Articles

Lingkungan pendidikan seharusnya menjadi tempat yang kondusif, nyaman, dan menjadi sumber memotivasi bagi semua kalangan. Terutama di lingkungan warga kampus, baik staf, dosen, maupun mahasiswa harus hidup bersama dalam suasana sakinah, mawaddah, dan rahmah. Jika ternyata masih ada praktik pembulian struktural (structural bullying) atau ketidaksopanan lingkungan kerja (workplace incivility), baik dalam manajemen institusi maupun dalam interaksi sehari-hari antara dosen dan mahasiswa, maka sebaiknya segera diperbaiki. Mencegah kedua hal ini sangat penting untuk menjaga integritas dan kualitas pendidikan sebagai penanggung jawab masa depan bangsa. Kampus harus terus memastikan bahwa proses belajar mengajar tidak cukup hanya harus berjalan dengan baik dan efektif tetapi juga harus lahir iklim demokrasi keilmuan yang arif, adil, dan memakmurkan semua orang.

Bullying Struktural dan Incivility

Bullying struktural dalam konteks pendidikan tinggi dapat terjadi ketika dosen menggunakan kekuasaannya untuk menekan atau merendahkan mahasiswa. Bullying dalam konteks manajemen juga bisa terjadi saat atasan menggunakan kekuasaannya untuk menekan atau merendahkan pejabat di bawahnya. Bentuk bullying ini bisa berupa pemberian tugas yang tidak realistis, penilaian yang diskriminatif, atau perilaku yang merendahkan selama perkuliahan atau selama kepemimpinan. Sedangkan praktik incivility di tempat kerja bisa mencakup perilaku seperti komentar yang meremehkan, pengabaian opini mahasiswa, atau sikap tidak peduli terhadap keluhan bawahan.

Contoh konkret dari perilaku yang harus dihindari adalah misalnya, seorang dosen secara terus-menerus memberikan kritik yang tidak membangun, menggunakan nada sarkastik saat memberikan umpan balik, atau bahkan mempermalukan bawahan dan mahasiswa di depan kelas. Tindakan ini bukan hanya merusak kepercayaan diri mahasiswa tetapi juga dapat menghambat proses pembelajaran dan menimbulkan stres yang tidak perlu. Kurangnya kecakapan komunikasi dari atasan yang kemudian jatuh pada praktik merendahkan bawahan di forum terbuka juga hanya akan melahirkan tekanan bagi bawahan dan membuyarkan budaya kerja yang kondusif.

Pentingnya Motivasi yang Manusiawi di Kampus

Untuk keperluan mengupayakan pencegahan terhadap praktik bullying dan incivility, pendekatan pengajaran yang berbasis kemanusiaan harus diutamakan. Dosen perlu memotivasi mahasiswa dengan cara yang positif dan mendukung. Ini dapat dilakukan dengan memberikan umpan balik yang konstruktif, mendengarkan dan menghargai opini mahasiswa, serta memberikan bimbingan yang penuh empati dan perhatian. Dosen yang mengadopsi pendekatan ini tidak hanya akan menciptakan suasana belajar yang lebih positif, tetapi juga akan membantu mahasiswa untuk lebih percaya diri dalam mengembangkan potensi mereka. Sebaliknya, intimidasi atau perilaku yang merendahkan hanya akan menumbuhkan ketakutan, menurunkan motivasi, dan menghambat proses belajar mengajar.

Incivility dalam hubungan dosen-mahasiswa dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti sikap acuh tak acuh terhadap pertanyaan mahasiswa, meremehkan kontribusi mereka dalam diskusi, atau bahkan mengabaikan upaya mereka untuk berpartisipasi. Meskipun tampak sepele, perilaku seperti ini dapat berdampak negatif terhadap semangat belajar mahasiswa dan merusak dinamika kelas. Untuk menghindari ketidaksopanan, dosen harus selalu berusaha menjaga komunikasi yang sopan dan inklusif. Setiap mahasiswa harus merasa bahwa mereka memiliki hak untuk didengar dan dihargai, terlepas dari latar belakang atau kemampuan akademis mereka. Sikap ini tidak hanya akan memperkuat hubungan dosen-mahasiswa tetapi juga akan mendorong keterlibatan aktif dan pembelajaran yang lebih efektif di kelas.

Sama persis pada cara kerja manajemen kampus, pendekatan kepemimpinan yang berbasis kemanusiaan harus diutamakan. Atasan perlu memotivasi bawahan dengan cara yang positif dan mendukung. Ini dapat dilakukan dengan memberikan pendampingan konstruktif, mendengarkan dan menghargai pendapat bawahan, serta memberikan arahan penuh empati dan perhatian. Atasan yang mengadopsi pendekatan ini tidak hanya akan menciptakan suasana kerja yang lebih positif, tetapi juga akan membantu bawahan untuk lebih percaya diri dalam mengembangkan potensi mereka. Sebaliknya, intimidasi atau perilaku yang merendahkan hanya akan menumbuhkan ketakutan, menurunkan motivasi, dan menghambat produktivitas serta kualitas kerja.

Membangun Budaya Akademik yang Positif

Untuk membangun budaya akademik yang positif di lembaga pendidikan tinggi, diperlukan upaya kolektif dari seluruh elemen kampus, termasuk dosen, manajemen, dan mahasiswa itu sendiri. Hal ini melibatkan penerapan kebijakan nol toleransi terhadap bullying dan incivility, serta mendorong partisipasi aktif dalam pelatihan dan pembudayaan atau diskusi terus-menerus tentang kesadaran dan pencegahan perilaku negatif.

Selain itu, dosen harus berkomitmen untuk terus mengembangkan diri dan menjaga standar etika yang tinggi dalam setiap interaksi dengan mahasiswa. Dengan demikian, lingkungan akademik akan tetap sehat, inklusif, dan produktif, di mana setiap individu merasa dihargai dan diberdayakan.

Pencegahan bullying struktural dan incivility di lingkungan pendidikan tinggi adalah langkah krusial untuk memastikan proses belajar mengajar yang efektif dan harmonis. Melalui pendekatan pengajaran yang manusiawi dan kebijakan yang tegas, lembaga pendidikan tinggi di Indonesia dapat menjadi tempat yang nyaman dan inspiratif bagi seluruh sivitas akademika.

[Muchammad Helmi Umam; Dosen Fakultas Ushluddin dan Filsafat]