تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّۗ، مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَۗ ، سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ ، وَّامْرَاَتُهٗ ۗحَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ، فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasalah dia. Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan. Kelak, dia akan masuk neraka yang (apinya) bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah). Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal. (QS. Al Lahab []: 1-5)
Surat Al Lahab ini kadang disebut surat Tabbat (hancur), surat Al Masad (tali dari sabut atau kayu keras yang tumbuh di Yaman), dan surat Abi Lahab (penyandang jilatan api). Surat ini turun di Makkah pada tahun keenam dari kenabian. Segera setelah Nabi mendapat wahyu yang menyuruh berdakwah di keluarga terdekat (QS. 26: 214), beliau mengumpulkan keluarga besar di bukit Shofa. Pada akhir acara, Abu Lahab protes keras, “Apa hanya untuk acara tidak bermutu ini engkau mengumpulkan kami. Bangsat. Mampus kau Muhammad (tabban laka, ya Muhammad).” Saat itulah, Allah menurunkan ayat untuk merespon umpatan tersebut, bahwa Abu Lahablah yang terkutuk dan mampus. Ia dan istrinya tidak akan bisa lari dari siksa Allah meskipun mereka kaya dan pengikutnya banyak.
Nama asli Abu Lahab adalah Abdul ‘Uzza bin Abdul Mutholib. Ada beberapa versi, mengapa paman Nabi itu lebih sering dipanggil Abu Lahab: (1) mukanya yang tampan dan bersniar (glowing), (2) pada mukanya tampak dendam dan amarahnya yang menyala-nya kepada Nabi, (3) kejahatannya akan berbuah neraka yang membakarnya di akhirat.
Pada awalnya, Abu Lahab bersuka cita dengan kelahiran Muhammad. Sebab, ia berharap Muhammad menjadi obat kerinduan terhadap saudara kandungnya, Abdullah, ayah Nabi yang telah wafat mendahuluinya. Sebagai ungkapan kegembiraan, Abu Lahab membebaskan budaknya yang bernama Suwaibah Al Aslamiyah, karena dialah yang pertama kali memberitahukan kelahiran Muhammad. Setelah itu, Abu Lahab, yang saat itu masih bujang mengadakan pesta besar selama tujuh hari untuk menyambut si kecil Muhammad.
Hubungan akrab mereka terus berlanjut. Abu Lahab memilih dua putri Nabi, Ruqayyah (7 th) dan Ummu Kultsum (5 tahun) untuk dinikahkan dengan dua putranya. Mereka tinggal serumah dengan Abu Lahab. Kehangatan itu seratus persen berubah dengan kebencian sejak pertemuan atau dakwah Nabi di bukit Shofa. Abu Lahab berteriak di mana-mana bahwa Muhammad adalah pembohong dan penyihir. Untuk mempermalukan Nabi, Abu Lahab memulangkan dua putri Nabi. Pemulangan menantu adalah penghinaan besar bagi masyarakat saat itu. Abu Lahab juga meminta Abu Al Ash bin Rabi’ untuk menceraikan Zainab, putri Nabi dan mengembalikannya ke Nabi, tapi ditolaknya. Istri Abu Lahab, Ummu Jamil (wanita cantik) juga ikut mengucapkan kata-kata kotor untuk Nabi di mana-mana. Kemana pergi, ia membawa kayu berduri atau batu untuk ditaburkan di jalan yang biasa dilalui Nabi. Kayu yang diletakkan di leher dalam firman Allah ini adalah kiasan dari fitnah yang ditebarnya untuk menyudutkan Nabi. Kayu itu juga tanda kikir dan kerendahan martabatnya. Leher yang mestinya manjadi gantungan kalung emas, digunakan untuk gantungan kayu bakar.
Abu Lahab memuncak amarhanya, ketika bertanya kepada Nabi tentang masa depan sang paman, Abu Thalib. Nabi menjawab, Abu Thalib termasuk penghuni neraka. Abu Lahab menyebut Nabi orang durhaka, terkutuk, dan tidak tahu rasa terima kasih kepada Abu Thalib yang membesarkan dan melindunginya dari ancaman pembunuhan oleh orang kafir.
Pada perang Badar, Abu Lahab tidak ikut ke medan perang. Ia hanya mengirim donasi sebesar 4000 dirham dan mengutus penggantinya. Sebab, ia yakin pasukan kafir akan hancur, berdasarkan mimpi adik perempuannya. Abu Lahab menanti berita perang sambil duduk di sekitar sumur zamzam. Ia sedih dan geram mendengar 70 pasukan kafir gugur, dan 70 lainnya tertawan. Tentara kafir juga bercerita tentang datangnya pasukan malaikat dengan jubah putih berkuda yang turun langsung dari langit dan menyerang secepat kilat.
Mendengar kekalahan tragis pasukan kafir, Abu Lahab yang disebut penerus kejahatan Fir’aun itu kalap. Budaknya diinjak-injik. Seorang wanita di sebelahnya membela dan mengambil kayu untuk memukul wajah Abu Lahab sambil mengumpat, “Beranimu hanya kepada orang kecil. Jika jantan, pergilah ke medan perang!” Ia malu, sebab yang mengumpat adalah wanita, dan umpatan itu benar, serta ia benar-benar gagal total (watab) dalam membendung semakin gemerlapnya cahaya dakwah Nabi.
Dengan dendam kepada Nabi yang belum tersalurkan, Abu Lahab terkena penyakit menular, bau badannya amat busuk. Ketika dikubur di sebelah kamarnya, semua orang termasuk keluarganya merasa jijik, sehingga memasukkan jenazah Abu Lahab ke liang kubur dengan kayu panjang, dan menutup liang kubur dengan lemparan batu dari jauh.
Kisah dalam surat ini memberi kita tiga pelajaran. Pertama, setiap perjuangan selalu berhadapan dengan kekuatan jahat yang meredupkan cahaya Allah. Tetap tegarlah. Ada saatnya, Allah akan turun tangan membelanya dan membuat cahaya Islam bersinar terang. Kedua, ada kalanya kekuatan jahat itu datang bukan dari orang jauh, tapi dari keluarga terdekat, sebagaimana Nabi Nuh mendapat perlawanan istri dan anaknya, atau Nabi Luth dari istrinya sendiri. Ketiga, setiap masa selalu ada orang yang menghina Nabi SAW. Lebih-lebih pada era digital sekarang ini. Perhatikan, penghina Nabi itu akan terpuruk di dunia, dan mati dengan hina. Kelak, ia juga merasakan siksa dalam neraka.
Referensi: (1) Al Hamshy, Muhammad Hasan, Al Qur’anul Karim, Tafsiir wa Bayaan, Darur Rasyid, Beirut, Libanon, tt. P. 603, (2) Hamka, Tafsir Al Azhar, juz 30, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 270-274, (3) Qureish Shihab, M, Tafsir Al Misbah, Vol. 15, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2012, p. 701-708, (4) Aisyah Abdurrahman, Tarajim Sayyidat Bait An Nubuwwah (Biografi Istri dan Putri Nabi SAW), alih bahasa Umar Mujtahid LC, penerbit Ummul Qura, Jakarta, 2018, cet 2, (5) Abdul Hamid Jaudah Al-Sahhar, Ghazwatu Badr (Perang Badar: Kisah Pertempuran Yang Mengubah Sejarah Islam Selamanya), penerjemah Dedi Slamert Riyadi MA, penerbit Qalam, Jakarta, 2018, cet.1, (6) Ali Muhammad As-Shallabi, As-Sirah An-Nabawiyah (Sirah Nabawiyah, Ulasan Kejadian dan Analisa Peristiwa dalam Pperjalanan Hidup Rasulullah SAW) penerjemah Pipih Imran Nurtsani LC dan Nur Fajariyah, penerbit Insan Kamil, Solo, 2016, cet.2, (7) Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul ‘Adhim (Tafsir Ibnu Katsir), jilid 10, penerjemah Arif Rahman Hakim dkk, penerbit Insan Kamil, Solo, 2018, cet.5