FISIP HADIRKAN KOMISIONER KPU RI DALAM SEMINAR BERTAJUK : MENIMBANG SISTEN PROPORSIONAL TERBUKA DAN TERTUTUP
FISIP UINSA kembali mengadakan seminar nasional dengan menghadirkan Anggota Komisioner Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) pada seminar nasional bertajuk “Menimbang Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup: Mana yang lebih baik?” Kamis, (30/02/2023). Seminar ini merupakan respon atas wacana sistem pemilu tertutup yang mengemuka menjelang Pemilu 2024.
Dr. Abd Chalik, M.Ag, Dekan FISIP, memulai sambutannya dengan menyampaikan terimakasih di tengah kesibukan KPU RI menjalankan tahapan Pemilu 2024 menyempatkan untuk hadir silaturahmi ke FISIP UINSA. Menurutnya kesempatan ini kesempatan yang langka bagi mahasiswa untuk berinteraksi secara langsung dengan pengambil kebijakan di bidang kepemiluan.
Selain itu, dirinya mengatakan, bahwa isu pengembalian sistem pemilihan dari proporsional daftar terbuka ke sistem pemilihan proporsional daftar tertutup merupakan isu yang seksi dan menarik dibicarakan secara akademis maupun praktis. Dirinya menambahkan bahwa hadirnya Komisioner KPU RI, Dr. Idham Holik, S.E., M.Kom. dan Dr. Moh. Ilyas Rolis, M.Si Akademisi FISIP UINSA sebagai pembicara, seperti ‘krawu’ yang diramu yang akan menghasilkan catatan akademis yang lebih komprehensif.
Sementara itu, Moderator, Noor Rohman, M.Si mengawali forum dengan menyebutkan, bahwa diskusi dan polemik tentang sistem proporsional terbuka dan tertutup tengah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan hari kemarin tengah berjalan sidang gugatan atau judicial review terhadap undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, terutama berkaitan dengan materi sistem Pemilu. Dirinya mengatakan bahwa sistem pemilu merupakan salah satu aspek yang paling kunci dalam konteks demokrasi, bahkan menurutnya, pilihan terhadap sistem pemilu tertentu akan mempengaruhi bagaimana kualitas demokrasi termasuk kualitas pemerintahan.
Dr. Idham Holik, S.E., M.Kom, dalam pengantarnya mengatakan bahwa studi tentang pemilu sangat penting bagi setiap warga negara, dirinya menyebutkan, bahwa forum diskusi akademis ini merupakan bagian dari tanggung jawab kewarganegaraan (aur civic responsiblity). Menurutnya, meski judul yang dipilih agak sedikit provokatif “menimbang sistem proporsional terbuka dan tertutup, kami tidak bisa masuk ke wilayah yang sifatnya spekulatif tersebut, apalagi kami selaku penyelenggara pemilu harus taat pada azas kepastian hukum. Bagi kami pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2007 tentang Pemilu yang menjelaskan tentang sistem pemilu untuk DPR, DPRD sampai saat ini sistem tersebut belum dinyatakan bertentangan dengan undang-undang dasar (UUD 1945) dan belum dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi. Jadi jelas pasal tersebut masih berlaku. Menanggapi soal diskusi yang berkembang tentang wacana proporsional daftar tertutup dan terbuka, menurutnya menarik didiskusikan secara akademis, dirinya bersandar pada pemikiran Jurgen Habermas yang mengatakan, bahwa ruang-ruang publik demokrasi yang baik adalah ruang-ruang publik yang diisi oleh perdebatan rasional. Jurgen Habermas lebih menekankan pada proses politik deliberatif bahkan Habermas pernah menulis buku berjudul “etika diskursus.”
Lebih lanjut, menurut Dr. Idham Holik, S.E., M.Kom, mengapa Indonesia memilih sistem proporsional ialah karena kita adalah masyarakat yang majemuk dan hanya sistem proporsional lah yang pas yang dapat mengakomodasi dan merepresentasikan keanekaragaman suku, etnis, budaya dan agama di Indonesia.
Saat ini berkaitan dengan sistem proporsional daftar terbuka sedang diperkarakan di Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 dan telah disidangkan 29 Maret 2023, MK telah meminta keterangan pihak terkait. Menurutnya perkara judicial review di MK tersebut menyita persidangan yang paling panjang yang selama ini belum pernah terjadi, karena persidangan dilakukan berkali-kali. Perkara nomor 114/PUU-XX/2022 berkenaan dengan tuntutan pasal 168 ayat (2) undang-undang Nomor 7 tahun 2017 beserta pasal-pasal terkait. Pasal 168 tersebut berkenaan dengan sistem proporsional terbuka yang mengatur surat suara pemilu legislatif yang berisikan logo partai, nomor urut partai, beserta nomor dan nama calon legislatif atau dikenal dengan sebutan sistem pemilihan daftar proporsional terbuka.
Mengenai proporsional daftar terbuka memiliki beberapa kelebihan diantaranya pemilih berdaulat menentukan siapa calon legislatif yang akan dipilihnya. Sedangkan dalam sistem pemilihan proporsional daftar tertutup pemilih hanya memilih lambang partai atau nomor urut partai saja. Keduanya memiliki implikasi yang berbeda, kalau proporsional daftar tertutup surat suaranya nanti menjadi kecil. Kalau proporsional daftar terbuka surat suaranya menjadi besar sekali karena disana ada nama calon legislatif. Dari aspek logistik juga memiliki implikasi yang berbeda semakin kecil surat suara berimplikasi pada pembiayaan politik. Kedua sistem ini sudah pasti ada plus dan minusnya tergantung pada point kita berada di mana.
“ secara pribadi, saya sebagai warga negara, saya ingin melihat sebuah sistem pemilu berangkat dari kedaulatan rakyat, yaitu sampai sejauh mana rakyat berdaulat atas pilihannya”
Sementara pembicara lain, Dr. Moh. Ilyas Rolis, M.Si menyebutkan, bahwa membahas sistem pemilu membutuhkan renungan yang mendalam, konsep dan keseriusan, karena kegagalan membangun sistem pemilu sama dengan kegagalan sistem negara. Berkaitan dengan sistem pemilu tertutup ibarat membeli kucing dalam karung sedang untuk pemilu terbuka ibarat membeli ikan di dalam kolam, kita melihat jenis ikannya berikut dengan harganya.
Di dalam sistem terbuka tanggung jawab kandidat kepada pemilih tanggung jawab ini dalam praktiknya diwujudkan tidak hanya dalam program tetapi juga keseluruhan apa yang dibutuhkan oleh konstituen juga juga harus terpenuhi oleh anggota dewan, maka jika tidak terpenuhi akan terjadi ketidak menentukan apakah caleg akan dipilih atau tidak. Artinya ini jelas membutuhkan biaya yang tinggi bagi kandidat legislatif untuk terus mempersiapkan diri dan meyakinkan diri agar terpilih. Inilah kiranya yang menjadi dilema di dalam sistem terbuka. Sistem terbuka ini tidak mendorong ke arah soliditas partai dan pelembagaan partai yang kuat.
Sementara itu, menurut Dr. Idham Holik, bahwa sistem proporsional tertutup pernah dibicarakan dan ada lima partai politik yang menginginkan sistem pemilunya menjadi sistem proporsional tertutup, begitu juga pada saat perumusan undang-undang nomor 8 tahun 2012, dengan alasan bahwa party institutionalization, ada pandangan waktu itu bahwa demokrasi yang baik ditandai oleh kelembagaan partai yang kuat.
(umam)