Surabaya – Dua mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya yang terpilih mengikuti program studi di Taiwan kini memasuki fase lebih lanjut dari kegiatan akademik dan budaya di National Chung Tsing University. Program yang merupakan inisiasi Pemerintah Taiwan ini memberikan kesempatan bagi Nadhia Putri Nauli dan M. Syahril Jumhur untuk tidak hanya menimba pengetahuan akademis, tetapi juga mengalami langsung kehidupan dan budaya Taiwan. Meski banyak hal baru yang dipelajari, berbagai tantangan akademis maupun kultural telah dihadapi oleh kedua mahasiswa FISIP UINSA ini.
Di bidang akademis, salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah penyesuaian terhadap metode pembelajaran yang berbeda. Dalam beberapa pekan terakhir, kedua mahasiswa FISIP UINSA ini telah menyelami dua mata kuliah inti yang mereka ambil, yakni Net Zero Transition and Change dan Sustainable Development Goals. Mata kuliah ini memberikan mereka wawasan komprehensif mengenai langkah-langkah transisi menuju energi terbarukan serta strategi pembangunan berkelanjutan yang dihadapi negara-negara di seluruh dunia. Kedua mahasiswa FISIP UINSA ini harus beradaptasi dengan tuntutan akademis yang lebih intens dalam sistem pendidikan Taiwan yang menuntut keterlibatan aktif mahasiswa dalam diskusi kritis. Tantangan ini tidak hanya membutuhkan penguasaan materi, tetapi juga kemampuan berpikir kritis dan analitis, terutama ketika berkolaborasi dengan mahasiswa dari negara lain. Meski begitu, ini adalah kesempatan berharga untuk berinteraksi di ruang kelas bersama mahasiswa dari latar belakang yang beragam. Kesempatan ini akan turut memperkaya pemahaman mereka tentang tantangan dan solusi global dari perspektif yang lebih luas.
Sementara di ranah kultural, kedua mahasiswa menghadapi tantangan dalam memahami dan menavigasi perbedaan budaya. Bahasa Mandarin, meski diajarkan secara rutin, menjadi salah satu rintangan komunikasi dalam keseharian. Meskipun mereka telah mulai mempelajari dasar-dasar bahasa tersebut, tantangan bahasa seringkali muncul saat berinteraksi di luar lingkungan kampus, terutama ketika berhadapan dengan penduduk setempat yang tidak selalu fasih berbahasa Inggris. Selain itu, perbedaan budaya, norma sosial dan kebiasaan sehari-hari turut memaksa mereka untuk lebih cepat beradaptasi dan belajar memahami cara hidup di Taiwan.
Namun, di balik tantangan tersebut, kedua mahasiswa FISIP UINSA ini memandang pengalaman berharga yang mereka dapatkan sebagai kesempatan untuk keluar dari zona nyaman, mengembangkan potensi, dan memperluas wawasan diri. Tantangan akademis yang menuntut pemikiran kritis serta adaptasi budaya yang kompleks mereka anggap sebagai bagian dari proses pembelajaran yang tak ternilai. Pengalaman ini tidak hanya memperkaya pengetahuan mereka dalam konteks global, tetapi juga membentuk cara pandang mereka terhadap keragaman budaya dan dinamika internasional, sesuatu yang sangat relevan dalam bidang studi mereka di FISIP UINSA.
Kegiatan mahasiswa FISIP UINSA di Taiwan masih akan berlanjut hingga beberapa bulan ke depan. Besar harapannya agar mereka dapat terus menyerap pelajaran berharga dari pengalaman lintas budaya ini, yang kelak dapat memberikan kontribusi nyata dalam membangun hubungan bilateral yang lebih erat antara Indonesia dan Taiwan. (WD)