Column

Abdul Kadir Riyadi Melihat kehancuran alam dan -bersamaan dengan itu- perilaku manusia yang semakin nyata, semakin sah kita mengajukan sebuah pertanyaan tentang masa depan manusia.  Kemana ras manusia ini akan menuju dan bagaimana nasib mereka di tengah kerusakan parah yang menyelimuti mereka baik pada tingkat ekologis maupun moral.  Memang ada baiknya kita tetap optimistik bahwa ras manusia akan baik-baik saja, namun kita juga memiliki alasan yang cukup untuk resah melihat geliat masa depan manusia yang semakin suram dan tidak menentu. Optimisme muncul karena kita yakin bahwa pada akhirnya manusia akan mengambil sebuah tindakan untuk menyelaraskan hidupnya baik dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungannya.  Keadaan yang semakin menekan akan memaksa manusia untuk memperbaiki diri guna menyelamatkan dirinya dan sesamanya terutama mereka yang terdekat dengannya.  Namun pada saat yang sama, kita juga sadar bahwa manusia memiliki potensi untuk bersikap amoral karena seringkali ia tidak mampu menghadapi dan mengatur tekanan kehidupan yang dialaminya.  Oleh karena itu, walaupun manusia pada dasarnya memiliki watak baik dan buruk secara berimbang, seringkali yang muncul dan menguasai dirinya dalah watak buruknya.  Pada tatanan sosial, hampir selalu terjadi bahwa kekuatan jahatlah yang lebih dominan dari pada kekuatan baik.  Karena alasan inilah Khalifah Umar b. Khattab pernah mengadu kepada Allah seraya mengatakan “Ya Allah aku mengadu kepada-Mu karena kuatnya kelompok pendosa, dan lemahnya kelompok yang dapat dipercaya”. Oleh karena itu, hampir tidak pernah ada jaminan dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia bahwa kebenaran akan menang atas kejahatan, keadilan atas ketidakadilan, atau keselarasan atas ketimpangan.  Yang sering terjadi adalah sebaliknya di mana kearifan dan kebijaksanaan dikesampingkan demi membela kekuatan jahat,; kejujuran dicemooh demi melanggengkan kebohongan; kepentingan publik dikerdilkan demi kepentingan individu; kebenaran dikebiri demi kebathilan. Walau masih ada harapan bagi umat manusia untuk berubah menjadi lebih baik, harapan itu terasa tipis dan redup.  Namun pada sisi lain, di tengah redupnya harapan itu tidak ada salahnya jika kita melakukan sebuah upaya interpretif dalam rangka memahami gejala kemanusiaan yang terus bergulir sekaligus mencarikan suatu tawaran solutif bagi beberapa persoalan inti yang sedang dihadapi oleh ras manusia saat ini. Manusia hidup tidak bisa lepas dari ketergantungannya pada alam.  Manusia dapat maju dan berkembang karena alam.  Seperti halnya makhluq hidup lainnya, manusia merupakan bagian integral dari alam di mana ia hidup, berkembang dan menentukan masa depannya.  Dari alam, manusia makan dan minum (tentu atas izin Allah), menghirup udara, dan memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Dari alam pula, ia dapat melakukan kontemplasi atas berbagai makna dan misteri yang terkandung dalam hidup ini.  Melalui alam, manusia dapat mengenal Tuhan, karena alampun merupakan “Kitab Suci” yang diturunkan oleh Sang Pencipta sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya.  Alam bukanlah tanpa makna dan tujuan.  Ia ada dan diciptakan untuk membantu manusia menemukan dirinya dan mencapai jalan yang ingin ditujunya.  Secara teleologis, alam menyediakan kearifan sebagai bahan kontemplasi untuk mengingat kematian. Pergantian siang dan malam, hujan dan panas, perputaran waktu, atau gugurnya dedaunan tidak hanya bukti akan kebesaran-Nya, melainkan juga tanda bahwa tidak ada yang abadi kecuali Dia. (Bersambung) [Prof. Abdul Kadir Riyadi, Ph.D.| Dosen, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat]