Berita

Pagi itu, kami memulai kegiatan magang pada tanggal 3 Februari 2025 di Disbudporapar (Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata) Kabupaten Mojokerto. Menuju bangunan yang mempunyai ciri khas Majapahit tersebut kami memasuki area dinas, menghadap Kepala Bidang Pariwisata dan lantas diberi arahan serta dilanjut perkenalan. Masing-masing dari kami (Nadiyah, Mia Rahayu, Zakiyah, Fia, dan Silvia) dipecah menjadi 4 bagian bidang, yakni bidang pariwisata, kebudayaan,  kepemudaan, dan olahraga. Namun dalam tulisan ini, kami lebih menekankan kepada bidang pariwisata dan kebudayaan karena linear dengan jurusan Sejarah Peradaban Islam. Selama hampir tiga bulan menjadi mahasiswa magang, kami semakin beradaptasi dengan lingkungan dan orang sekitarnya. Kami berdisukusi terkait kesibukan sebagai karyawan dinas yang menangani berbagai situs bersejarah, bahkan mendapat rekomendasi buku sejarah atau biografi tokoh yang pernah berpengaruh pada era Kerajaan Majapahit di wilayah tersebut.

Kami memanfaatkan bidang pariwisata untuk mengunjungi beberapa situs sejarah seperti Candi Wringin Lawang, Kubur Pitu, Museum Majapahit, dan lain-lain. Kami berkontribusi dalam membuat konten artikel dan video sebagai bentuk promosi wisata sejarah dan budaya kesenian di Kabupaten Mojokerto. Hal ini membuat saya semakin mengenal dan mengagumi Kota Mojokerto. Banyak sekali peninggalan bersejarah yang ditemukan disini, baik berupa koin, nisan, patung, bahkan bangunan besar seperti candi, prasasti dan lain sebagainya. Mojokerto yang saya kenal sebelumnya merupakan kota yang lebih berfokus kepada wisata alamnya karena topografi wilayahnya pegunungan. Namun setelah saya menelusuri jalanan kota, mata saya dimanjakan dengan bangunan yang banyak merekonstruksi arsitektur Kerajaan Majapahit zaman dahulu, yaitu bangunan seperti candi (tumpukan batu bata yang ber cat merah), Lambang Surya Majapahit pada lampu kota, monumen, serta infrastruktur bangunan. Di Kota juga banyak ditemukan tulisan latin yang dimodifikasi Aksara Jawa yang tidak hanya ditemukan pada bangunan dinas atau perkantoran saja, namun juga pada sekolah, pabrik, dan hotel yang menyerupai kota kehidupan kala itu dengan sentuhan yang lebih modern.

Saya, Nadiyah Aulia Zulva, bersama dengan dua teman saya, Fia dan Mia di bidang pariwisata banyak mendapatkan ilmu terkait cara bagaimana orang kantor atau dinas itu bekerja. Kami belajar bagaimana menulis surat-surat penting, input data melalui excel, mengatur event, melakukan kunjungan ke berbagai tempat yang masih berada di naungan Disbudporapar Kabupaten Mojokerto, dan sebagainya. Pada aktivitas magang ini, kami juga mendapat kesempatan untuk dapat mengunjungi berbagai situs-situs bersejarah Kerajaan Majapahit sekaligus bertukar informasi secara langsung dengan masyarakat setempat. Kami diberi akses untuk mengenal budaya di sana dan cerita rakyat yang melegenda hingga saat ini.

Kunjungan pertama kami, tepatnya pada tanggal 5 Februari 2025, yaitu di Museum Majapahit. Museum ini terletak di Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Didirikan pada tahun 1942 oleh Bupati Mojokerto, Ario Kromojoyo Adinegoro dan Ir Henry Maclaine Pont untuk menyimpan temuan arkeologis di sekitar Trowulan. Benda-benda koleksi disusun secara rapi dan teratur, juga ada keterangan singkat dalam Bahasa Indonesia serta Inggris untuk memberikan informasi detail kepada pengunjung yang datang. Pada pintu masuk, kami disuguhkan silsilah keturunan raja dari awal kerajaan tertua di Jawa Timur hingga Kerajaan Majapahit terbentuk di tempat yang disebut Mojokerto sekarang ini. Peninggalan yang dipamerkan di Museum ini kebanyakan jejak dari agama Hindu-Budha, sedangkan jejak Islam hanya disuguhkan dalam satu ruangan saja, baik berupa nisan, gong, gamelan, kitab, dan lain-lain.

Kunjungan kedua kami, tepatnya pada tanggal 26 Februari 2025, yakni di Makam Tujuh atau masyarakat setempat menyebutnya Kubur Pitu. Kompleks pemakaman ini terletak di Desa Sentorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Kubur Pitu merupakan pusara peninggalan sejarah Islam pada era Majapahit. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya ukiran pada nisan yang bergambar Surya Majapahit yang mana menjadi ciri khas lambang kerajaan kala itu. Di salah satu nisan dari ketujuh makam tersebut juga terukir angka tahun 1298 Saka (1376 M) yang jika ditelisik lebih dalam akan merujuk pada era dimana Hayam Wuruk berkuasa  (1350- 1389 M). Seperti yang kita tahu sebelum datangnya Islam, wilayah Nusantara lebih didominasi oleh agama Hindu, Budha, dan Kapitayan. Ini menunjukkan bahwa toleransi terhadap agama Islam di Nusantara, khususnya Trowulan, telah terjadi berabad-abad yang lalu bahkan ketika masa Kejayaan Majapahit di bawah kekuasaan Hayam Wuruk.

Tepat disinilah kami berkesempatan untuk berbicara dan bertanya kepada juru kuncinya. Namanya Pak Heri, beliau diberi amanah oleh generasi sebelum-sebelumnya untuk menjaga dan merawat kompleks pemakaman ini. Disaat kami membuka satu persatu tudung kuning yang membalut nisan tersebut, Pak Heri berkata “Nisan yang itu berbeda dari yang lainnya, Nak” Pak Heri menunjuk salah satu nisan barisan ke empat di sebelah kanan. “Itu dipercaya milik Sabdo Palon, ada ukiran berupa segitiga tumpal dibawah Surya Majapahit.” Sambungnya.

Nadiyah, “Sedangkan nisan yang ini bagaimana Pak? Mengapa pada nisan ini ujungnya menjorok ke dalam?”

Pak Heri, “Nisan yang ujungnya menjorok ke dalam itu perempuan kalau memiliki ujung lancip yang menjorok keluar itu laki-laki.”

Silvia, “Apakah di area pemakaman ini ada makam Hindu-Budha?”

Pak Heri, “Tidak ada, karena proses pemakaman Hindu-Budha adalah kremasi, sedangkan islam dikuburkan dan menghadap ke selatan.

Percakapan kami berhenti, karena Pak Heri ada janji temu dengan kepala desa dan orang dari pemerintahan. Setelah itu, kami diarahkan menuju Kubur Telu (Makam Tiga) yang berada di dalam satu ruangan dengan Makam Syekh Jumadil Kubro. Kami diberi akses untuk melihat langsung nisan yang bertudung putih. Namun sayangnya kami tidak bisa melihat secara langsung bagaimana bentuk nisan Syekh Jumadil Kubro, sang pelopor masuknya Islam di Tanah Jawi, karena beliau harus mengambil kuncinya dulu ke Kepala Desa. Jika ada kesempatan di lain hari, kami akan mengunjungi makam tersebut dengan persiapan yang lebih matang, sehingga bisa bertanya secara detail mengenai sejaraH pada area makam tersebut.

Kunjungan ketig kami, tepatnya pada tanggal 28 Februari 2025, di Candi Wringin Lawang. Candi ini terletak di Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa gapura ini adalah pintu masuk ke kompleks bangunan penting di Ibu Kota Kerajaan Majapahit. Banyak orang berspekulasi tentang fungsi asli bangunan ini, salah satu yang paling umum adalah bahwa gerbang ini dimaksudkan untuk memasuki kediaman Mahapatih Gajah Mada. Kami diajak oleh pegawai Pariwisata untuk membuat konten video sebagai bentuk promosi wisata sejarah. Kami belajar sekaligus berpikir bagaimana konten sejarah menjadi menarik bagi anak muda zaman sekarang maupun orang awam. Sementara ini hanya 3 situs itu saja yang kami kunjungi, di lain kesempatan kami akan mengunjungi situs sejarah lainnya yang ada di Mojokerto.

Selain mengunjungi situs bersejarah di atas, kami juga mempelajari manajemen dan pencatatan budaya berupa adat istiadat di sekitar daerah Kabupaten Mojokerto, yang secara resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda dan memperkenalkan berbagai bentuk kebudayaan yang masih dihidupkan di tempat ini. Ayu, Silvia, dan Zakiyah yang menjadi bagian peserta magang bidang kebudayaan memanfatkan bidang ini untuk melakukan pencatatan dan pengumpulan data tentang Kesenian yang ada di Kabupaten Mojokerto. Mereka juga membuat surat perizinan kebudayaan yang ada di Kabupaten Mojokerto melalui website pada laman https://sikebud.id/.

Melalui laman ini, mereka mendapat hal baru tentang kesenian di Mojokerto, contohnya seperti kesenian yang disebut “Bantengan”, yaitu pertunjukan yang menampilkan aksi seorang penari berkepala banteng dengan diiringi musik tradisional. Bantengan juga dipercaya sebagai dewa pelindung yang dapat menjauhkan masyarakat dari bahaya. Kemudian pertunjukan “Ludruk” , atau umum diketahui ssebaga seni teater tradisional yang mengangkat cerita kehidupan sehari-hari masyarakat dengan sentuhan komedi dan kritik sosial. Ada pula “Wayang kulit”, salah satu kesenian Jawa yang juga dikembangkan oleh masyarakat Mojokerto yang masi ada dan memiliki banyak dalang terkenal. Seni Tari di Mojokerto juga tak kalah eksis dengan kesenian lainnya. Tari Mayang Rontek, merupakan seni tari yang menggambarkan era keislaman di masa Majapahit melalui keindahan dan keanggunan. Begitu juga dengan seni lukisnya yang mempunyai ciri khas budaya dan sejarah Majapahit, contohnya adalah lukisan Gajah mada. Perjalanan kami tentu saja mendapat sedikit hambatan, yang mungkin menjadi evaluasi dan pembelajaran agar lebih baik kedepannya. Magang ini memberikan kami pengalaman berharga bahwa sejarah, seni dan budaya daerah benar-benar layak dihormati, dilestarikan, dipelajari, dan diperkenalkan kepada masyarakat luas untuk mencegah kelangkaan atau kepunahan yang disebabkan oleh kurangnya sumber daya manusia sebagai pelaku serta penggemar seni tradisional di Indonesia. Di tengah serbuan bahasa dan budaya asing, kita juga harus mampu memperkenalkan budaya kita kepada khalayak di luar sana. Sehingga nantinya hal ini dapat dicatat sebagai “Warisan Budaya” yang dihidupkan oleh generasi yang akan datang.