“Like the one-time popular Indonesian poco-poco dance, democracy has been a case of two steps forward and one step back”. (Endy Bayuni: 2020) Kutipan tulisan tersebut diambi dari foreword buku Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression, sebuah buku yang telah menjadi “alarm” perkembangan demokrasi di Indonesia, terutama di era Presiden Jokowi. Dengan fokus yang berbeda, Refleksi Politik 2022 yang diadakan Program Studi Ilmu Politik pada hari Rabu 28 Desember 2022, berusaha melihat trend regresi demokrasi global untuk melihat demokrasi dan kesejahteraan di Indonesia, yaitu “Kemunduran dan Ketangguhan Indonesia di Era Regresi Demokrasi Global.”
Acara ini mengundang narasumber tunggal Fathoni Hakim – Ketua Jurusan Fisip sekaligus Pengamat politik Internasional dan dipandu oleh Noor Rohman – Kaprodi Ilmu Politik. Refleksi berlangsung dalam forum yang terbatas namun dengan suasana yang sangat hidup. Karenanya, ide untuk menuliskan secara serius pikiran-pikiran yang dituangkan dalam forum tersebut sangat penting, alih-alih membiarkannya berlalu hanya menjadi catatan di masing-masing kepala peserta.
Dalam memantik diskusi, narasumber menegaskan bahwa regresi demokrasi global yang terjadi di banyak belahan dunia, sesungguhnya telah mendapat perhatian kalangan akademisi selama beberapa tahun terakhir. Bahkan Uni Eropa yang negara-negaranya banyak menyumbang posisi sebagai kampium demokrasi dunia, mengungkap keprihatinan atas kemunduran demokrasi di Eropa. Rusia, Polandia, Belarusia, dan Turki disebut-sebut mengalami kemunduran demokrasi yang sangat signifikan.
Regresi demokrasi menemukan momen klimaks saat 6 Januari 2021, Capitol Hill diserang oleh pendukung Donald Trump, yang menganggap kemenangan Joe Biden dilakukan dengan cara yang curang. Kejadian mencengangkan yang terjadi di negara yang banyak mendiktekan nilai-nilai demokrasi dunia, meletakkan Amerika di daftar negara yang mengalami regresi demokrasi.
Asia juga mendapat sorotan yang tajam dalam regresi demokrasi. India yang mencatat sebagai negara demokrasi terbesar di wilayah ini, mengalami kemunduran dengan rezim yang represif dan populis saat ini. Indonesia tidak kalah dibombardir dengan regresi demokrasi, dan menguatnya oligarkhi – menurut narasumber – adalah catatan terburuk dari regresi demokrasi di Indonesia. Tentu saja ini belum termasuk money politics yang sudah kronis, politisasi agama dalam kontestasi, dan jurang yang menganga antara demokrasi dan persoalan kesejahteraan.
Dalam sesi diskusi, catatan tentang penguatan oligarkhi diamini oleh peserta dengan menyebut alih-alih untuk rekonsiliasi, koalisi Jokowi Prabowo adalah bentuk penguatan oligarkhi dengan perusahaan-perusahaan raksasa nasional dan multinasional di belakangnya. Ide brillian tentang koperasi dari Bung Hatta, yang sesunggunhya mendekatkan sistem ekonomi Indonesia ke sosialisme, semakin meredup di era sekarang ini. Agama dan politik atau lebih tepatnya Islam dan politik juga menjadi poin yang penting untuk dilihat dalam demokrasi di Indonesia. Dalam konteks ini penting untuk merekognisi dua Organisasi Islam – NU dan Muhammadiyah – sebagai penyangga yang lebih kuat pada demokrasi di Indonesia, dalam rangka membendung radikalisme dan fundamentalisme.
Catatan lain dari peserta adalah ajakan untuk mempertanyakan kembali substansi dari demokrasi: apakah demokrasi adalah untuk demokrasi ataukan demokrasi untuk kesejahteraan. Dalam sistem demokrasi di mana kedaulatan adalah di tangan rakyat, penting untuk menekankan bagaimana proses demokrasi bisa melahirkan kesejahteraan yang lebih baik. Ini seringkali menumbuhkan rasa frustasi, karena ide-ide menarik yang digagas dalam kontestasi, seolah hilang pasca kontestasi dengan adanya pembagian “kue” hasil demokrasi yang menafikan pentingnya membangun kesejahteraan. Dalam hal rasa frustasi ini, narasumber juga mengutip statemen salah seorang pengusaha besar di Surabaya, yang berpendapat untuk tidak meributkan casing dari sistem politik yang kita punya, namun lebih pada output, bagaimana proses politik yang bisa memabawa hasil kemanfaatan bagi masyarakat banyak.
Di tengah rasa pesimis yang dibangun dalam diskusi, vice versa beberapa peserta juga mengajak untuk lebih optimis dengan mencoba untuk melihat kekuatan masyarakat sipil Indonesia dalam berjuang untuk hidupnya – everyday politics shows that people have power to make a difference in their communities (2019). Penguatan masyarakat sipil adalah hasil dari demokrasi yang berkembang ke arah positif. Peserta menunjukkan bagaiaman ketangguhan ini sesungguhnya beririsan pula dengan institusi dan organisasi yang ada di masyarakat dan negara. Demikian halnya fenomena post elections di level nasional, lokal, bahkan di pedesaan, menunjukkan fenomena yang beragam – yang tidak selalu negatif – walaupun carut marut dalam prosedurnya.
Dalam konteks ini pemandu acara mengajak untuk membaca tulisan Ken Setiawan (2022) yang berjudul Vulnerable but Resilient: Indonesia in an Age of Democratic Decline, yang berusaha menjelaskan bagaimana daya tahan demokrasi Indonesia di tengah kondisi regresi yang masih berlangsung. Ken seperti mengajak kita untuk lebih jeli dan sensitif dalam membaca kemunduran demokrasi yang berlangsung di Indonesia. Ken seperti menegur kita agar tetap menyediakan ruang perhatian pada momen-momen yang merefleksikan ketahanan dan ketangguhan demokrasi Indonesia. Secara komparatif, Allen Hicken (2020) melihat sesungguhnya demokrasi di Indonesia jika dibandingkan dengan negara tetangga di Asia Tenggara terlihat lebih maju. Namun beban demokrasi terlihat pada masih kuatnya praktek klientelisme, lemahnya partai politik dan polarisasi masyarakat yang berdampak buruk pada pengelolaan perbedaan pendapat.
Hal lain adalah pentingnya melihat demokrasi tidak hanya direduksi dalam konteks penggunaan hak pilih di bilik suara (voting centric). Lebih jauh dari itu, demokrasi sesungguhnya adalah tentang tersedianya ruang deliberasi publik (talking centric). Negara wajib memastikan adanya ruang publik yang bebas untuk berekspresi dan saling berargumentasi. Dengan demikian, media sebagai alternative democracy, juga merupakan variabel tak terpisahkan dalam melihat perkembangan kontemporer demokrasi di Indonesia. (AN)