Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Di sebuah koran terkemuka, kini wartawan tak lagi digaji. Tak seperti yang sudah-sudah. Sebelumnya koran ini melaju kencang dengan oplah dan tingkat readership yang tinggi sekali. Ia selama ini bukan saja menjadi pemilik pasar penjualan koran terbesar (market share holder) karena tingginya readership dan pelanggan, tapi juga penguasa dunia media koran (market leader). Mengagumkan. Keren. Wartawannya pun termasuk menikmati sebuah kemewahan dalam bentuk kesejahteraan yang terjaga. Kini semua sudah berubah. Tak ada lagi struktur gaji yang selalu menjadi rujukan fasilitasi untuk semua pegawai. Sebagai gantinya, mereka dibayar dari AdSense. Hasil iklan yang muncul karena dan mengiringi unggahan berita.  

Seorang wartawan senior bercerita. Dia kini harus membuat berita atau tulisan. Untuk diunggah ke laman maya koran itu. Makin banyak tulisan yang diproduksi, makin banyak potensi pendapatan yang akan diraih. “Sehari, dia bisa membuat tiga tulisan,” ujar Hasanuddin Ali, Tenaga Ahli Kemenag RI, menceritakan pengalaman seorang wartawan senior di koran terkemuka di atas yang kini harus sibuk untuk membuat tulisan di laman maya koran tempat dia bekerja itu. Selanjutnya, dalam cerita Hasanuddin Ali itu, dia akan dibayar dari AdSense yang bisa dihitung dari berapa jumlah tulisan berita yang dia unggah dan berapa jumlah yang mengaksesnya.

Lalu bagaimana cara wartawan itu membuat tulisan yang bisa menarik minat pengunjung untuk mengkliknya? Pertanyaan ini penting. Sebab, dunia kini serba klikbait. Itu yang menjadi pemantik strategi baru koran itu dalam menjaga eksistensinya di hadapan pasar pembaca. Unggahan berita yang popular dan mengenai kepentingan banyak orang ditulisnya. Bahkan tulisan model chicken soup pun diproduksi. Ringan dan gampang dicerna. Itu semua dilakukan agar bisa menarik minat pengunjung untuk mengklik, melihat, dan membacanya. Jika kecenderungan ketertarikan pengunjung itu bisa dia dapatkan secara memadai, maka bisa dipastikan bahwa unggahan tulisan dan atau berita yang dia lakukan akan memantik naiknya jumlah view atasnya.

Otomatis setelah itu, AdSense pun akan hadir menyertai. Media yang menaunginya kemudian mendapatkan simpati pengujung. Dan itu artinya penaruh iklan atas laman itu segera naik. Media itu pun akan mengunduh pundi-pundi pendapatan. Dari penaruh iklan di laman media itu. Maka tulisan yang dikunjungi banyak pembaca otomatis akan mendatangkan banyak pendapatan pula. Dari situlah media yang menaungi bisa mempertebal fiskal perusahaan. Dan wartawan pembuat tulisan atau berita pun juga akan mendapatkan dampak ikutannya. Mereka juga menikmati berkah AdSense yang datang menyertainya. Karena media yang menaunginya akan memberi para wartawan itu insentif menyusul unggahan tulisan yang dibuatnya dikunjungi banyak pembaca.

Cerita itu disampaikan oleh Hasanuddin Ali saat berkumpul bersama semua unsur pimpinan UINSA Surabaya. Di ruang kerjaku. Saat rehat usai memberi materi moderasi beragama dan kebangsaan pada kegiatan hari pertama Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) UINSA pada Selasa siang (13 Agustus 2024).  Hadir juga dalam pertemuan itu Nuruzzaman, Staf Khusus Menteri Agama RI, yang bersama Hasanuddin Ali juga menjadi narasumber pada acara tersebut. Obrolan ringan itu mengalir sambil menyantap nasi biryani yang lagi ngetop di Surabaya.  

Apa pelajaran yang bisa ditarik dari cerita Hasanuddin Ali di atas? Kucatat tiga biji. Bentuk mudahnya, ada tiga “jangan” yang harus menjadi perhatian. Pertama, jangan pernah gelisah atas masa depan. Tirulah pengusaha media bersama para wartawannya, sebagaimana kusebut di atas. Di awal menguatnya teknologi digital, seakan-akan koran atau media cetak akan tamat riwayatnya. Itu muncul dalam pemahaman awam. Dulu saat awal kemunculan media online. Tapi, para pengusaha media bersama para wartawannya tampak cerdas. Apakah mereka sempat gelisah? Mungkin iya. Tapi Mereka cepat untuk berkreasi. Memutar otak untuk merespon perkembangan dunia digital yang semakin menguat.

Hasilnya? Tetap saja media cetak masih saja dibutuhkan. Mati? Tentu tidak. Tapi mereka harus melakukan metamorfosis dalam berbisnis media. Wujudnya saja harus berubah. Jadi, isunya adalah bahwa media harus bermetamorfosis. Itulah yang kemudian dalam literatur studi budaya (cultural studies) disebut dengan mediamorfosis. Sebuah langkah transformasi media dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Salah satu wujud konkretnya adalah transformasi media cetak menuju cetak plus. Yakni, tak hanya edisi cetaknya yang diperbarui dan ditingkatkan mutunya. Melainkan juga edisi online yang juga dilahirkan dan diperbarui terus-menerus.

Itu semua dilakukan untuk merespon perkembangan baru dalam bisnis media di era digital. Seorang pengamat media dari Amerika, Roger Fidler (Mediamorphosis: Understanding New Media,1997), menyebut munculnya mediamorfosis seperti dijelaskan di atas sebagai fenomena menguatnya teknologi komunikasi baru (new communication technologies). Semakin majunya teknologi komunikasi berpengaruh langsung terhadap bisnis media. Layanan bisnis media tak boleh lagi menjadikan cetak sebagai produk dominan yang dipasarkan. Pertimbangannya konkret. Karena pasar bisnis media pun juga bergeser seiring perubahan yang terjadi akibat kemajuan yang sangat cepat pada teknologi komunikasi.

Foto: Sampul Depan Buku Passive Digital Income

Pertanyaan menariknya adalah, saat hampir semua orang tak pernah siap atas perubahan atau mampu untuk melakukan prediksi secara akurat atas hasil dari perubahan, apa dan bagaimana yang harus dilakukan? Dalam karyanya di atas, Roger Fidler (1997:1) menyebut pentingnya masing-masing kita untuk mulai memahami kemungkinan bentuk masa depan (probable shapes of the future)dengan cara belajar mengenali pola historis dan mekanisme perubahan (the historic patterns and mechanisms of change). Mengapa penting memahami pola historis dan mekanisme perubahan ini? Sederhana sekali jawabannya. Tak ada perubahan yang tiba-tiba. Tak ada perubahan yang terjadi sekonyong-konyong. Pasti sebelumnya sudah ada indikasinya. Pasti sebelumnya sudah ada isyaratnya. Bentuknya saja yang mungkin tidak seterang perubahannya di masa berikutnya.

Karena itulah,  Roger Fidler (1997:3-4) memperkenalkan konsep yesterday’s future, today’s past. Penjelasannya begini. Jika engkau ingin menjemput masa depan, jangan pernah melupakan masa lalu. Kemarin dan waktu-waktu sebelumnya adalah masa lalu. Di dalamnya sudah pasti banyak kisah dan jalan cerita yang terjadi. Jangan pernah melupakan kisah-kisah bersama jalan cerita itu. Jadikan semua itu sebagai bahan pertimbangan. Karena di sana ada banyak praktik hidup yang membentuk pengetahuan dan kesadaran tertentu dalam hidup. Semua itu dibutuhkan untuk membangun jalan cerita hidup masa kini. Tentu juga masa mendatang.

Pasalnya, dalam kisah bersama jalan cerita itu terdapat keteraturan atau keajegan yang bisa berulang. Bisa sama persis dan bisa pula mirip-mirip. Atau malah bergerak dinamis. Semua itu akan membentuk pola yang mengiringi pengalaman hidup manusia atau yang oleh Roger Fidler disebut dengan istilah the historic pattern, seperti diuraikan di atas. Dalam konteks inilah, seperti disinggung juga sebelumnya, kita diingatkan oleh Roger Fidler untuk melakukan dua hal: mengenai pola historis dan memahami kemungkinan bentuk masa depan. Mengenali pola historis akan memberikan masukan dalam bentuk pemahaman dan kesadaran tersendiri untuk membantu diri memahami kemungkinan bentuk masa depan.

Kedua, jangan lelah berkreasi. Perubahan hidup yang sangat cepat harus disambut dengan sigap. Kreatif adalah terjemahan konkret dari sigap itu. Lebih-lebih, saat kemajuan teknologi membuat hidup semakin cepat berubah, maka hanya sigap yang akan menjadi obat mujarab. Karena itu, menjadi kreatif adalah solusi atas perubahan cepat yang difasilitasi dan disempurnakan oleh kemajuan teknologi itu. Mungkin ada yang bergulat dengan keluhan begini: ini baru diikuti, muncul lagi yang baru. Tapi, yakinlah, keluhan itu tak akan banyak membantu. Minimal untuk keluar sebagai pemenang dari pergulatan yang hadir oleh perubahan cepat di era kemajuan teknologi yang kebat keliwat. Karena itu, prinsip “jangan lelah berkreasi” adalah sikap strategis untuk memenangi perubahan.

Pada titik inilah, kita semua melihat bagaimana kreatifnya bisnis media cetak di tengah gempuran inovasi teknologi digital. Mereka tak hanya melakukan mekanisme bertahan (defence mechanism) dalam melangsungkan bisnisnya dan mempertahankan trade mark-nya. Yakni melalui penyinambungan produksi koran cetaknya semata. Melainkan juga melakukan strategi serang (attack mechanism) terhadap pasar baru. Caranya? Melalui kreasi baru berupa transformasi bisnis media ke dalam layanan dalam bentuk koran digital. Bahkan, lebih dari itu, bukan hanya koran digital yang dilahirkan. Melainkan juga layanan berita online yang real time untuk melengkapi layanan cetak dan digitalnya. Dengan begitu, pembaca pun tak akan kehilangan update berita dengan cepat. Dan rasa ingin tahu mereka pun terobati oleh serangkaian layanan bisnis media itu.     

Jadi, prinsip “jangan gelisah atas masa depan”, seperti yang menjadi pelajaran pertama di atas,  tak akan pernah lahir dan ada kecuali dengan satu syarat: kreatif dalam hidup. Kata “kreatif” ini mengharuskan seseorang untuk selalu hadir dengan pikiran baru dan gagasan besar dalam merespon setiap perubahan. Tanpa sikap dan praktik kreatif ini, maka prinsip “jangan gelisah atas masa depan” tak berlaku. Justru yang harus lahir adalah prinsip balikan: gelisahlah atas masa depan. Itu jika engkau tak pernah berpikir dan bertindak dengan sesuatu yang baru atas yang ada. Tidak kreatif. Sementara perubahan di masa depan akan selalu cepat dan cepat.

Kata “baru” dalam ungkapan di atas bukan berarti dari nol. Bisa saja sesuatu sudah berada pada titik angka 6 dari skala 1 sampai 10. Mendatangkan yang baru bukan berarti Anda harus memulai dari angka 0. Ingatlah prinsip topping. Es krim, sebagai misal, boleh saja semua berasa vanilla. Tapi, topping yang membuat produk es krim itu punya nilai tambah. Saat engkau hadir hanya dengan materi es krim rasa vanilla semata, maka nilai tambah itu tak akan pernah ada. Dan engkau tak akan pernah bisa memenangi dan meraih hati pasar es krim. Ilustrasi topping atas es krim ini hanya salah satu cara saja untuk menciptakan sesuatu yang baru atas produk yang sudah banyak beredar di pasaran.

Contoh yang lain tentu masih banyak. Saat kreatif hadir dalam pikiran dan tindakan, engkau pasti akan memutar otak untuk hadir dengan cara yang tidak biasa-biasa saja. Contoh lain untuk mendatangkan nilai tambah sebagai sesuatu yang baru bisa saja didatangkan dari ukuran dan kemasan. Rasa es krim mungkin sama. Namun karena ukuran dan kemasan dibikin tak biasa, kesan khas dan unik akan menyertai. Sensasi baru atas rasa pun segera muncul dan bisa didapatkan oleh konsumen. Kalau sudah begitu, maka pikiran dan praktik kreatif itu pun bisa mendatangkan pundi-pundi pendapatan yang juga tak biasa-biasa saja. Pengalaman koran yang kuuraikan di atas menjadi bukti pembenar atas penjelasan ini.

Ketiga, jangan pernah kesampingkan kecenderungan yang menyebabkan adanya pasar baru bersama selera dan semua situasi batin yang ada dalam dirinya. Trasformasi layanan, seperti diuraikan pada poin pelajaran pertama di atas, memang penting. Bukan hanya pengusaha koran yang melakukan transformasi media dari sekadar cetak ke juga layanan online. Para wartawannya pun juga didorong untuk juga bermain di pembuatan tulisan yang masuk kategori chicken soup. Materinya ringan-ringan. Disusun pun dalam bahasa yang sengaja dibuat renyah. Hingga pembaca pun bisa mencernanya dengan segala kemudahan. Artinya, pengusaha media dan wartawannya pun sangat terampil membaca  kecenderungan pasar baru bersama selera dan semua situasi batinnya di tengah menguatnya dunia digital.

Foto: Sampul Depan Buku Passive Digital Income

Fenomena baru yang dipertontonkan oleh bos koran bersama wartawannya, seperti diceritakan Hasanuddin Ali di atas, menjelaskan kepada kita: jangan jauh-jauh dari selera pasar. Ikuti secara dekat kecenderungan pasar. Engkau akan bisa memenangi pasar itu. Saat engkau berjarak dari pasar, engkau tak akan bisa meraih hati mereka. Karena akan selalu ada celah antara dirimu dan pasarmu. Celah itu lahir karena kegagalanmu untuk mencerna kebutuhan pasarmu. Saat layanan yang engkau berikan berjarak dari ekspektasi dan kebutuhan pasar, produk layananmu tak akan segera diserpa oleh pasar. Dan engkau pun akhirnya tak akan bisa memenangkan pasar itu.  

Percayalah masa depan hadir bersama kerja keras. Bos koran bersama wartawannya seperti  diceritakan Hasanuddin Ali di atas, memberikan pelajaran konkret kepada kita semua: putarlah otak untuk mendekat ke pasar. Saat teknologi komunikasi digital menguat dengan cepatnya, keras keras untuk menyambutnya juga menjadi solusi.  Dengan begitu, teknologi komunikasi digital pun bisa mendatangkan lahan baru bagi munculnya pendapatan finansial yang mungkin belum pernah terpikirkan sebetulnya. Itulah yang disebut dengan digital income (pendapatan digital). Kalau investasi dan tanam saham bisa disebut sebagai penumbuh passive income, kreatifmu dalam menyambut kemajuan teknologi digital akan bisa mempertebal digital income itu. Lebih dari itu, saat kreatifmu sudah menyentuh praktik bisnis di dunia digital, apa yang disebut oleh Max Chahua dengan istilah kemerdekaan finansial (financial freedom) pun bukan mustahil secara cepat bisa diraih.  

Kasus yang dibahas dalam tulisan ini memang berkaitan dengan pendapatan finansial. Tapi, jangan engkau batasi konsep digital income itu dengan pendapatan finansial semata. Memaknai income dengan pendapatan finansial memang baik karena terukur. Tapi kebaikan itu akan menjadi membesar jika konsep income dimaksud diperluas maknanya ke cakupan yang lebih leluasa hingga menyentuh kebutuhan intelektual nonmaterial. Perluasan makna ini menjadi sangat dibutuhkan oleh setiap pribadi yang kreatif untuk menjemput masa depan secara meyakinkan. Karena itulah, jangan pernah gelisah atas masa depan. Tapi sempurnakan diri dengan kreativitas yang jempolan.