FDK UINSA Newsroom, Kamis (04/05/2023); Pembukaan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2023 sukses digelar di gedung Sport Center UIN Sunan Ampel Surabaya pada Selasa (02/05). Pelaksanaannya dirancang sebagai forum in depth discussion di bidang ilmu fikih.
Selama keberlangsungan dalam kurun 22 tahun, pengusungan tema AICIS tahun 2023 termasuk kategori yang luas dan lebih fokus. Salah satunya titik fokus dalam mengulas eksistensi naskah klasik (kitab kuning) di era milenial. Latar belakang mewujudkan solusi atas tantangan riil pada berbagai permasalahan nyata kemasyarakatan menjadi dasar penyelenggaraannya.
Penjelasan eksistensi naskah klasik (kitab kuning) di era milenial bertempat di Gedung KH. Mahrus Ali Tower, Lantai 9 UIN Sunan Ampel Surabaya PANEL P-15. Terdiri dari 4 orang panelis, yakni Muhammad Khoirul Anwar, S.Ud, M.A, Irfan Tamwifi, Ali Syahputra, dan Muhiddinur Kamal. Acara tersebut dimoderatori oleh M. Fahmi Aufar A., B.Ed., M.A. serta 2 orang pembahas (discussant) Prof. Dr. TGH Masnun Tahir, M.Ag, dan Prof. Mufti Ali, S.Ag., M.A., Ph.D.
Kehadiran kitab kuning sejak 1-2 Hijriyah yang kemudian mengalami perkembangan hingga saat ini. Eksistensi keberadaan kitab kuning bukan hanya sebatas referensi, namun juga dapat dijadikan sebagai seni kontekstual.
KH. Sahal Mahfudh menyarankan untuk tidak menjadikan kitab kuning sebagai ringkasan putusan hukum legal yang seringkali dipandang sebagai hukum positif yang dapat menilai semua putusan hukum secara detail dan sifatnya murni. Harus disesuaikan dengan segala bentuk perkembangan pada masanya.
“Dengan modal kitab-kitab klasik, pesantren mampu mencetak santri-santri unggul yang berwawasan agama Islam yang luas. Salah satu contohnya, merujuk pada kiprah santri di era perkembangan warna latin pasca reformasi Para santri mampu menyesuaikan diri dengan pandangan islam modem bahkan menjadi garda terdepan dalam menjawab tantangan fundamentalisme Islam,” terang Khoirul Anwar, Panelis 1 sekaligus dosen Universitas Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta.
Eksistensi kitab kuning masa kini berupa konstruksi pembelajaran fikih berperspektif isu-isu kontemporer juga memiliki pengaruh dalam meningkatkan pola berpikir kritis menyongsong pembelajaran abad 21 di kalangan pesantren maupun lembaga pendidikan lainnya.
Pendidikan fikih di pesantren dapat dijadikan sebagai model pendidikan di dunia. Namun, tetap harus diselaraskan dengan norma hakiki dan norma yang berlaku dimasyarakat. Pesantren tidak hanya menyediakan pedagogi untuk lingkungan pesantren namun juga untuk lingkungan masyarakat sehingga cocok digunakan untuk kalangan non pesantren.
“Syariat dapat dimaknai sebagai hukum atau norma yang ditentukan oleh Allah, meliputi hablumminallah dan hablumminannas, sedangkan fikih ialah pemahaman manusia yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah serta menjadi peletak dasar syariat melalui interpretasi al-Qur’an dan Sunnah oleh para ulama dan diimplementasikan menjadi sebuah fatwa ulama,” tutur Ali Syahputra, Panelis 3 mahasiswa UIN Sunan Kali Jaga (UINSUKA) Yogyakarta.
Salah satu bentuk implementasi dari eksistensi kitab kuning masa kini adalah lestarinya kegiatan Bahtsul Masail (BM). Membuktikan bahwa pelajaran fikih serta kitab kuning tidak akan terhenti. Menerapkan teori hukum Islam klasik di era sekarang sehingga meminimalisir terjadinya konflik sekaligus menjadi solusi dari problematika masa kini.
“Pengajaran Islam berorientasi pada istilah rohmatul ummah. Merujuk pada kitab Ihya’ Ulumuddin, fikih mengandung unsur paling realistis dalam menyikapi isu-isu kemasyarakatan. Perlu tema konstruktif untuk reformulasi kitab kuning sehingga dapat menyelesaikan problem sosial, pungkas Fahmi Aufar, moderator Room 15 AICIS 2023.
(Renvillina Cici N. dan Taschiyatul Hikmiyah)