“Kita tidak boleh congkak; Kalau bantu teman, kita bantu dengan tulus.” Begitu kalimat itu sayup-sayup ku dengar. Dari bagian depan dekat kasir. Diucapkan oleh seorang lelaki. Tampak dia sebagai pimpinan café itu. Dia ucapkan kalimat itu di depan para pegawai. Jumlahnya mencapai 10 orang. Jarakku dengan mereka kira-kira lima meter. Dekat. Tapi kalimat yang terucap tidak dengan suara yang terlalu keras. Tapi, aku bisa pastikan, mereka sedang melakukan briefing. Lelaki pimpinan café itu sedang memberikan arahan kepada seluruh pegawainya. Semua dalam posisi berdiri. Termasuk sang pimpinan itu.
Kala itu, Hari Rabu (27 November 2024). Persis di hari melaksanakan coblosan Pilkada 2024. Jam menunjuk 15:00 WIB. Pada waktu di siang jelang sore itu, aku dan anak-istriku sedang berada di area dalam dari café itu. Kami sedang menikmati sajian kuliner kesukaan. Café itu bernama Kanigara. Berada di area Perumahan Pondok Jati, Sidoarjo. Tidak jauh-jauh dari exit tol Sidoarjo Kota. Kami datang pukul 14:00 WIB. Sejam kami berada di situ. Menikmati kuliner yang maknyus. Sambil ngobrol sana-sini untuk memanfaatkan waktu kumpul bersama. Family time, istilah kerennya.
Kucatat briefing yang dilakukan pimpinan café itu berjalan lebih dari setengah jam. Karena hingga kami harus keluar meninggalkan café itu pada jam 15:30 WIB, briefing itu masih berlangsung. Dan, sekali lagi, briefing itu dilaksanakan dalam posisi mereka berdiri di sebelah depan dekat dengan kasir pelayanan. Semua mata pegawai tertuju ke muka lelaki yang sedang memimpin dan memberi arahan. Tak ada satupun dari mereka yang berpaling ke kiri dan ke kanan. Semua memberikan perhatian. Setiap mereka mendengarkan setiap kalimat yang pimpinan café itu ucapkan. Dan setiap mereka juga dengan penuh seksama menangkap pesan penting yang disampaikan.
Tampak sekali bahwa briefing itu terkait dengan perkembangan penjualan hari itu. Buktinya, pembicaraan yang terdengar berkutat mulai dari jenis makanan atau minuman yang paling sering dipesan konsumen seharian itu. Hingga berkaitan dengan cara meningkatkan pelayanan kepada pengunjung saat mereka begitu memadati café itu. Bahkan, saat menyampaikan pendapatnya, sang pimpinan mengajak para pegawai itu untuk menolehkan pandangan ke arah meja pengunjung tertentu. Pertanda bahwa ada case tertentu yang sedang menjadi fokus pembicaraan. Lalu mereka diminta untuk memberikan perhatian.
Masing-masing pegawai juga diberi ruang untuk menyampaikan pendapatnya. Kulihat dengan jelas bahwa pembicaraan tidak semua berasal dari satu orang saja. Termasuk dari pimpinan. Banyak di antara pegawai itu secara bergantian mengutarakan laporan tentang perihal yang sedang atau telah dihadapi kala itu. Termasuk juga perspektifnya dalam memandang perihal dimaksud. Lalu, setiap laporan atau perspektif itu dibahas secara mendalam oleh sang pimpinan. Di ujung pembahasan masing-masing atas hal itu, kudengar sang pimpinan memberikan arahan. Salah satu arahannya adalah kalimat yang kukutip di awal tulisan di atas.
Melihat materi perbincangan dalam briefing itu, kutangkap kuat bahwa mereka tak hanya sedang membincangkan persoalan item jualan kuliner yang sedang dilayankan kepada pengunjung. Juga ada materi lain yang berkaitan dengan pengembangan diri pegawai dalam hubungannya dengan mutu layanan. Kalimat “Kita tidak boleh congkak; Kalau bantu teman, kita bantu dengan tulus” yang kukutip di awal tulisan ini menjelaskan bahwa materi briefing tak hanya soal barang jualan-dagangan. Tapi juga pelajaran pengembangan diri pegawai dalam hubungannya dengan penunaian tugas pelayanan.
Khususnya dalam kaitan dengan kalimat yang kukutip di atas, materi pengembangan diri dimaksud berhubungan dengan semangat kolegial dalam memberikan pelayanan terbaik kepada pengunjung. Penggalan kalimat yang berbunyi “Kita tidak boleh congkak” jelas mengindikasikan bahwa mental kerja menjadi perhatian serius pimpinan café itu. Apalagi, bidang usaha itu berkaitan erat dengan hospitality. Bisnis keramahan. Maka, mental kerja menjadi penting. Untuk memperkuat bisnis kuliner. Penggalan kalimat “Kalau bantu teman, kita bantu dengan tulus” semakin menunjukkan bahwa mental kerja menjadi perhatian utama. Semua dalam kerangka pengembangan diri dalam penunaian tugas pelayanan.
Penting kusebut. Briefing di café itu dilakukan tanpa menghentikan pelayanan kepada pengunjung. Saat ada pengunjung yang baru datang, langsung salah seorang pegawai yang sedang mengikuti briefing itu keluar dari lingkaran kelompok, lalu mengambil daftar menu. Sebelumnya, dia ucapkan seperti ini: “Selamat datang. Silakan.” Lalu dia bergegas menuju meja pengunjung baru itu. Dia layani pengunjung itu dengan cekatan. Tampak dia tuliskan semua yang dipesan oleh pengunjung baru itu. Hingga pesanan lalu disampaikan kepada pegawai bagian processing menu di bagian depan-dalam.
Tidak hanya itu. Pelayanan terbaik juga tetap mereka lakukan kepada konsumen. Dengan penuh keramahan. Saat ada konsumen yang mulai berdiri untuk meninggalkan ruangan dalam café, ada suara yang keluar dari pegawai yang sedang mengikuti briefing itu. Begini kalimatnya: “Terima kasih, kakak.” Aku pun juga merasakan pelayanan terbaik mereka itu. Buktinya, saat mau pulang dan akan meninggalkan ruangan dalam café itu, ku dengar pula kalimat keramahan mereka. “Terima kasih, Bapak,” begitu kalimat keramahan yang keluar dari sejumlah pegawai yang sedang mengikuti briefing sambil berdiri itu.
Artinya, semua layanan terbaik ditunaikan oleh para pelayan café itu. Tak ada yang terlewat. Bahkan, saat sebelumnya aku dan anak-istriku tak kebagian tempat di dalam ruangan yang ber-AC itu, kami dipersilakan untuk menempati meja-kursi di bagian serambi. Namun, sepuluh menit kemudian saat ada meja-kursi di ruangan dalam tersedia-kosong, kami ditawari untuk pindah ke bagian dalam. Itu pun dengan keramahan yang luar biasa mengesankan. “Bapak, silakan masuk ruangan dalam. Soal minuman di meja ini biar kami bawakan masuk.” Begitu kalimat yang diucapkan pimpinan café itu kepadaku saat menawariku dan anak-istriku untuk pindah ke ruangan bagian dalam café. Sungguh ramah dan mengesankan sekali.
Menjaga mutu layanan tampak menjadi perhatian serius oleh pemilik dan pengelola café itu. Praktik keramahan adalah pintu masuknya. Buktinya, meskipun briefing sedang berlangsung, selalu ada wakil dari mereka yang bergegas menyambut setiap tamu yang baru datang dan memasuki ruangan. Untuk menjaga mutu layanan. Caranya, melalui praktik keramahan. Bahkan, dari sejumlah kalimat yang keluar dari pimpinan café saat memberi arahan dalam briefing itu, seperti kuuraikan di atas, tertangkap kuat sekali bahwa pengelola café bukan saja berpikir tentang sales atau lakunya produk kuliner mereka. Melainkan juga menjaga mutu keramahan dalam layanan. Artinya, mutu layanan menjadi perhatian penting selain lakunya barang dagangan.
Mendapati sejumlah fakta di café di atas, termasuk pengalaman pelayanan yang mengesankan itu, ingatanku melayang ke pengalaman sendiri saat bersama tim manajemen fakultas mengelola FEBI dan FISIP. Antara tahun 2014 hingga 2022. Kala itu, di periode 2014-2018, aku diberi amanah oleh Prof. Abd. A’la selaku pimpinan universitas untuk menjabat posisi dekan yang merangkap dua fakultas, FEBI dan FISIP. Sedangkan pada periode 2018-2022, aku diamanahi Prof. Masdar Hilmy, rektorku kala itu, menjadi dekan FISIP secara khusus. Waktu itu, aku juga lakukan briefing tiap hari. Mulai persis jam 07:30 pagi. Saat mengawali pekerjaan hari itu.
Dalam briefing setiap pagi itu, kubahas bersama anggota tim manajemen fakultasku. Apa saja masalah yang kemarin harinya muncul. Semua harus selesai hari itu. Juga, pekerjaan yang akan dilakukan sepanjang hari itu. Kami semua kala itu memiliki moto kerja: “Tak boleh ada pekerjaan yang tak selesai.” Juga, “tak boleh ada masalah yang nggak terselesaikan hari itu juga.” Semua dimitigasi harian. Agar jika ada masalah, tak akan berkepanjangan. Juga, agar setiap kita belajar atas kejadian sebelumnya. Kepentingan akhirnya adalah untuk menciptakan kinerja terbaik di bidang tugas masing-masing.
Briefing harian itu kami lakukan dengan berdiri. Aku dan para pimpinan fakultas langsung bergeser ke ruangan administrasi begitu jam menunjuk angka 07:30 WIB itu. Tiap hari kami lakukan kegiatan itu. Dengan penuh disiplin. Setiap pagi. Dengan berdiri. Walaupun hanya 15 menit saja. Kebetulan, jam kuliah pertama baru mulai jam 07:45 WIB. Jadi ada waktu sekitar 15 menit lamanya. Untuk melakukan briefing. Sebelum masing-masing mulai melaksanakan tugas utamanya. Termasuk bagi dosen yang sedang menjadi tim manajemen fakultas. Yang juga punya tugas mengajar. Sebagaimana dosen pada umumnya.
Makanya, kala aku dan anak isteriku melihat pemandangan briefing di Café Kanigara di Sidoarjo akhir November 2024 lalu, pikiranku langsung melayang ke pengalaman sendiri sepuluh tahun terakhir. Ya, saat aku menjadi dekan FISIP dan FEBI kala itu. “Aha, jadi ingat suasana FEBI dan FISIP kala itu nih,” begitu ucapku kepada isteri dan anakku kala menyaksikan briefing di Café Kanigara itu. Mirip sekali. Yang dibahas tak hanya masalah uraian tugas. Tapi juga semangat dan mental kerja yang harus ditegakkan dalam bertugas. Karena kami percaya hanya dengan semangat dan mental kerja yang baik, kinerja akan tercipta maksimal.
Kala itu, kami di dua fakultas itu punya prinsip kerja committed to excellence. Bertekad kuat untuk unggul. Ya, berkehendak untuk dapat tampil unggul dalam banyak aspek dari tugas yang dibebankan oleh pimpinan. Buku Smart Management, seperti tampak di antaranya pada sampul belakangnya yang ditampilkan di bawah, mengilustrasikan kehendak kerja dengan prinsip dimaksud. Mengapa prinsip kerja itu kami ciptakan? Karena FEBI dan FISIP yang kami kelola kala itu tak punya pengalaman sebelumnya. Beda dengan fakultas-fakultas lainnya dalam rumpun ilmu agama di kampus kala itu. Mereka memiliki sejarah panjang dalam penyelenggaraan dan pengelolaan layanan akademik program studi dan fakultas.
Kami bangun dua fakultas itu di awal berdirinya dengan semangat ini: Kita tidak punya masa lalu. Yang kita punya hanya masa depan. Maka, tidak boleh salah dalam mengelola fakultas ini saat ini. Salah mengelola, FEBI dan FISIP akan segera menjadi masa lalu yang dilupakan. Tak pernah akan dihitung karena tak ada prestasi yang diraih. Dengan semangat itulah, setiap kami di tim manajemen kedua fakultas baru itu bergegas untuk melompat. Jalan melangkah bukan opsi yang tepat. Bukan pilihan yang bermanfaat. Begitu caraku dan kawan-kawanku di kedua fakultas itu membangun kinerja di dua fakultas baru itu. Mumpung masih baru. Maka, semua harus dibangun dengan komitmen kerja yang bermutu.
Bahkan, untuk menerjemahkan prinsip kerja committed to excellence di atas, kami mengembangkan jargon kerja begini: Tak apa datang belakangan, tapi kita tunggu mereka di garis finish. Jargon itu kami ciptakan dan kembangkan untuk membangun sistem kerja yang utama. Mumpung FEBI dan FISIP itu merupakan fakultas baru. Berdiri sebagai berkah dari transformasi kelembagaan institut (yakni IAIN) ke universitas (yakni UIN). Maka, tak masalah baru berusia seumur jagung. Tapi, soal kinerja, FEBI dan FISIP kala itu tak boleh kalah dengan lainnya yang sudah terlebih dulu dan bahkan sudah sangat lama menggaung. Dan, briefing harian kami ambil sebagai instrumen untuk cepat melompat. Untuk mencapai nilai keunggulan yang hebat. Detail penjelasan soal itu bisa dijumpai di buku yang kutulis kala itu, Smart Management, seperti di bawah ini:
Lalu pertanyaan yang sangat mungkin muncul, apa pentingnya briefing? Apalagi harian pula? Memang, harus kusebut, apa yang kudapati dengan praktik briefing di Café Kanigara dan pengalamanku sendiri menjalankan briefing harian di sepanjang masa jabatanku sebelumnya sebagai dekan dua periode di FEBI dan FISIP UINSA memberikan banyak pelajaran penting. Sebagai pelajaran pertama, keberadaan briefing terbukti sebagai momentum penting untuk menjamin kinerja terbaik. Setiap masalah yang muncul dibahas, dimitigasi, dan dicarikan solusi. Masalah hari itu tak boleh menunggak ke hari berikutnya. Atau masalah yang terjadi di akhir hari kerja sebelumnya dibahas dan dicarikan solusinya pada pagi di keesokan harinya.
Dengan begitu, tak ada masalah yang tak terbaca. Pula, tak ada masalah yang tak terselesaikan. Semua dalam kendali. Untuk mendapatkan solusi terbaiknya. Pengalamanku selama menjadi dekan dua periode telah membuktikan kebenaran hal itu. Eeeiittt…, yang kudapati di Café Kanigara seperti yang kujelaskan di atas menambah perbendaharaan praktisku atas pentingnya briefing dalam penunaian tugas pekerjaan. Artinya, dua pengalaman yang kudapati tersebut cukup menjadi bukti konkret bahwa briefing adalah cara untuk mencapai kemuliaan dalam tugas dan jabatan. Karena briefing tak akan meninggalkan masalah pada pekerjaan.
Sebagai pelajaran kedua, briefing memainkan peranan penting untuk merapikan barisan. Pengalamanku dan pengelola Café Kanigara dalam menyelenggarakan briefing harian di atas menunjukkan bahwa sejatinya briefing bukan hanya cara untuk mencapai kemuliaan dalam tugas dan jabatan semata-mata, seperti disinyalir sebelumnya. Bahkan lebih dari itu, briefing itu sendiri adalah kemuliaan. Karena dari sana lahir banyak kebijakan. Normatif maupun praktis. Melalui bincang harian sambil berdiri. Keran komunikasi pun selalu terbuka lebar. Untuk terciptanya kohesi manajemen yang jempolan. Dan semua itu adalah kemuliaan itu sendiri. Ya, kemuliaan di tempat kerja. Workplace wellness, istilah asingnya.
Ketiga, briefing adalah kesempatan untuk mempercepat munculnya chemistry dalam relasi pekerjaan. Memang, pimpinan dapat menggunakan kesempatan briefing untuk memperkuat pengembangan diri pegawai dalam menunaikan layanan rutin secara bermutu. Namun, semua pegawai yang terlibat di dalamnya bisa menyampaikan pendapat dan perspektif atas masalah yang dihadapi. Dengan mekanisme kebersamaan itu, briefing bisa memainkan peran penting untuk memunculkan keterikatan emosional setiap mereka yang menjadi bagian dari kerja profesional di dalam institusi itu.
Meminjam perspektif Robert D. Putnam (lihat karyanya Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community, 2000) untuk konteks dan diskursus tentang modal sosial, briefing bisa menjadi instrumen untuk memperkuat fungsi bonding (pengikat). Fungsi itu akan menarik semua unsur diri dalam sebuah institusi ke dalam ikatan solidaritas di dalamnya. Dengan ikatan yang kuat itu, maka kekuatan kebersamaan yang menjadi wujud konkret solidaritas akan tercipta. Termasuk di antaranya untuk kepentingan dan konteks penunaian pekerjaan di sebuah institusi.
Mengapa bisa begitu? Karena fungsi bonding, meminjam ungkapan Putnam Robert D. (2000:20) di atas, “…is good for undergirding specific reciprocity and mobilizing solidarity.” Fungsi bonding itu baik untuk mendukung hubungan timbal balik tertentu dan sekaligus memobilisasi solidaritas. Hubungan timbal balik yang dimaksud di sini menandai kuatnya ikatan antar para individu yang berada dalam sebuah gugus sosial atau gugus kerja tertentu pada satu sisi, dan sekaligus mengisyaratkan berjalannya pola hubungan yang baik di antara mereka itu pada sisi lainnya. Sementara pada saat yang sama, fungsi bonding itu bisa memperkuat ikatan solidaritas kelompok di internal gugus sosial atau gugus kerja tertentu itu.
Menunjuk penjelasan panjang di atas, maka penting disadari bahwa briefing itu bukan saja penting. Dalam sejumlah kasus, justru briefing itu sudah masuk ke dalam taraf genting. Terutama saat load pekerjaan sedang tinggi-tingginya. Itu semua harus dilakukan agar seluruh pekerjaan yang sedang dalam kewenangan bisa tertunaikan dengan optimal. Bahkan juga, agar detail dari pekerjaan itu bisa terurai-terselesaikan dengan maksimal. Maka, memiliki daya nalar yang baik atas amanah adalah modal dasar untuk bisa menerjemahkan apa yang penting dan yang genting dari tugas pekerjaan. Ujungnya adalah kinerja yang jempolan. Dan briefing adalah instrumen konkret untuk langkah pencapaian.