KASIH SAYANG ALLAH DAN KERAKUSAN MANUSIA*
*Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
***
Sebagai Tuhan Maha Pemurah, Allah menunjukkan kasih sayangnya dengan menyiapkan seluruh kebutuhan hidup manusia beserta perangkatnya. Setelah kebutuhan hidup disiapkan, Allah berpesan manusia untuk berbagi dan saling menopang kebutuhan hidup satu sama lain. Allah memerintahkan kepada orang kaya untuk berbagi kepada orang miskin. Namun manusia yang memiliki kelebihan harta justru menumpuk dan menolak berbagi. Kerakusan menjadi akar penolakan mau berbagi. Disinilah awal terjadi kesenjangan yang mengagah antara kaya dan miskin, sehingga terjadi ketimpangan sosial yang tajam. Kondisi inilah yang meciptakan konflik berkepanjang.
Penyiapan Alam
Untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia, maka Allah menyiapkan berbagai perangkat kebutuhannya. Alam semesta dengan berbagai jenis makhluk besar di langit seperti matahari, bulan dan bintang. Juga makhluk besar di bumi seperti gunung, hutan, dan laut. Semuanya diciptakan dan disiapkan untuk kebutuhan manusia. Allah Maha mengetahui seluruh segala kebutuhan, maka Sang Pencipta menyiapkan semuanya.
Untuk menjalani tugas berat itu Allah memberi amanah manusia untuk berbagi peran dan tugas sesuai dengan strata sosialnya. Manusia hanya dibebani tugas untuk memimpin dan berbagi, tanpa membebabi memberi rejeki. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
وَجَعَلۡنَا لَكُمۡ فِيهَا مَعَٰيِشَ وَمَن لَّسۡتُمۡ لَهُۥ بِرَٰزِقِينَ
Artinya:
Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya. (QS. Al-Ĥijr : 20)
Bentuk kongkret penyediaan kebutuhan manusia berupa sarana kehidupan berupa makanan dan minuman. Allah pun menyiapkan kebutuhan makan melalui sumber air yang menumbuhkan pohon, tanaman dan hewan. Dengan kekuasaan-Nya, Allah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan menurunkan hujan dari langit. Dengan air hujan, maka Allah memenuhi kebutuhan air dan menyimpannya agar manusia bisa menjaga keberlangsungan hidupnya. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
وَأَرۡسَلۡنَا ٱلرِّيَٰحَ لَوَٰقِحَ فَأَنزَلۡنَا مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَأَسۡقَيۡنَٰكُمُوهُ وَمَآ أَنتُمۡ لَهُۥ بِخَٰزِنِينَ
Artinya:
Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya. (QS. Al-Ĥijr : 22)
Dengan pemenuhan kebutuhan dari Allah itu, maka muncul keberagaman stratifikasi sosial, seperti penguasa-rakyat, majikan-buruh, kaya-miskin, tinggi-rendah, pintar-bodoh, dan kuat-lemah. Realitas ini tidak bisa dipungkiri sehingga tidak boleh kesenjangan itu menjauh dan meruncing. Oleh karenanya, Allah memerintahkan agar kondisi ini tidak bergerak ekstrem, dimana kelas sosial atas semakin menjauhkan diri dengan kelompok bawah. Disinilah pentingnya konsep berbagi dari yang berkecukupan kepada yang berkekurangan.
Kerakusan Manusia
Manusia yang menempati posisi atas (penguasa, majikan, kaya, tinggi, pintar, kuat) justru mengeksploitasi posisi rendah (rakyat, buruh, miskin, rendah, bodoh, lemah). Kelompok pertama tak mau berbagi terhadap yang kedua. Kenikmatan yang diberikan Allah bukan dimanfaatkan untuk kebaikan tetapi dipergunakan untuk menumpuk keburukan. Kejahatan kemanusiaan itu terus berlangsung yang dipelopori oleh yang banyak menikmati limpahan sumberdaya. Mereka ini digambarkan Al-Qur’an sebagai manusia yang tak mau berbagi kepada mereka yang berkekurangan. Hal ini merujuk pada firman-Nya :
وَٱللَّهُ فَضَّلَ بَعۡضَكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ فِي ٱلرِّزۡقِ ۚ فَمَا ٱلَّذِينَ فُضِّلُواْ بِرَآدِّي رِزۡقِهِمۡ عَلَىٰ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَهُمۡ فِيهِ سَوَآءٌ ۚ أَفَبِنِعۡمَةِ ٱللَّهِ يَجۡحَدُونَ
Artinya:
Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah ? (QS. An-Naĥl : 71)
Potret di atas menunjukkan kecenderugan orang yang berlimpah harta bukan hanya tak mau berbagi, tetapi juga mengeksploitasi budaknya guna menumpuk kekayaan lebih banyak. Qarun merupakan representasi manusia yang terus menerus menumpuk harta dan memaerkan kepada pihak-pihak yang berkekurangan. Perilaku memamerkan harta ini membuat orang-orang yang hidup berkekurangan menyesalkan keadaan mereka, dan menginginkan hidup seperti Qarun.
Fir’aun juga layak ditunjukkan sebagai contoh penguasa yang dzalim. Kedudukan yang tinggi sebagai raja terus melakukan eksploitasi dan menindas rakyatnya untuk memperkokoh kekuasaannya. Dia tak mau berbagi kekuasaan terhadap siapa pun. Pengakuan Fir’aun sebagai tuhan merupakan puncak menumpuknya kekuasaan hingga lahir kesombongan tertinggi. Kesombongan tertinggi itu melahirkan deklarasi bahwa dirinya sebagai tuhan. Dia tak peduli rakyatnya menderita atau tertindas karena kepentingannya untuk menumpuk kekuasaan dan tak mau berbagi kepada yang lain.
Potret Qarun dan Fir’aun menjadi penjelas adanya realitas manusia saat ini yang eksploitatif terhadap sumber daya alam dan kelanggengan kekuasaan. Mereka tak peduli dengan rakyatnya yang hidup miskin, berkekurangan, dan dalam kesengsaraan. Beban hidup yang tinggi seperti budak di era jahiliyah dimana mereka tak memiliki daya dan kuasa untuk menolak apapun yang semakin membuat dirinya semakin sengsara.
Realitas di atas menunjukkan bahwa kasih sayang Allah begitu besar. Dia Maha Pemberi rejeki karena telah menyiapkan dan memberi semua kebutuhan manusia sekaligus menjamin rejekinya. Hal ini kontras dengan manusia yang diberi limpahan harta, dan diperintahkan untuk berbagi sebagian kecil hartanya. Namun mereka diliputi rasa kikir dan bakhil dan menolak perintah berbagi. Kerakusan menjadi akar penolakan untuk berbagi kepada orang lain yang hidup dalam kekurangan.
Surabaya, 24 Mei 2025