
Prof. Dr. Hj. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara FSH UINSA Surabaya
Senyatanya jejak-jejak digital Pesta Rakyat (Pesta Demokrasi) Lima Tahunan yang biasa disebut Pemilihan Umum (Pemilu) telah memberikan wacana luas bagi masyarakat. Tidak sekedar kalangan elit tetapi juga semua lapisan masyarakat bawah, bahkan di setiap warung baik warung nasi (warsi) maupun warung kopi (warkop) dan juga tempat-tempat cangkrukan lainnya. Masing-masing berdebat dengan menonjolkan calon masing-masing. Bahkan lebih jauh dari itu, tidak sedikit dari masing-masing partisipan tersebut ‘menjelek-jelekan’ dan/atau mengolok-olok calon yang lain baik itu benar dan/atau hanya sekedar opini bahkan bohong. Dan hal itu masih terasa hingga pasca pemilu, bahkan sampai saat ini.
Rupanya masyarakat sedikit banyak sudah ‘terbius’ dan melupakan etika berkomunikasi maupun berpendapat. Sehingga tidak terlalu berlebihan apabila dikatakan pesta demokrasi ini telah melahirkan ‘GHIBAH POLITIK’. Apalagi di era digital ini, jejak-jejak digital setiap komentar dan/atau postingan dengan mudah di-share sana di-share sini tanpa melalui suatu crosscheck kebenaran dulu. Padahal belum tentu berita atau postingan tersebut benar, dan jika pun benar sebenarnya kita telah menggunjing saudara kita sendiri, saudara seiman-seagama (saudara seiman) – jika tidak pun saudara sebangsa dan setanah air (persaudaraan setanahair).
Ada filosofi matematika yang mungkin dapat kita ambil. Jika kepada kita diberikan sebuah garis lalu kita diminta untuk memendekkan garis tersebut. Maka kita tidak harus menghapus garis yang telah dibuat orang lalin, tetapi cukup membuat garis yang lebih panjang. Maka dengan dengan sendirinya garis kita akan terlihat lebih panjang dari garis orang lain. Artinya, untuk menunjukkan kebaikan kita, tidak harus menjelek-jelekkan orang lain – tetapi cukup menambah kebaikan perbuatan kita. Maka dengan sendirinya kebaikan kita akan lebih dengan orang lain.
Begitu pun dengan kita yang telah menetapkan pilihan pada pasangan tertentu, cukuplah menunjukkan kebaikan calonnnya tidak usah menjelek-jelekkan calon yang lain. Ini yang terjadi hingga saat ini. Bukankah al-Qur’an telah mengajari kita dalam Surat Al Hujurat Ayat 11:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan (bully). Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim,”
Selanjutnya dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 216, Allah juga telah memperingatkan kita:
“Diwajibkan atas kamu berbuat sesuatu, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Dari kedua surat tersebut ada catatan yang patut kita garisbawahi: Pertama, tidak sepatutnya kita menganggap paling baik dari yang lain sehingga kita suka menjelekkannya. Kedua, terhadap sesuatu janganlah berlebihan – jika suka juga jangan berlebihan – begitu pun jika tidak suka sesuatu.
Ghibah dalam bahasa Arab, adalah membicarakan kejelekan atau aib orang lain. Utamanya, obrolan terjadi saat subjek yang dibicarakan tengah tidak sedang bersama orang-orang yang bergunjing.
Dikisahkan dalam sebuah hadits:
“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW pernah bertanya: ‘Tahukah kamu, apakah Ghibah itu?’. Para sahabat menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’
Kemudian Rasulullah SAW juga bersabda:
‘Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.’ Seseorang sahabat bertanya,
‘Ya Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?‘. Beliau berkata, ‘Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya.’.”
Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ghibah artinya membicarakan keburukan (keaiban) orang lain; bergunjing. Ghibah dapat terjadi secara lisan, tulisan, atau bahkan hanya dengan bahasa tubuh.
Secara lisan, Ghibah terjadi saat sekelompok orang membicarakan keburukan orang lain yang tidak ada di sana. Sementara dalam bentuk tulisan, Ghibah bisa berbentuk surat atau bentuk publikasi (postingan) dan/atau memposting ulang apa pun dalam berbagai medium. Sementara ghibah yang disalurkan melalui bahasa tubuh biasanya ditandai dengan isyarat, ekspresi wajah, gerakan tubuh tertentu, atau menirukan tingkah laku seseorang yang dipergunjingkan dengan maksud mengolok-ngolok.
Dari sana, sudah jelas bahwa Islam melarang keras kebiasaan Ghibah. Tak main-main, Ghibah bahkan digolongkan sebagai dosa besar. Larangan ini juga tersemat dalam ayat suci Al-Qur’an surat Al Hujurat ayat 12.
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan prasangka karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Janganlah kamu sekalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sekalian berghibah (menggunjing) satu sama lain. Adakah seseorang di antara kamu sekalian yang suka makan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang.”
Oleh sebab itu, menyikapi Pesta Demokrasi dalam Rangka Pemilu 2024 ini, hendaknya kita tetap arif dan bijaksana dalam bersikap, bertutur-kata, serta menulis komentar dan/atau memposting atau memposting ulang. Tidak perlu lah menjelek-jelekkan (ghibah) para paslon yang bukan pilihan kita. Mereka semua hakekatnya adalah saudara kita sendiri (saudara seiman atau pun sebangsa), berbeda pilhan boleh tetapi kita tetap satu Bangsa Indonesia. Kita harus yakin bahwa para paslon tersebut adalah anak bangsa terbaik untuk Indonesia, tergantung takdir Allah mana dari para paslon tersebut yang akan memimpin bangsa ini ke depan. “Buatlah ruas garis kita yang lebih panjang, tidak usah menghapus ruas garis yang telah dibuat orang lain.” Apalagi di bulan yang penuh berkah ini, yang Allah perintahkan untuk lebih merenung diri terhadap apa yang selama ini telah kita perbuat. Agar kita mencapai derajat tertinggi selaku hamba Allah yaitu ‘La’allakum tattaqun” (لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ). Insyaallah.