Column

لَهٗ مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ يَحْفَظُوْنَهٗ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚوَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ

“Baginya (manusia), ada (malaikat-malaikat) yang menyertainya secara bergiliran dari depan dan belakangnya, yang menjaganya atas perintah Allah. Sungguh Allah tidak mengubah keadaan suatu masyarakat sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Apabila Allah menghendaki keburukan (bencana) terhadap suatu masyarakat, tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (QS. Ar Ra’du [13]: 11)

Pada ayat-ayat sebelumnya dijelaskan, Allah SWT Maha Mengetahui kehidupan bayi dalam perut ibunya. Dia juga Maha Mengetahui apa saja yang terlintas dalam hati setiap orang dan yang diucapkannya. Sebagai kelanjutan, ayat ini menjelaskan, Allah SWT tidak hanya mengetahui apa saja yang dilakukan manusia, tapi juga mengutus para malaikat untuk melindunginya dari bencana yang akan menimpanya.

Ada tiga pesan penting dalam ayat ini. Pertama, bersenanglah dalam menjalani kehidupan. Jangan takut, cemas atau merasa sendirian ketika menghadapi kejahatan manusia atau bencana alam. Sebab, Allah SWT telah mengutus malaikat untuk menjaga kita dari depan dan belakang. Setiap pagi dan malam, Allah mengutus dua malaikat secara bergantian menjaga kita dari arah depan dan belakang. Ali bin Abi Thalib, r.a pernah berkata kepada pengawalnya, “Untuk apa engkau mengawalku. Tidakkah sudah ada dua malaikat di depan dan belakangku yang lebih canggih menjagaku?” Para malaikat terus mengawal manusia, kecuali jika pada jam itu telah ditetapkan Allah sebagai hari kematiannya. Jika, pada jam itu telah ditetapkan sebagai jam kematiannya, para malaikat tidak boleh lagi ikut campur.

Kedua, jika ingin keadaan kita berubah, jangan berharap Allah SWT memenuhi harapan itu sebelum kita melakukan perubahan cara berpikir dan cara bekerja kita. Albert Einstein berkata, “Insanity is doing the same thing over and over again, and expecting different results (kegilaan adalah melakukan hal yang sama terus menerus dan berharap meraih hasil yang berbeda).”

Berikut ini sebuah contoh kasus. Ada seorang gadis (40 tahun) yang ingin segera mendapat pasangan hidup. Jika cara berpikirnya tetap saja, antara lain, terlalu ideal tentang kriteria seorang suami, ingin serba instan, dan budi pekertinya juga tidak berubah, besar kemungkinan ia tidak mendapatkan pasangan seumur hidupnya. Bisa saja Allah SWT berkata kepada gadis itu, “Rubahlah cara berpikirmu, cara bicara, sikap dan tindakanmu dalam pergaulan. Aku menunggu perubahanmu, lalu akan merubah keputusan-Ku.”

Demikianlah Allah SWT menunggu perubahan kita sebelum Allah membuat keputusan baru tentang diri kita. Jangan berharap istri berubah menjadi wanita salehah, sebelum suami berubah terlebih dahulu dari perilaku yang menjengkelkan menjadi suami yang sabar, lembut dan banyak mengapresiasi. Jangan pula berharap Allah menambah penghasilan kita, jika cara berpikir, semangat kerja, cara bertransaksi dengan pelanggan tetap sama, tak ada perubahan sama sekali. 

Dalam level yang lebih luas, jangan berharap masyarakat muslim bisa memimpin dunia seperti masa lalu, jika cara berpikir, semangat kerja, semangat persaudaraan, dan semangat keilmuan masih terus seperti sekarang ini, atau bahkan lebih memprihatinkan dari waktu ke waktu.

Untuk lebih menguatkan semangat perubahan, berikut ini saya kutipkan  beberapa hal dari buku “Kaifa Nughayyiru Ma Bi Anfusina (Mengubah Hal-hal Negatif dalam Diri), karya Dr. Majdi Hilali. Dalam kata pengantar penerbit, dikatakan, mengapa kita (muslim) tertinggal dalam banyak hal oleh negara-negara Barat, padahal mereka tidak memiliki sumber daya alam sekaya kita? Mengapa, sekian abad silam, kita berhasil menjadi pemimpin dunia dalam ekonomi dan politik, serta sains dan teknologi, padahal saat itu sumber daya alam kita belum ditemukan? Mengapa kita menjadi The Sleeping Giant (raksasa yang tidur), bahkan semakin pulas tidur kita? Mengapa kita hanya pandai mengutip hasil temuan ilmiah non-muslim, lalu kita melecehkan temuan itu dengan mengatakan bahwa temuan itu terlambat, sebab telah disebutkan Al Qur’an secara implisit sekian abad yang silam? Mengapa kita selalu berteriak mencari kambing hitam, menuduh bahwa semua keterpurukan itu akibat dari konspirasi jahat orang-orang non-muslim?

Semua pertanyaan tersebut dijawab singkat dalam buku ini, bahwa semua itu karena kita tidak merubah cara berpikir untuk lebih progresif dan bekerja lebih keras dalam keilmuan dan ekonomi seperti para pendahulu kita. Andaikan cara berpikir dan bekerja kita telah berubah, itu pun tidak bisa dilakukan secara perorangan, melainkan perubahan kolektif. Amat disayangkan, energi kita terkuras habis untuk caci-maki sesama muslim dan berselisih dalam hal-hal yang tidak fundamental. 

Dr. Majdi Hilali dalam buku yang ditulis pada tahun 1980-an itu menambahkan, kita hampir frustasi melihat keadaan muslim dunia yang memprihatinkan sekarang, termasuk masyarakat Palestina yang tak berdaya menjadi sasaran kebrutalan Israil. Kita sampai bertanya, mengapa doa kita tidak dikabulkan Allah sebagaimana doa Nabi Musa dan Nabi Nuh ketika menghadapi musuh yang kafir dan zalim? Ia menjawab, semuanya itu karena kita hanya mengandalkan usaha dan tidak iman sepenuh hati, tidak yakin akan kekuasaan dan pertolongan Allah, atau telah beriman tapi belum sinkron dengan cara berpikir dan tindakan yang seharusnya kita lakukan, sebagaimana tersirat dalam QS. Al An’am [6]: 113.

Selamat bersiap berubah, berubah dan berubah dalam berpikir dan berkarya untuk menyongsong harapan baru yang lebih cerah. Jangan tunda perubahan itu agar, sebab dunia semakin cepat berubah, bukan lagi dari jam perjam, tapi detik perdetik. Change or die (berubahlah atau mati?). 

Sumber: (1) Al Hilaly, Muhammad Taqi-ud-Din (Berlin), The Noble Qur’an, Darussalam, Riyadh, Saudi Arabia, 2019, p. 275 (2) Majdi Hilali, Kaifa Nughayyiru Ma Bi Anfusina (Mengubah Hal-hal Negatif dalam Diri), terjemah karya Abdullah, Samara Publishing, Jakarta, cet 1, 2008.