riyadush Shalihin, jilid 2, terjemah Muslih Shabir, CV. Thoha Putra, Semarang, 1981, p. 219-265.