Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Jalanan selalu macet. Tak pernah lapang. Mau pagi. Mau siang. Mau sore. Sama saja. Sama macetnya. Malam pun, kukira tak akan sama. Tak akan macet. Tapi, faktanya, tetap saja macet. Serupa dengan saat-saat sore, siang, atau pagi.  Itu kondisi yang aku dan mungkin setiap orang bisa temui. Setiap melintas di depan sebuah supermarket. Namanya Toserba Remaja. Resmi beroperasi tanggal 15 Juni 2021. Letaknya di tengah kota Sidoarjo. Tak jauh dari akses keluar-masuk stasiun kereta api kota. Mau Ramadan, atau bulan-bulan biasa, sama saja. Sama-sama macet. Memang lebih-lebih saat Ramadan tiba. Seperti pada tahun 1446 H/2025 M ini. Sepanjang bulan suci ini, kemacetan semakin parah. Baru begitu lepas dari depan area supermarket itu, kemacetan itu bisa dirasakan tak lagi ada.

Apakah supermarket itu tak punya lahan parkir? Oh ada. Bahkan bisa terbilang cukup. Karena di bagian halaman depan gedung supermarket itu, ada lahan yang cukup luas. Puluhan motor bisa diparkir di situ. Plus juga bisa menampung belasan mobil. Tapi, karena banyaknya konsumen yang keluar-masuk untuk melakukan transaksi, parkir pun akhirnya memakan badan jalan. Belum lagi pengaturan arus keluar-masuk membuat jalanan makin macet. Karena semua akhirnya jalan pelan. Semua berhati-hati dengan laju kendaraannya. Walhasil, banyaknya pengunjung membuat area dan jalanan depan gedung supermarket itu padat dan cenderung macet. 

Tapi, semua aman. Semua konsumen merasa aman. Bahkan, lebih-lebih, cenderung nyaman. Karena satpam supermarket itu selalu memandu dan mengamankan. Baik untuk mobil yang dalam proses parkir ataupun untuk mobil yang sedang akan meninggalkan area supermarket itu. Dengan seragam resmi cokelat gelap, satpam yang bertugas di area parkir itu selalu memandu setiap pengunjung yang hendak parkir atau meninggalkan area supermarket itu. Tapi meskipun begitu, tetap saja kemacetan akhirnya tak bisa dihindarkan juga. Akibat banyaknya jumlah konsumen yang hilir-mudik ke dalam supermarket dimaksud. Seakan tak ada henti-hentinya konsumen datang dan pergi.   

Aku pun lalu berusaha mencari tahu, apa yang membuat pengunjung begitu banyak keluar-masuk supermarket itu. Otomatis transaksi juga tinggi. Karena mereka keluar-masuk itu bukan untuk jalan-jalan. Tapi berbelanja. Karena memang Remaja itu supermarket. Menempati gedung tersendiri. Bukan pusat perbelanjaan besar. Seperti mal dan semacamnya. Tentu, banyaknya pengunjung menandakan pencatatan transaksi yang tinggi. Dan itu artinya, supermarket itu menjadi idaman warga. Bukankah juga sudah banyak supermarket, dan bahkan minimarket, yang bertebaran di banyak tempat dan sudut hunian, khususnya di Kota Sidoarjo?

Sebetulnya, aku sendiri sudah beberapa kali ke Toserba Remaja itu. Mendampingi istriku berbelanja di situ. Maka, aku pun sejatinya tak heran dengan banyaknya pengunjung itu. Aku sendiri menjadi saksi atas cukup hebatnya strategi bisnis supermarket itu. Padahal ia hadir belakangan. Setelah sejumlah supermarket dan juga minimarket memadati setiap sudut kota. Belum lagi yang berbasis di pusat perbelanjaan. Tapi mengapa Toserba Remaja itu mampu menyedot banyak konsumen? Ini pertanyaan yang menggelayuti pikiranku setiap kali berkunjung atau melewati jalanan di depannya.

Memang, begitu sampai di area depan supermarket itu, aku menemukan pemandangan pelayanan yang menarik. Semua satpam supermarket itu berseragam cokelat gelap. Mereka tak hanya bertugas pengamanan supermarket. Melainkan sekaligus bertugas pelayanan perparkiran untuk kenyamanan pengunjung. Begitu mobil mendekat, pasti ada petugas berseragam cokelat gelap itu mendekat. Lalu mencarikan slot parkir untuk kendaraan setiap pengunjung. Diaturnya slot untuk mobil-mobil itu dengan sangat baik. Bahkan, pemilik kendaraan tak perlu repot untuk mencari slot parkir sendiri. Karena petugas itu sudah sangat tanggap mencarikannya.      

 Semua kendaraan, baik yang masuk maupun keluar, dipandu untuk bergerak. Apakah maju, mundur atau bergeser ke samping. Dengan begitu, tak akan ada keluhan soal parkir kendaraan. Bahkan, saat slot parkir di halaman dalam supermarket itu penuh, diaturnya kendaraan yang datang untuk bisa parkir di bahu jalan. Lalu, apakah pemilik kendaraan dengan begitu perlu khawatir atas keamanan kendaraannya? Tentu tidak. Karena petugas usai mengatur parkir kendaraan di bahu jalan itu, segera memasang cone parkir di belakangnya. Untuk tanda pengamanan dari pergerakan mobil dari arah belakang.

Tak berhenti di situ. Layanan petugas keamanan tak terbatas mengatur sirkulasi kendaraan. Tak hanya mengatur urusan pengamanan parkir. Tapi juga membantu menarik trolley dan memindahkan barang hasil transaksi di dalam supermarket ke dalam mobil yang terparkir di depan supermarket itu. Begitu terlihat ada konsumen yang keluar dari pintu supermarket dengan trolley yang didorongnya, ada petugas berseragam cokelat itu yang menghampiri. Dia bantu konsumen untuk mendorong trolley itu. Dan kemudian membantunya untuk memasukkan barang-barang hasil pembelian itu ke dalam mobilnya.   

Apakah hanya itu? Oh tidak. Para petugas keamanan yang berseragam cokelat itu tak akan pernah mau menerima uluran tangan konsumen. Tak akan pernah berkenan menerima uang tanda terima kasih apapun dari pengunjung. Begitu mobil menuju keluar ke jalan, pasti ada salah satu petugas berseragam cokelat itu yang memandunya. Agar aman dan tak terjadi tabrakan atau gesekan dengan kendaraan lain yang melaju dari arah belakang. Priiiiiiiiiit, lalu sang petugas itu mempersilakan sopir untuk melaju. Tak akan pernah petugas itu menerima uang terima kasih dari pengunjung.

Jadi, layanan parkir di supermarket itu betul-betul gratis plus. Bukan hanya parkirnya yang gratis. Tapi layanannya pun juga melampaui espektasi banyak orang. Trolley barang pembelian didorongkan. Barang-barang pembelian itu juga dibantu dimasukkan ke mobil. Dan, keluarnya mobil pun dari parkir dipandu dengan baiknya. Dan, jangan pernah berpikir soal uang parkir. Sekali lagi, dipastikan tak ada satupun dari petugas keamanan yang berseragam cokelat itu berkenan menerimanya. Itu sudah sekian kali aku sendiri mengalaminya. Mereka dengan sopannya menolak setiap kali ada uluran tangan dengan uang sebagai tanda terima kasih.

Padahal, di tempat lain, justru setiap petugas yang mengatur keluar-masuk kendaraan dan parkirnya selalu meminta uang jasa parkir. Minimal berharap. Terlihat dari cara mereka mendekat ke sopir saat mobil bergerak keluar. Padahal, di supermarket atau minimarket itu sudah tertulis kampanye “Parkir Gratis”. Itu artinya, di banyak tempat antara yang tertulis dalam ketentuan supermarket dan praktiknya tak sama. Dibilang gratis, ternyata berbayar. Tentu praktik ini menimbulkan ketidaknyamanan di kalangan konsumen. Karena mereka merasa “dibohongi”.

Tapi, semua itu tak ditemukan di Toserba Remaja itu. Tak ada kampanye “parkir gratis”, dan faktanya memang gratis sama sekali. Bahkan, lebih dari soal uang parkir yang digratiskan. Tapi, juga pelayanan yang memberi rasa aman dan nyaman. Semua proses sebelum dan seusai berbelanja dilayani dengan baik. Oleh petugas keamanan yang berseragam cokelat itu. Hingga pada saat meninggalkan supermarket, para konsumen itu merasa semua kepentingannya terlayani dengan baik. Artinya, mulai proses datang dan pergi, pelayanan prima itu dirasakan betul oleh setiap pengunjung yang datang.

Bahkan, bukan hanya saat datang dan pergi saja pelayanan prima itu dirasakan. Pengunjung juga bisa merasakan pelayanan yang prima itu di dalam supermarket. Soal harga barang, sebagai misal. Banyak komoditas yang dijual di supermarket itu dihargai dengan besaran harga yang cenderung agak miring. Lebih murah dari barang yang sama yang dijual di supermarket lainnya. Bahkan, saat di supermarket lain sudah didiskon sedemikian rupa sekalipun, barang yang dijual di Toserba Remaja itu cenderung masih lebih murah.  

Tentu konsumen akan membanding-bandingkan harga. Karena mereka rata-rata juga sudah berkunjung ke supermarket lainnya. Maka, saat menemukan barang dagangan dengan harga agak miring di sebuah supermarket, tentu respon baik akan diberikan. Apalagi harga miring itu tidak hanya pada saat normal saja. Saat sudah didiskon di tempat lain, harga di supermarket dimaksud masih cenderung lebih murah.  Tentu, fakta-fakta semacam ini sangat kuat dicatat dalam ingatan konsumen. Dan itu yang membuat loyalitas mereka ke supermarket dimaksud cenderung tinggi. Kalau sudah begitu, mereka tak lagi merasa penting untuk membanding-bandingkan harga produk-produk yang dijual lainnya. Karena asumsi mereka, pasti harganya cenderung lebih murah.  

(Sumber URL: akun Instagram Toserba Remaja “toserbaremaja”)

Tulisan ini kubuat tanpa ada maksud dan pretensi apapun. Aku juga bukan sedang berkampanye untuk Toserba Remaja itu. Karena aku sama sekali tak ada kaitannya dengan pelaku usaha itu. Tapi, yang mendorongku untuk membuat tulisan ini adalah adanya sejumlah nilai penting yang bisa dipetik sebagai pelajaran. Nah, pelajaran ini yang ingin kuulas. Lalu kubagikan kepada banyak orang. Melalui tulisan ini. Tentu harapannya adalah bahwa setiap kita bisa belajar dari praktik baik yang telah dipertunjukkan oleh sesama. Termasuk oleh pelaku usaha. Itu saja mengapa tulisan ini kubuat.

Nah, ada dua pelajaran penting yang bisa dipetik dari pengalaman beroperasinya Toserba Remaja di atas. Pertama, harga memang menjadi faktor utama di balik tingginya konsumsi warga masyarakat terhadap komoditas dagangan yang ditawarkan pelaku usaha. Karena bagaimanapun, dunia bisnis tak bisa jauh-jauh dari urusan harga jual atas produk yang dipasarkan. Apalagi barang yang dijual juga persis sama. Barangnya sama. Produsennya sama. Masa kedaluwarsanya juga sama. Maka, saat semua tentang produk itu sama, lalu ditemukan harga yang berbeda di tempat penjualan yang berbeda, maka tentu saja harga menjadi pertimbangan utama.

Setiap konsumen pasti akan memberi perhatian besar pada urusan harga jual ini. Apalagi, barang yang dijual adalah produk kemasan, maka di sana berarti tak mungkin ada perlakuan tambahan atas produk itu. Tak ada topping. Tak ada penambah nilai lainnya. Mie instan kemasan adalah salah satu contohnya. Tak ada kreasi yang mengubah produk mie kemasan yang menjadi bahan utamanya itu menjadi mie dengan rasa dan sensasi kuliner yang berbeda. Bahkan cenderung berubah. Jadi, semua persis sama. Kalau sudah demikian, maka perbedaan harga akan memantik reaksi yang berbeda dari kalangan konsumen.

Kecuali, jika barang yang dijual itu bukan produk kemasan. Atau produk kemasan namun sudah diberi tambahan lainnya sehingga yang dipasarkan bukan lagi produk kemasan itu lagi, melainkan produk hasil kreasi tambahan. Contoh, komoditas mie tertentu yang bahan utamanya dari produk mie instan kemasan. Dalam kasus seperti ini, yang dijual bukan mie produk kemasan itu lagi. Melainkan produk hasil kreasi tertentu yang bahan salah satunya dari mie kemasan itu. Nah, produk akhir itu yang akan menjadi pembeda. Harga tak akan lagi diperbandingkan dengan mie lainnya walaupun mie kemasan tertentu yang menjadi bahan utamanya adalah sama.       

Itulah yang bisa didapatkan di Toserba Remaja dan supermarket-supermarket selainnya. Barangnya sama. Tapi harga berbeda. Hanya, tulisan ini tak menginvestigasi lebih jauh tentang bagaimana mata rantai pasok barang terjadi di supermarket-supermarket itu. Itu urusan lain. Tapi, yang menjadi perhatian tulisan ini adalah bagaimana para pelaku usaha di supermarket berbeda itu menampilkan harga yang dipatok untuk barang-barang dagangan yang sama persis. Mulai jenis, produsen, hingga masa kedaluwarsanya. Karena itu, harga jual menjadi penentu respon pasar terhadap daya laku produk dagangan.   

Kedua, pelayanan menyempurnakan batasan harga. Bahkan, pelayanan bisa mengatasi persoalan harga itu. Cantiknya Toserba Remaja adalah bahwa pengunjung dibuat terpuaskan dengan pelayanan saat datang dan saat pergi. Awal diberi pelayanan terbaik. Akhir pun diberikan pelayanan prima. Tentu itu sangat baik untuk memperkuat loyalitas tanpa batas di kalangan konsumen kepada supermarket itu. Apalagi, semua itu disempurnakan dengan tawaran harga jual produk dagangan yang cenderung miring dibanding di supermarket-supermarket lainnya.

Harga bisa saja di-bypass oleh pelayanan. Harga bisa saja diabaikan saat pelayanan dirasakan memuaskan. Nah, yang dipertontonkan oleh Toserba Remaja di atas adalah bahwa harga yang cenderung miring disempurnakan dengan pelayanan yang prima. Tentu, kepuasan menjadi kata kunci dari yang dirasakan oleh setiap pengunjung. Bahkan, dalam derajat yang ekstrem, kepuasan itu berlipat. Kepuasan oleh harga yang cenderung miring, dan kepuasan yang dirasakan dari layanan yang prima. Maka pantas saja jika makin banyak konsumen yang loyal ke pelaku usaha itu. Itu yang dipertontonkan oleh pelaku usaha yang bernama Toserba Remaja itu.      

Kita pun semakin paham, setiap pelaku usaha bisnis ekonomi, dan bahkan penyediaan layanan, pasti menjadikan harga sebagai sebuah faktor pertimbangan penting. Tapi, pelayanan jangan pernah dilupakan. Pengalaman berbelanja di Supermarket Remaja di atas memberi Pelajaran penting. Bahwa pelayanan bisa mengatasi persoalan harga. Rasa aman dan nyaman yang diberikan oleh setiap pegawai di supermarket itu membuat setiap yang datang merasa dibantu dan bahkan dihormati selama berbelanja. Karena itu, setiap pelaku usaha bisnis-ekonomi dan layanan penting menjadikan pengalaman yang diberikan oleh supermarket di atas kepada konsumen sebagai inspirasi untuk melambungkan pelayanan di atas segalanya.  

Itulah harga sebuah pelayanan. Bisa memperkuat daya tawar harga yang diberikan ke konsumen. Atau bisa juga menjatuhkannya. Saat pelayanan telah memuaskan rasa aman dan nyaman konsumen, kesetiaan akan segera bisa didapatkan dari konsumen. Betapa banyak ungkapan menarik lahir sebagai contoh dari anggitan ini. Di antaranya, “Mending mahal dikit, tapi kita nggak sakit hati dibuatnya,” dan “Nggak apa-apa mahal dikit, tapi belanjanya nyaman.” Maka, nilai sebuah pelayanan bisa melampaui urusan ketetapan harga itu sendiri. Dan karena itu, jangan pernah menganggap remeh pelayanan terbaik kepada konsumen.