
Sekretaris Pusat Ma’had al-Jami’ah, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora
Jelang rutinitas kegiatan dan sekolah mulai masuk, setelah libur panjang hari raya Idul FItri 1446 H, penulis sengaja mengajak istri dan anak-anak untuk melihat Film Jumbo di bioskop wilayah Rungkut Surabaya. Tidak ada tujuan lain dari nonton film ini kecuali merenggangkan suasana dalam kegembiran bertajuk kebersamaan _agar ada hiburan_, di samping mendampingi mereka semua untuk belajar memetik hikmah inspiratif dari film yang ditonton, mengingat film Jumbo dapat dinikmati oleh semua kalangan: mulai anak-anak, remaja hingga dewasa. Bukankah _mengutip perkataan al-Hafidh al-Sakhowi_ hikmah bisa dipetik dari mana saja, dan tidak akan pernah mudharat bagimu (khudh al-hikmata wa la yadhurruka min ayyi wi’ain kharajat).
Sekedar untuk diketahui film Jumbo adalah film animasi Indonesia yang disutradarai oleh Ryan Andriandhy dan diproduksi oleh Visinema Studios. Ia hadir sejak tayang perdana di bioskop tanggal 31 Maret 2024, di tengah semarak liburan lebaran. Tidak disangka, dalam sekejab ia mendapat respon positif dari para penonton mengalahkan film animasi sebelumnya kaitan jumlah penontonnya, mengingat selama tujuh hari penayangan jumlah penonton tembus ke angka 1 juta.
Begitu viral film Jumbo, penulis merasakannya ketika pembelian tiket sangat sulit untuk duduk bersama keluarga dalam satu garis, apalagi harus menunggu dua jam. Dari pada tertunda dan sulit direalisasi kumpul bersama keluarga, walau beda kursi, akhirnya dengan terpaksa tetap menonton. Menonton film Jumbo adalah momentum untuk menuntaskan rasa penasaran sebagai bentuk kebanggaan atas produk anak bangsa, khususnya kaitan dengan penyuguhan film animasi.
Sederhananya film Jumbo sangat mendidik, walau dalam bentuk film animasi. Bagi penulis, film ini layak direkomendasi untuk ditonton semua kalangan, mengingat banyak makna yang layak dipetik kaitan _khususnya_ bahwa membangun interaksi dengan orang lain itu membutuhkan kesabaran diri untuk tidak mengedepankan ego masing-masing. Hal ini nampak dari figur-figur animasi dalam film ini dengan karakter yang berbeda-beda, mulai Don, Oma dan sahabatnya (Nurman dan Mae). Di samping itu ada nama Atta yang sejak awal kurang respek terhadap Don sehingga selalu menggodanya _termasuk sering membully_ dan Meria, sosok dari dunia lain serta figur lain yang melengkapi cerita.
Intinya walau film Jumbo ini berbentuk film animasi, tapi alur film yang dimainkan sangat baik dan mendidik dalam mengambarkan realitas interaksi masyakarat keindonesiaan, dengan karakternya menjunjung tinggi nilai-nilai etik dalam ruang sosial, termasuk interaksi figure-figur animasi yang tersebut. Nilai-nilai etik ini yang kemudian memastikan bahwa melihat film Jumbo, tidak seperti melihat film animasi lainnya sebab banyak kritik sosial terjawabkan sehingga layak menjadi model membangun interaksi dengan yang lain dalam ruang sosial nyata.
Kebijaksanaan Interaksi
Salah satu hikmah penting yang bisa diambil dari melihat film Jumbo adalah kebijaksanaan interaksi tidak datang begitu saja, tapi harus diusahakan setiap saat. Jangan pernah mudah putus asa dalam menghadapi kerumitan hidup sebab putus asa tidak menyelesaikan masalah, bahkan melahirkan masalah baru. Interaksi dengan orang lain penting dibangun dengan tetap memperhatikan hak dan kewajibannya sebab tanpa ini interaksi antar sesama sulit tercipta, untuk tidak mengatakan mustahil.
Hikmah ini sangat nampak bila melihat pada sosok Don, salah satu figur dalam film Jumbo dengan tubuhnya yang gemuk sehingga ia dikenal juga dengan sebutan si Jumbo. Ia hidup bersama Omanya (neneknya) sebab orang tuanya telah meninggal dunia. Tapi ia mendapat warisan buku dongeng pengantar tidur karya kedua orang tuanya dengan judul “Pulau Gelembung”. Dari buku ini, film Jumbo berkelindan memunculkan banyak nilai inspiratif menyertai Don berinteraksi dengan Oma, dan teman-temannya.
Hal menarik dari Don adalah upayanya memuwujudkan mimpi sebagai pemenang lomba dongeng yang diadakan di lingkungannya, desa Seruni. Pastinya, semuanya terwujud atas dukungan teman yang mensuport di satu sisi dan serta lawannya _yang diperankan oleh Atta_ yang selalu mengganggu dan membully agar dia gagal dalam perlombaan di sisi yang berbeda. Konflik interaksi terjadi, bahkan dengan teman terdekatnya (Nurman dan Mae), ketika Don hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Iapun menjadi musuh bersama hingga akhirnya muncul kalimat inspiratif dari Omanya _setelah Don curhat kepada Omanya_ agar ia harus juga mendengarkan apa yang disampaikan orang lain. Omanya berkata: “Seorang pendongeng yang baik, juga harus jadi pendengar yang baik.”
Kalimat emas dari Oma Don ini yang membuat ia bangkit untuk merajut keterpurukan interaksi dengan yang lain. Ia mulai sadar, menurut penulis, bahwa menghamba pada ego akan membunuh diri sendiri, apalagi harus sukses dalam kerja tim. Kesadaran ini dapat dimaknai bahwa dirinya tidak ada apa-apanya, tanpa ada dukungan yang lain. karenanya, iapun membangun rekonsiliasi dengan semua pihak, dan akhirnya impiannya terwujud sebagai pemenang lomba. Bukan hanya impiannya, tapi juga Don dan sahabat-sahabatnya mampu membongkar kemungkaran lama yang dilakukan lurah di desanya.
Apa yang dialami oleh Don, bisa terjadi kepada kita sebagai personal atau organisasi atau bahkan lembaga kaitan bagaimana persahabatan kolaboratif itu penting. Persahabatan kolaboratif adalah persabahatan yang sama-sama menjaga perannya masing-masing dan tidak ada ego yang mendominasi antara yang satu kepada yang lain. Itu artinya, lembaga apapun akan menjadi besar, bisa melakukan proses-proses kolaborasi dengan lembaga lain. Kolaborasi dibangun dalam rangka bergerak bersama-bersama dan saling belajar untuk membangun dalam kemajuan serta kepentingan bersama. Karenanya, tidak ada kolaborasi, bila ada yang merasa dirugikan sebab kolaborasi adalah interaksi yang menuntun pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing dalam mewujudkan mimpi kemajuan bersama.
Dalam ruang sosial politik kebangsaan, begitu juga, konflik dan kekerasan terjadi tidak lain karena ego menguat dalam diri setiap orang. Perasaan paling hebat dan tidak membutuhkan yang lain disebabkan ia merasa bisa karena dirinya atau terbatas kelompoknya saja. Akibatnya yang lain dianggap ancaman, selalu dicurigai bahwa dianggap sebagai lawan selamanya. Padahal, untuk membangun bangsa yang cukup besar dibutuhkan persahabatan kolaboratif antar semua elemen anak bangsa. Persahabatan kolaboratif tetap bukan menyamakan perbedaan, tapi menjadikan perbedaan itu bekerja untuk kemaslahatan bangsa sebagaimana kolaborasi Don, Nurman, Mae hingga Atta _lawannya_ yang melahirkan kemaslahatan seperti diperankan diakhir film Jumbo.
Mengakhiri tulisan ini, penulis mengutip potongan lirik lagu berjudul “Selalu Ada di Nadimu” dalam film Jumbo: “Nyanyian ini bukan sekadar nada. Aku ingin kau mendengarnya. Dengan hatimu bukan dengan telinga, Ingatlah ini bukan sekadar kata.” Lirik ini _sebagaimana dalam film Jumbo_ berada di akhir halaman buku dongeng “Pulau Gelembung”, warisan dari orang tuanya. Lirik lagu ini mengingatkan kita semua bahwa mendengar dengan hati berbeda dengan mendengar _hanya_ dengan telinga. Mendengar hanya dengan telinga seringkali kurang membekas, yang didengar seringkali hilang bersamaan dengan hilangnya suaranya. Begitu juga, bukan hanya mendengar tapi juga melihat dengan mata kurang bermakna, tanpa dengan melihat dengan hati. Oleh karenanya, masih maraknya penyakit sosial selama ini bisa jadi bukan karena pelakunya tidak tahu kalau yang dilakukan berdosa sebab merugikan diri sendiri dan orang lain. Tapi problem hati nurani pelakunya yang tumpul sehingga tidak memiliki empati untuk berpikir lebih besar kaitan dengan kemaslahatan besar bagi masyarakat, bangsa dan negara. Dengan bahasa lain, Islam mengajarkan agar kita tak lelah untuk istiqamah perkuat kualitas hati nurani dengan selalu berfikir masa kini (dunia) dan masa akan datang (akhirat). Harapannya, tindakan apapun yang dilakukan selalu menimbang sisi maslahat dan mafsadat bagi diri sendiri, terlebih bagi yang lain sebab tindakan menggambarkan hati seseorang. Selamat menikmati bagi yang menonton film Jumbo.
