Oleh: Shafira Fitri Mayasari Mahasiswi Hubungan Internasional UINSA
Siapa yang menyangka, Korea Selatan—negara kecil di Asia Timur yang dulu jarang disorot—kini jadi salah satu raksasa budaya di dunia. Tapi bukan karena senjata atau kekuatan ekonominya, melainkan lewat kekuatan yang lebih halus: soft power. Dalam hal ini, K-pop jadi senjata utamanya. Dulu kalau denger kata “Korea”, pikiran kita mungkin langsung ke konflik dengan Korea Utara atau barang elektronik macam Samsung dan Hyundai. Tapi sekaran

g, Korea Selatan dikenal sebagai pusat budaya pop yang lagi naik daun banget.
Sejak awal tahun 2000-an, citra Korea pelan-pelan berubah. Budaya mereka, terutama musik K-pop dan drama Korea, mulai menyebar ke seluruh dunia. Anak-anak muda dari berbagai negara bukan cuma suka lagunya, tapi juga tertarik dengan gaya hidup, fashion, sampai makanannya. Bahkan, banyak yang jadi pengin belajar bahasa Korea karena pengaruh budaya pop ini. K-pop jadi pintu masuk buat orang-orang kenal Korea lebih dalam, mulai dari sejarahnya sampai nilai-nilainya.
Nah, semua ini sebenarnya bagian dari strategi besar Korea Selatan dalam menggunakan soft power. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Joseph Nye, seorang ilmuwan politik asal Amerika. Dia bilang, soft power adalah cara sebuah negara memengaruhi dunia bukan dengan paksaan atau kekerasan, tapi lewat daya tarik budayanya. Korea Selatan, yang nggak punya banyak kekuatan militer atau sumber daya alam, sadar banget bahwa budaya bisa jadi aset utama mereka.
Makanya, pemerintah Korea mendukung penuh penyebaran budaya mereka ke luar negeri. Mereka bahkan bikin kementerian khusus yang tugasnya promosiin budaya Korea ke dunia. Dari situlah lahir yang namanya Hallyu atau Korean Wave. Fenomena ini bukan cuma soal musik dan drama, tapi juga soal makanan, gaya hidup, dan cara pandang hidup ala Korea yang kini banyak diikuti di berbagai belahan dunia. Dan K-pop, bisa dibilang, adalah motor utamanya.
Tapi, K-pop sendiri bukan cuma soal lagu enak dan idola cakep. Ini adalah industri besar yang sangat terorganisir. Grup-grup seperti BTS, BLACKPINK, EXO, hingga NCT bukan cuma jadi bintang di Korea, tapi juga tampil di panggung global seperti Grammy Awards dan MTV. Mereka juga jadi wajah brand-brand ternama seperti Dior, Samsung, atau Pepsi. Dengan strategi promosi yang kuat, K-pop berhasil menjangkau pasar internasional secara masif.
Yang bikin K-pop beda adalah kedekatannya dengan fans. Banyak lagu K-pop yang bahas hal-hal penting kayak kesehatan mental, mimpi, perjuangan, sampai cinta diri sendiri. BTS, misalnya, punya kampanye “Love Myself” bareng UNICEF buat ajak anak muda saling menghargai diri dan sesama. Jadi, penggemarnya bukan cuma suka musiknya, tapi juga merasa didukung dan dimengerti lewat pesan-pesan itu.
Selain itu, K-pop juga sangat visual dan interaktif. Koreografi mereka rumit tapi keren, video musiknya artistik banget, dan mereka aktif berinteraksi dengan fans lewat media sosial. Idol-idol ini nggak cuma jadi penyanyi, tapi juga panutan, influencer, sekaligus jembatan budaya. Mereka menghidupkan semacam gaya hidup global yang membuat fans merasa jadi bagian dari komunitas besar lintas negara.
Efek dari K-pop ini pun luar biasa. Anak muda dari berbagai negara mulai tertarik sama budaya Korea—mulai dari makanannya seperti kimchi dan tteokbokki, nontonin drama Korea, sampai ikut kursus bahasa. Wisata ke Korea juga melonjak, dan produk-produk Korea laris manis di pasar internasional. Semua ini menunjukkan betapa budaya bisa menggerakkan ekonomi dan membentuk citra negara dengan cara yang halus tapi kuat.
Tapi tentu aja, di balik semua gemerlapnya, ada sisi gelap yang nggak bisa diabaikan. Industri ini dikenal dengan sistem pelatihan idol yang ketat dan tekanan mental tinggi. Banyak idol yang mulai latihan sejak kecil, kerja dengan jadwal padat, dan harus menghadapi ekspektasi publik yang luar biasa besar. Beberapa kasus hukum dan gangguan kesehatan mental pun mulai muncul ke permukaan. Ini jadi tantangan serius bagi industri hiburan Korea.
Untuk terus maju, Korea Selatan harus cari cara supaya industri hiburannya bisa tetap berkembang tanpa mengorbankan kesejahteraan para artisnya. K-pop nggak boleh cuma jadi hiburan yang menguntungkan secara ekonomi, tapi juga harus jadi ruang yang sehat dan berkelanjutan. Kalau bisa menjaga keseimbangan itu, maka K-pop akan tetap jadi kekuatan lunak yang menginspirasi dan membanggakan dunia—bukan cuma karena musiknya, tapi karena nilai dan kemanusiaannya. (ed. FyP)
Penulis adalah Mahasiswa Aktif Program Studi Hubungan Internasional FISIP UINSA Surabaya.