“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’. Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(QS. Al-Baqarah: 155-157)
“Barangsiapa yang menghibur orang yang tertimpa musibah, maka baginya pahala seperti orang yang mendapat musibah itu.”
(HR. Tirmidzi)
Dalam kehidupan bermasyarakat, ucapan belasungkawa adalah ekspresi empati dan solidaritas terhadap keluarga yang mengalami musibah atau kehilangan. Dalam perspektif kematian dalam Islam, tradisi ini tidak hanya dilihat sebagai bentuk ungkapan duka, tetapi juga sebagai manifestasi nilai-nilai sosial, spiritual, dan pengingat akan kefanaan hidup. Kematian adalah sebuah kepastian yang telah Allah tetapkan bagi setiap makhluk hidup tanpa mengenal batas usia; bayi, anak-anak, dewasa, ataupun tua. Waktu kepastian sebuah kematian seseorang yang tidak pernah diketahui kapan datangnya dan terkadang terkesan mendadak menghampiri. Dalam konteks ini, ucapan belasungkawa bukan sekadar kata-kata, melainkan doa yang mengandung harapan agar almarhum-almarhumah (istilah yang disematkan bagi orang yang sudah meninggal sebagai doa) mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Ucapan seperti “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un” atau “Semoga Allah memberikan kekuatan kepada keluarga yang ditinggalkan” merupakan contoh ungkapan yang sarat nilai spiritual. kematian sebagai momen yang tidak hanya menyadarkan manusia akan akhir perjalanan hidup, tetapi juga menjadi ajang penguatan hubungan sosial. Tradisi belasungkawa sering kali diiringi dengan tindakan nyata seperti membantu keluarga yang berduka secara ekonomi atau logistik karena kesedihan mendalam yang dirasa oleh keluarga yang ditinggal karena ketidaksiapannya, seperti menyediakan makanan, membantu penyelenggaraan jenazah, atau mendukung ritual keagamaan seperti doa bersama, tahlilan, dan lainnya.
Sebagaimana tersurat secara langsung dalam ayat ke 155-157 surat al-Baqoroh, Allah menegaskan adanya ujian yang ditimpahkan baik melalui ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Ketika manusia mampu mengucap Inna lilla wa inna ilaihi rajiun (sesungguhnya kami milik Allah dan kepadaNyalah kami kembali) maka mereka akan digolongkan kepada orang -orang yang sabar dan memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah, juga yang mendapat hidayah (petunjuk) Nya.
Kematian Sebagai Pemersatu Sosial
Kematian tidak hanya menjadi peristiwa individual, tetapi juga peristiwa sosial yang mempengaruhi komunitas secara keseluruhan. Tradisi belasungkawa dalam Islam menjadi alat pemersatu masyarakat, di mana kehadiran komunitas dalam momen duka menciptakan harmoni sosial yang memperkuat jaringan solidaritas. Ini sejalan dengan prinsip ukhuwah Islamiyah yang mengutamakan kebersamaan dalam suka maupun duka. Misalnya, di banyak budaya Muslim, keluarga yang berduka sering kali menerima bantuan berupa makanan, tenaga, atau bahkan dana untuk keperluan tahlilan dan pengurusan jenazah. Aktivitas ini tidak hanya meringankan beban keluarga tetapi juga memperkuat ikatan sosial dalam komunitas. Ucapan belasungkawa dalam perspektif kematian dalam Islam ini memiliki dimensi yang sangat luas, yang masuk di dalamnya sebagai manifestasi solidaritas sosial,
kebersamaan, menumbuhkan kasih sayang dalam keluarga semakin dalam, dan keadilan terlihat nyata dalam perspektif spiritual. Kematian mengingatkan bahwa manusia tidak pernah bisa hidup sendiri, bahkan ketika maut merenggut se kaya apapun orang tidak akan mampu berangkat sendiri ke peristirahatan terakhirnya. Betapa pentingnya peristiwa kematian mengingatkan untuk selalu bijak bersama menjalani kehidupan sosial.
Kematian dan Redistribusi Ekonomi dalam Islam
Dalam perspektif ekonomi Islam, kematian juga mencerminkan konsep redistribusi kekayaan. Ketika keluarga yang mampu membantu mereka yang membutuhkan pada saat berduka, terjadi aliran sumber daya yang tidak hanya bersifat material tetapi juga spiritual. Konsep ini mengedepankan fungsi ekonomi yang berbasis pada nilai-nilai keadilan dan keberkahan, di mana setiap harta yang dikeluarkan untuk membantu sesama akan menjadi investasi akhirat. Sebagai contoh, tradisi gotong royong atau iuran bersama dalam masyarakat untuk membantu keluarga yang berduka merupakan bentuk kecil dari praktik ekonomi berbasis syariah. Ini juga mencerminkan semangat kolaborasi dan kepedulian yang menjadi inti dari sistem ekonomi Islam. Cerminan prinsip ekonomi Islam yang berlandaskan nilai- nilai solidaritas, keadilan, dan kebersamaan. Pada momen duka, umat Islam diajarkan untuk tidak hanya memberikan dukungan moral tetapi juga material, sebagai wujud implementasi zakat, infak, dan sedekah. Tradisi ini mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Muslim, terutama di Indonesia, di mana keluarga, tetangga, dan komunitas secara kolektif berpartisipasi dalam meringankan beban keluarga yang ditinggalkan. Dan pada sistem keluarga, kematian adalah salah satu wujud kepindahan hak kepemilikan atas harta yang pernah dimiliki kepada ahli waris yang berhak. Inilah salah satu instrumen redistribusi ekonomi.
إنالله وإناأليه راجعون
Selamat Jalan
Bapak H. Ahmad Mansur, BBA., MEI., MA., PhD. rebahlah bersama orang-orang sholih
pintu surgaNya telah tersediakan
Njenengan tiyang sae, kami nderek bersaksi selama bersama di FEBI UINSA
kami kenal Njenengan memiliki juang yang tinggi penuh dedikasi
pergi jauh ke negeri jiran tunaikan pendidikan toek lembaga tercinta
… أسكنك الله جنة الفردوس …
Semoga bermanfaat,
# dari lower menuju middle hingga high class
# senyumlahtandasyukur&bahagia
# istiqomahdalambekerja
#Salam SehatwalAfiyah
#ةمتاخلا نسحب مهللا